• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Rabu, 1 Mei 2024

Opini

Dilema New Normal: Mampukah Merekonstruksi Sistem Pendidikan?

Dilema New Normal: Mampukah Merekonstruksi Sistem Pendidikan?
Wakil Bendahara PCNU Kota Tangerang Selatan Andik Kuswanto
Wakil Bendahara PCNU Kota Tangerang Selatan Andik Kuswanto

Oleh: Andik Kuswanto


Indonesia saat ini membutuhkan cara baru dalam tata kelola pendidikan selama pandemi Covid-19 dan pasca pandemi. Pandemi yang saat ini tengah melanda Indonesia jangan sampai menghalangi hak-hak peserta didik untuk mendapatkan pendidikan secara memadai.

 

Karena itu, kita butuh kurikulum baru yang relevan dengan situasi kenormalan baru (new normal). Setelah pandemi berlalu, sekadar menormalkan praksis sekolah tidaklah cukup. Yang diperlukan adalah transformasi, yaitu desain besar untuk mengubah sistem pendidikan secara mendasar.

 

Apalagi visi Presiden Joko Widodo sudah sangat jelas, menyebutkan sumber daya manusia (SDM) sebagai kunci kemajuan bangsa. Untuk mendapatkan SDM unggul, maka pendidikan satu-satunya yang bisa menentukan. Pendidikan menjadi penentu masa depan bangsa ini.

 

Kurikulum 2013 Tidak Pas di Masa Pandemi

Kurikulum 2013 yang begitu padat tidak mungkin lagi kita terapkan selama masa pandemi ini. Ini tantangan kita semua. Apalagi dalam menerapkan pembelajaran jarak jauh ini, baku mutu, standar, tidak ada yang seragam. Ini diserahkan kepada kreativitas masing-masing guru dan sekolah.

 

Sudah pasti akan terjadi kesenjangan antara guru, dan antara satu sekolah dengan sekolah lainnya, atau satu kota dengan kota lainnya, atau satu provinsi dengan provinsi lainnya yang memang tidak dipersiapkan untuk hal tersebut.

 

Untuk menata ulang pendidikan kita ke depan, dan, kami aktivis pendidikan akan menyampaikan dan menyerukan kepada Mas Menteri (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim) mengenai urgensi dari hal ini. Lebih tajam dan lebih jauh, kita sampaikan secara tertulis dan terbuka kepada pemerintah.


Pandemi adalah momentum. Masa pandemi ini adalah momentum untuk kita melakukan hal-hal besar dan mendasar. Untuk mencegah penularan virus, sementara ini para siswa harus mematuhi protokol kesehatan, seraya melakukan berbagai upaya praktis agar pendidikan berjalan normal. Benang merahnya bukan menaikkan angka partisipasi sekolah seperti yang kini banyak dilakukan. Tapi, melakukan perubahan menyeluruh dan mendasar kurikulum sekolah, baik dominasi kontennya maupun remodeling sistem pembelajarannya.

 

Sistem pembelajaran tidak bisa kembali ke suasana seperti sebelum pandemi, terutama selama vaksin belum ditemukan. Maka dari itu, sudah saatnya sektor pendidikan menggunakan dengan cara baru. Jika biasanya belajar di kelas dilakukan selama 6-8 jam, sekarang tidak bisa karena siswa harus berbagi ruangan kelas. Dengan demikian, pemerintah tidak bisa lagi mengharuskan 24 jam mengajar bagi guru. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus melakukan penyesuaian untuk menyelaraskan dengan kenormalan baru tersebut.

 

Dengan pandemi dan setelahnya nanti, kita tidak bisa melakukan tata kelola pendidikan secara business as usual. Kita harus melakukan dengan pendekatan kontekstual. Harus melakukan usaha-usaha khusus. Seperti misalnya membuat modul pembelajaran yang penting adalah bagaimana guru memberikan penjelasan sejelas-jelasnya sehingga anak bisa belajar bersama orang tua.

 

Sistem Online Tak Efektif, Pesantren Paling Terdampak

Sistem pembelajaran jarak jauh (online) terlihat tak efektif. Bahkan, ada anak-anak sekolah yang kesulitan mengikutinya karena tak memiliki gawai dan membeli kuota internet. Selama pemerintah tidak menyediakan internet, proses belajar lewat online akan jauh dari kata efektif.

 

Terkait sistem online ini, pondok pesantren yang paling dirugikan. Akan sangat sulit jika pola belajar pesantren yang sudah berjalan selama ini digantikan pola online. Ditambah lagi banyak pondok pesantren yang di pelosok-pelosok desa tidak menerapkan metode pembelajaran berbasis daring. Pasalnya, sangat sedikit para santri dan pengajar ponpes yang memiliki dan menguasai teknologi.

 

Untuk itu, saya mendorong Kementerian Agama agar lebih memperhatikan ponpes terutama yang berada di pelosok desa. Karena mereka tidak memiliki akses anggaran. Jika pemerintah (Kemenag) tidak memperhatikan ini, ponpes terancam mati.

 

Penulis adalah Wakil Bendahara PCNU Kota Tangerang Selatan/

Alumni UIN Syarief Hidayatullah Jakarta 


Opini Terbaru