Redaksi Banten
Penulis
Oleh: Nasuha Abu Bakar MA
Di dalam kehidupan manusia, ada kebiasaan tidak baik yang semestinya dihindari dan dijauhi supaya cara hidupnya realistis, nyaman, tidak terprovokasi oleh khayalan dan angan-angan. Kebiasaan yang tidak baik itu adalah sikap "Sawang Sinawang".
Dalam Kamus Bahasa Jawa, ini diterjemahkan saling membayangkan. Istilah "Sawang Sinawang" digunakan biasanya oleh dua pihak yang berbeda. Seperti masyarakat pedesaan dengan perkotaan. Masyarakat yang tinggal di pedesaan selalu "Sawang Sinawang" atau beranggapan bahwa masyarakat yang tinggal di kota hidupnya enak dan sejahtera. Segala-galanya ada, serba berkecukupan, hidupnya pasti bahagia. Sebaliknya, masyarakat yang tinggal di kota beranggapan juga bahwa masyarakat yang tinggal di pedesaan hidupnya lebih tenang, nyaman, dan pasti bahagia karena tidak dikejar-kejar oleh target dan kebutuhan. Itulah "Sawang Sinawang"
Terjadinya urbanisasi atau perpindahan penduduk dan masyarakat terutama dari pedesaan ke kota karena adanya "Sawang Sinawang" tadi. Dianggapnya di kota mencari rezeki, memburu rupiah jauh lebih mudah kalau dibandingkan dengan di desa. Sehingga berbondong-bondong, orang-orang desa hijrah ke kota tanpa dipikir matang, bahkan banyak tanpa berbekal ilmu dan uang. Akhirnya, tidak mustahil menjadi penambahan angka pengangguran.
Sebut saja istilah ”Man Sil”, menggunakan istilah dari Ustaz Dzul Birri. Man Sil bukan bahasa asing, tapi singkatan dari Manusia Silver. Ada juga yang menyebutnya Silverman. Komunitas ini biasanya bisa ditemukan di setiap lampu merah. Sekujur tubuhnya dilumuri warna silver.
Dengan bermodalkan kardus bekas menghampiri setiap kendaraan roda empat pada saat berhenti di lampu merah. Pada saat lampu merah menyala kesempatan ini dimanfaatkan oleh Man Sil untuk mengadu nasib. Dengan cara sedikit membungkukkan badannya sambil mendekatkan kardus di tangannya berharap pengendara roda empat mau membuka kaca mobilnya dan memberikan uang kecilnya, syukur-syukur pecahan lima, sepuluh atau dua puluh ribuan. Tapi biasanya paling besar pecahan lima ribuan umumnya dua ribuan.
Di bawah sinar lampu jalanan, seorang ibu menggendong anak kecil yang kedua-duanya badannya dilumuri warna silver. Pada satu sisi batin saya kagum, kegigihannya dalam mengejar rupiah, selain bermodal keberanian, menghilangkan rasa malu dan tidak mengenal batas waktu.
Disisi lain, batin saya terasa teriris-iris melihat pengorbanan yang sangat tidak seimbang. Waktu sudah larut malam, suasana sedang musim hujan, pendapatan nya tidak seberapa. Risikonya besar, sangat mungkin mendapatkan nasib apesnya, yaitu dikejar kejar oleh para petugas karena dianggap mengganggu ketertiban dan kenyamanan lalu lintas umum.
Sikap bijak dalam diri manusia adalah mensyukuri segala apa yang sudah dititipkan oleh Allah dan buang jauh-jauh sikap "Sawang Sinawang" yang sering menjerumuskan pada pilihan yang tidak tepat. Begitu pesan Ustaz Dzul Birri kepada jama'ah malam Jum'at Kliwonan-nya. Wallaahu 'alamu bish shawaab wa ilahil musta'aan.
Terkini
Lihat Semua