• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Minggu, 28 April 2024

Fragmen

Ulasan Singkat Maulana Muhammad, Menjadi Sultan Banten Sembari Nyantri di Kiai Dukuh (Bagian 1)

Ulasan Singkat Maulana Muhammad, Menjadi Sultan Banten Sembari Nyantri di Kiai Dukuh (Bagian 1)
Sultan Maulana Muhammad dan Rakyat Kesultanan Banten era Sultan Maulana Muhammad. Foto: Dok NU Banten
Sultan Maulana Muhammad dan Rakyat Kesultanan Banten era Sultan Maulana Muhammad. Foto: Dok NU Banten

oleh :

Hamdan Suhaemi

Melalui tulisan ini, Saya mencoba meramaikan khazanah sejarah Banten melalui temuan-temuan saya tentang sosok Maulana Muhammad dari berbagai sumber. Dalam bait Pupuh Dudukwuluh, pribadi Maulana Muhammad diulas secara singkat.   

 

Maulana Muhammad merupakan Sultan ke-3 di Kerajaan Banten. Sejak kecil, rakyat memanggilnya 'Ratu ing Banten' . Maulana Muhammad tak lain adalah putera bungsu dari Kanjeng Sultan Maulana Yusuf. Pernah batal menjadi Sultan Banten karena dianggap masih belia. Saat itu, beliau baru berumur 6 bulan. 

 

Ceritanya begini, saat ayahnya wafat pada tahun 1580, para penasihat kerajaan mendorong agar Maulana Muhammad tetap menjadi penerus tahta kerajaan Maulana Yusuf meskipun usianya baru berumur 6 bulan. Tetapi, para petinggi kerajaan yang dianggap memiliki pengaruh kuat di masyarakat menolak itu.  

 

Namun, hal ini tidak menjadi hal yang dianggap keliru oleh penasihat kerajaan. Sambil menunggu dinamika itu kondusif, kerajaan dikendalikan oleh Mangkubumi Jayanegara sampai usianya genap 16 tahun yaitu sekitar tahun 1580 hingga 1596. Maulana Muhammad pun resmi menjadi Sultan Banten. 

 

Dalam kutipan pupuh dituliskan beberapa cerita yang mengulas sosok Maulana Muhammad. "Molana yen pinarek ing jeng Sultan majeng mangidul pasti kitab kang sinandhing, kang pedek paselir iku wonten Dening kang ing Wuri”. Artinya, kalau Maulana Muhammad sudah duduk ke arah selatan pasti kitablah yang disampingnya, sedangkan para nelayan dan selir ada di belakangnya. 

 

Selain itu, dalam lembaran bait dari Pupuh (Sinom, 9) juga tertulis "kang tingkah Kanjeng Gusti diamumule ing guru ten kela kedatengan atilar langgeng dipati tinedaken Pangeran ing Kasunyatan. Artinya, Maulana Muhammad langsung meninggalkan kesibukannya sebagai sultan ketika gurunya datang. 

 

Mashur dalam benak fikiran rakyat Banten kala itu (1596 M) bahwa Maulana Muhammad, Pangeran Ratu ing Banten adalah pribadi yang soleh dan alim. Ia santri kesayangan Kiai Dukuh (Syaikh Muhammad Madani Syah ) asal Madinah. 

 

Menurut Husein Djajadiningrat, dalam salah satu bukunya yang berjudul Serat Banten Rante-Rante, sang Syekh yang datang dari Madinah Arab tersebut kemudian bermukim di Kasunyatan, (sekarang Kota Serang, Banten) setelah mukim terlebih dahulu di Minangkabau. 

 

Karena jasa dan pengabdiannya dalam pengajaran ilmu agama Islam, serta telah membentuk karakter Maulana Muhammad sebagai pribadi yang alim dan soleh, maka kemudian sang Maulana menganugerahi gelar terhadap gurunya itu Kiai Dukuh atau Pangeran Kasunyatan. 

 

Masih dalam bait Pupuh Sinom, buku itu menuliskan, "mula-mula Surosowan, carita ana wong alim kang alunggeng Kasunyatan, ginuron saking bupati, sampuning tutug Singgih, jeng Molana dadia ratu, mulyaning kang nagara, ponggawa amukti sari miwah wong cilik sami magatra kang winarna.

 

Artinya, itulah awal Surosowan, ada cerita tentang orang alim yang bertahta di Kasunyatan, digurui oleh para bupati, sesudah selesai kanjeng Maulana menjadi sultan yang memuliakan negara dan mensejahterakan punggawa dan rakyat kecil ). 

 

Perilaku dan kegiatan keseharian Maulana Muhammad, masih memegang tradisi yang letakkan oleh pendahulunya yaitu Kanjeng Syaikh Maulana Hasanudin, yakni kehidupan agama dan penyiaran Islam dengan pendekatan yang moderat dan inklusif. 

 

Putaran hidupnya tidak jauh dari kebiasaan sang Ayah, Syeekh Maulana Yusuf pagi berkumpul dengan penyampaian aturan kesultanan, persoalan kehidupan dan soal agama, hingga menjelang dzuhur. 

 

Kemudian jalan kaki dari keraton ke Masjid Agung, setelah pulang dari solat berjamaah, kanjeng Maulana Muhammad menerima tamu kenegaraan, bahkan dikisahkan ada serombongan tamu pedangang dari Holland (Belanda) yang dipimpin oleh Cornelis De Haoutman, saat itu tahun 1596.  

 

Malamnya, masih mengurusi rakyat, sehingga terkadang keluar keraton sampai menemui hingga dusun-dusun terpencil di wilayah kesultanan Banten. Pulang dini hari, sang Pangeran Ratu Ing Banten ini mengambil posisi 'khalwat' dan tak mau diganggu siapapun. Kesalehannya dalam beragama adalah cermin dari penguasaanya atas ilmu agama, terutama tasawwuf. Ia juga merupakan Sultan Banten yang meneruskan jejaknya menjadi murid sufi, dan Istiqomah bertarekat. (Bersambung)

 

Penulis adalah Ketua Rijalul Ansor PW GP Ansor Banten


Fragmen Terbaru