Nasional

Hasil Komisi BM, dari Laut Tak Boleh Dimiliki Individu maupun Korporasi hingga Dukcapil Tak Boleh Terbitkan KK jika Pasangan Tak Miliki Isbat Nikah dari KUA

Jumat, 7 Februari 2025 | 13:56 WIB

Hasil Komisi BM, dari Laut Tak Boleh Dimiliki Individu maupun Korporasi hingga Dukcapil Tak Boleh Terbitkan KK jika Pasangan Tak Miliki Isbat Nikah dari KUA

Komisi Bahtsul Masail Maudhu'iyah pada Munas Alim Ulama NU 2025 di Hotel Sultan, Jakarta, Kamis (6/2/2025). (Foto: NUO/Suwitno)

Jakarta, NU Online Banten

Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) 2025 memutuskan tiga hal soal penyembelihan dan pendistribusian dam haji tamattu’. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Sidang Komisi Bahtsul Masail (BM) Waqi’iyah KH Muhammad Cholil Nafis pada Sidang Pleno Munas Alim Ulama NU di Hotel Sultan, Jakarta, Kamis (6/2/2025).


Pertama, penyembelihan dan pendistribusian dam haji tamattu’ wajib dilakukan di Tanah Haram. “Dalam kondisi ideal, dalam kondisi ikhtiar, wajib dilakukan penyembelihan di Tanah Haram dan dibagikan dagingnya di Tanah Haram,” ujar Kiai Cholil.


Kedua, penyembelihan dam haji tamattu’ wajib dilakukan di Tanah Haram dan pendistribusiannya boleh dilakukan di luar Tanah Haram. ’’Dalam kondisi dibutuhkan pendistribusian dam tamattu boleh dilakukan di luar Tanah Haram, seperti di Indonesia, Afrika, namun penyembelihan wajib di Tanah Haram,” katanya.


Ketiga, penyembelihan dan pendistribusian dam haji tamattu’dilakukan di luar Tanah Haram. Kiai Cholil mengatakan, jika terdapat udzur atau halangan untuk melakukan pemotongan dam karena tidak adanya Rumah Pemotongan Hewan (RPH), tidak adanya hewan untuk dam haji tamattu’, maka boleh dilakukan penyembelihan dan pendistribusian di luar Tanah Haram. “Jika penyembelihan dan pendistribusian dam tamattu’ di Tanah Haram terdapat udzur (halangan) atau tidak dapat dilaksanakan, seperti tidak adanya RPH, tidak adanya hewan yang bisa disembelih. Maka boleh dam tamattu itu boleh disembelih di Tanah Haram, boleh disembelih di Indonesia dan dibagikan dagingnya di Indonesia dengan syarat udzur syar’i,” tambahnya.


Pendekatan ini, lanjutnya, merujuk pada Mahzab Hambali dalam konteks pelaksanaan haji saat ini dan yang dapat menilai udzur tersebut adalah pihak Badan Pelaksanaan Haji Kementerian Agama (Kemenag).  “Dengan pendekatan Mazhab Hambali dalam konteks pelaksanaan haji sekarang udzur atau tidaknya,” ujar Kiai Cholil.


Penyembelihan dan pendistribusian di luar Tanah Haram merupakan jalan keluar ketika dam diputuskan tidak boleh digantikan dengan uang, keadaan kambing di Tanah Haram yang tidak ada, ketidakmampuan RPH Tanah Haram dalam mengelola, dan terdapat udzur lainnya dengan kesepakatan negara terkait, dalam hal ini yaitu Indonesia dengan Arab Saudi. “Siapa yang menilai dan menentukan ini? Yang menentukan ini adalah negara,” ujar rais syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu.


Yang tak kalah menariknya adalah Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama 2025 menetapkan bahwa laut tidak boleh dimiliki oleh baik individu maupun korporasi. "Kita dalam deskripsi masalahnya laut dikapling sebagai kepemilikan individu atau pun korporasi itu bisa jadi hak milik atau tidak? Nah, jawabannya, laut tidak bisa dimiliki oleh individu ataupun korporasi,” ujar Kiai Cholil pada Sidang Pleno Munas Alim Ulama NU di Hotel Sultan, Jakarta, Kamis (6/2/2025).



Negara, lanjutnya, tidak boleh menerbitkan sertifikat kepemilikan laut atau hak guna bangunan (HBG) di kawasan laut baik kepada individu ataupun korporasi. ”Pertanyaan selanjutnya, bolehkan negara menerbitkan sertifikat kepemilikan laut kepada individu atau korporasi? Maka otomatis negara tidak boleh menerbitkan sertifikat baik kepada individu ataupun korporasi,” ujarnya yang disusul tepuk tangan oleh hadirin, dilansir NU Online.


Sekadar diketahui, saat sidang komisi, Kiai Cholil menyampaikan bahwa laut boleh dimanfaatkan oleh siapa pun, untuk berbagai pemanfaatan seperti memberikan minum ternak, mengairi sawah, dan membuat budidaya ikan. ”Kalau kita lihat di Kepualuan Seribu (Jakarta), itu kan ada tambak ikan bandeng laut, yang rasa ikannya dari air asin karena dipelihara di laut. Nah, itu boleh memanfaatkan laut untuk tambak ikan bandeng,” kata rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu.


Negara hanya dapat memberikan izin pemanfaatan laut untuk kepentingan tertentu, seperti perikanan atau pariwisata, tetapi bukan hak kepemilikan penuh. Sebagai pengelola, negara bertanggung jawab memastikan pemanfaatan laut tetap berkelanjutan dan tidak merugikan masyarakat atau lingkungan.


Senada, Sekretaris Komisi Bahtsul Masail Waqi’iyah KH Mahbub Ma’afi menyampaikan bahwa negara tidak boleh menerbitkan sertifikat kepemilikan laut atau HGB di kawasan laut karena berkaitan dengan pelestarian ekosistem laut. “Negara tidak boleh menerbitkan sertifikat, haram hukumnya,” ujar ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU itu.


Ia juga menyampaikan bahwa dalam konteks ini, konsep ihyaul mawat (menghidupkan tanah tak bertuan) tidak dapat diterapkan dalam laut dengan alasan apa pun. “Tidak ada ihya’ul mawat dalam laut,” tegasnya.


Dari Komisi Bahtsul Masail Maudhu'iyah merumuskan landasan teoritis terkait murur dari Mina dan tanazul dari Muzdalifah. Hal ini diungkapkan Ketua Sidang Komisi Bahtsul Masail Maudhu'iyah KH Abdul Moqsith Ghazali di Hotel Sultan, Jakarta, Kamis (6/2/2025). Kiai Moqsith mengatakan, terkait konsep murur sebetulnya telah dibahas dalam musyawarah terbatas jajaran Syuriyah PBNU pada 2023-2024.


Karena itu ketentuan yang disepakati di dalam Komisi Bahtsul Masail merupakan ratifikasi terhadap hasil Basul Masail Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama," ungkapnya dalam Sidang Pleno Munas-Konbes NU 2025. Kiai Moqsith mengutarakan bahwa murur dan tanazul boleh dilakukan dengan syarat, pertama ada udzur syar'i dari jamaah. Termasuk udzur syar'i dalam hal ini ialah orang berisiko tinggi (risti), lansia, jamaah disabilitas, dan pendampingnya. "Karena itu tidak dimungkinkan untuk diselenggarakan sepenuhnya mabit di Muzdalifah dan mabit di Mina," jelas katib Syuriyah PBNU itu.



Lalu alasan lain yakni kapasitas dua tempat tersebut tidak sebanding dengan jumlah jamaah. Jika hal itu dibiarkan, maka berpotensi menimbulkan mudarat lebih besar. "Yang kedua karena tempat dilaksanakannya mabit itu juga tidak memungkinkan, sangat padat," lanjutnya.


Dari Komisi Bahtsul Masail Komisi Qanuniyah menyatakan dalam ajaran Islam pernikahan merupakan bagian dari hifz al-nasl (menjaga keturunan). Untuk itu, keabsahan dalam pernikahan di dalam Islam memiliki ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi.  Hal ini disampaikan Sekretaris Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah Idris Masudi dalam Sidang Pleno Munas Alim Ulama dan Konbes NU 2025 di Hotel Sultan, Jakarta, Kamis (6/2/2025).


Para ulama mazhab berbeda pendapat mengenai rukun pernikahan. Dalam Mazhab Syafi’i, yang mayoritas diikuti oleh umat Islam di Indonesia, rukun pernikahan meliputi sighat ijab-kabul, kedua mempelai, dua saksi, dan wali perempuan. "Maka Komisi Qanuniyah memutuskan kecacatan keabsahan perkawinan bisa terjadi jika tidak memenuhi ketentuan dan persyaratan sebagaimana dalam fiqih," jelasnya.


Dalam konteks pertanyaan di sini, pencatatan kependudukan dan catatan sipil (Dukcapil) atas perkawinan seseorang yang secara syar’i tidak sesuai dengan ketentuan yang ada, maka tidak bisa dibenarkan. "Artinya, Dukcapil menurut Komisi Qanuniyah tidak boleh menerbitkan KK (kartu keluarga) bagi pasangan yang tidak memiliki isbat nikah dari KUA sampai memiliki isbat nikah dari KUA," ujarnya.


Komisi juga menegaskan bahwa mengurus administrasi di Dukcapil seharusnya dilakukan setelah pasangan mendapatkan isbat nikah dari KUA. Hal ini karena di Dukcapil tidak ada pemeriksaan apakah pasangan telah mendapatkan isbat nikah atau belum, yang penting hanya pengisian formulir sesuai ketentuan yang berlaku.


Terkait dengan administrasi kependudukan, Peraturan Presiden No 96 Tahun 2018 menyatakan tentang Persyaratan dan Tatacara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil yang dalam beberapa ketentuannya menegaskan Pasal 11 ayat (1): Penerbitan KK baru untuk Penduduk WNI harus memenuhi persyaratan:

a. buku nikah/kutipan akta perkawinan atau kutipan akta perceraian;

b. Dan seterusnya. 



Kemudian Pasal 33 Ayat (1) menegaskan Pencatatan kelahiran WNI harus memenuhi persyaratan:

a. surat keterangan kelahiran;

b. buku nikah/kutipan akta perkawinan atau bukti lain yang sah

c. KK, dan d. KTP-el. 



Permasalahan ini lalu muncul ketika Permendagri No. 109 Tahun 2019 tentang Formulir dan Buku yang Digunakan Dalam Administrasi Kependudukan, untuk Register Akta  Kelahiran (formulir F-2.03 dan F-2.20).  Peraturan ini pasangan yang belum tercatat KUA boleh mengajukan kepada Dukcapil untuk mendapatkan kartu keluarga (KK) baik sudah Isbat maupun setelah Isbat nikah oleh KUA. "Ini yang kemudian dipersoalkan dalam Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah," jelasnya.


Sedangkan minuman beralkohol adalah minuman yang diharamkan dalam ajaran Islam. Pelarangan konsumsi minuman beralkohol dalam ajaran Islam dimaksudkan sebagai upaya dari menjaga akal pikiran (hifz al-‘aql) dan menjaga jiwa (hifdz al-nafs). Oleh karena itu, Munas Alim Ulama 2025 mendorong pemerintah untuk membuat regulasi tentang larangan minuman beralkohol. Hal itu disampaikan Sekretaris Komisi Bahtsul Masail Idris Masudi dalam Sidang Pleno di Hotel Sultan, Kamis (6/2/2025).


Idris juga menjelaskan bahwa para ulama melihat pembatasan umur dalam aturan pemerintah mengenai hal tersebut belum mencakup pada aspek pengendalian. "Artinya, bahwa pembatasan usia dengan tujuan pengendalian tidak dibenarkan bahwa regulasi yang dikeluarkan pemerintah tidak berdasarkan pada aspek umur, tapi melihat pada aspek lain, seperti kesehatan, norma adab maupun agama," ujarnya.


Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah memutuskan bahwa melarang setiap orang untuk mengonsumsi, mengimpor, mendistribusikan dan memproduksi segala minuman yang mengandung alkohol dan atau minuman yang memabukkan.


Pemerintah, lanjutnya, harus memberikan sanksi tegas berupa pidana penjara dan atau hukuman denda bagi siapa saja yang dengan sengaja, mengonsumsi, mengimpor, mendistribusikan, dan memproduksi jenis minuman yang beralkohol dan atau yang memabukkan.


Di samping itu, hukuman berupa pidana penjara dan atau denda dikecualikan dalam keadaan ada alasan pembenar dan alasan pemaaf berdasarkan undang-undang. Sementara larangan bagi setiap orang untuk mengonsumsi, mendistribusikan, menyimpan, atau mengimpor, dan mendistribusikan itu tidak ada batasan umur.


"Dan, karena RUU (rancangan undang-undang) masih berulangkali masuk Prolegnas dan tak kunjung disahkan, maka rekomendasi agar pemerintah dalam hal ini DPR kembali segera disahkan UU tersebut dengan melibatkan berbagai pihak termasuk NU," jelasnya.


Alasan pelarangan pengendalian alkohol dibahas dalam kesempatan itu, Idris juga menjelaskan, sejak Pra-Munas sudah menyampaikan bahwa RUU tentang Minuman Beralkohol sudah lima tahun di DPR tak kunjung terselesaikan. Dalam persoalan ini, para kiai yang ada dalam Komisi Qanuniyah membahas tentang pengendalian minuman alkohol yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 20 Tahun 2014 yang diubah dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No 25 Tahun 2019, serta dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) di berbagai daerah.


Pasal Pasal 15 Permendag yang berbunyi Penjualan Minuman Beralkohol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) hanya dapat diberikan kepada konsumen yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih dengan menunjukkan kartu identitas kepada petugas/pramuniaga.


"Persoalan ini muncul karena ada ketentuan minuman beralkohol dengan batas usia minimal 21 tahun yang dibuktikan dengan kartu identitas," ujarnya. Idris mengatakan hal ini bagian dari upaya pemerintah untuk mengendalikan peredaran minuman beralkohol agar tidak dijual ke konsumen di bawah umur 21 tahun. Namun, di sisi lain, aturan ini secara implisit menegaskan pemerintah "melegalkan peredaran minuman beralkohol" yang mana, minuman beralkohol merupakan minuman yang diharamkan dalam Islam.


Dari dua aspek ini, imbuh Idris, muncul permasalahan bagaimana hukum pemerintah membuat regulasi tentang pengendalian minuman beralkohol. Kemudian bagaimana hukum pembatasan umur konsumen minuman beralkohol?


Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama 2025 digelar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Hotel Sultan, Jakarta, Rabu sampai Kamis (5-6/2/2025). Dalam munas membahas sejumlah masalah keagamaan yang menyangkut kehidupan sosial kemasyarakatan yang dibagi ke dalam tiga komisi. Waqi'iyah, maudlu’iyah, dan qanuniyah. (Rikhul Jannah, Muhammad Syakir NF, Achmad Risky Arwani Maulidi, Suci Amaliyah)