• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Jumat, 29 Maret 2024

Opini

Satu Abad NU

Menjemput Abad Ke-2 Nahdlatul Ulama

Menjemput Abad Ke-2 Nahdlatul Ulama
Ilustrasi Harlah 1 Abad NU. (Foto: Instagram NU Online)
Ilustrasi Harlah 1 Abad NU. (Foto: Instagram NU Online)

Peringatan satu abad Nahdlatul Ulama (NU) beberapa waktu yang lalu menyita banyak perhatian publik. Sebagai organisasi keumatan yang konsisten bergerak sejak era pasca dan prakemerdekaan Republik Indonesia, NU telah menasbihkan diri untuk melewati gelombang tajam perjuangan. Dengan basis alim ulama, santri, dan lapisan masyarakat Nusantara, NU dengan sangat setia menggendong nasib bangsa menjadi negeri yang mampu beradaptasi dalam berbagai tantangan dan situasi.


Satu abad Nahdlatul Ulama adalah kapsul waktu yang baru saja dibuka dan  dirayakan sebagai fakta terwujudnya mimpi funding fathers tentang cita-cita luhur pembangunan bangsa. Seratus tahun ke depan, kapsul waktu yang menyimpan harapan langit para Nahdliyin ini akan menjadi sejarah apa dan bagaimana peradabaan bangsa ini nantinya? Tentu saja, di bawah pemikiran besar warga Nahdliyin, menyongsong abad kedua Nahdlatul Ulama, adalah relung waktu yang sedang dan akan tetap menjadi misi besar NU dalam memberdayakan kehidupan berbangsa, bernegara, dan beragama di bumi Nusantara.


Di abad kedua dalam ‘rimbun’ gagasan Nahdlatul Ulama yang menelah Indoneisa dan dunia, tentu saja akan berhadapan dengan aneka ragam tantangan dan era baru yang lebih kaya. Sejak dunia memasuki abad 21 seperti sekarang ini, perubahan – perubahan besar telah mengilhami banyak peradaban di berbagai lapisan warga dunia. Penemuan sainstifik dan pesatnya kemajuan teknologi misalnya, perlahan mengubah paradigma dan bahkan cara memaknai hidup kebanyakan orang. Menuju Abad Kedua Nahdlatul Ulama, warga Nahdliyin secara produktif harus mempersiapkan narasi besar yang dijadikan sebagai acuan dalam upayanya menyelesaikan berbagai problem keumatan. Dan tentu saja, melalui pendekatan kajian keilmuan dan pemikiran mendalam cendikiawan NU. 


Seratus tahun NU adalah spirit berkesadaran yang mengabdi pada negeri tanpa pamrih. Nusantara di awal–awal berdirinya NU ibarat secarik kertas putih yang sukses digambarkan dan diartikulasi oleh kekuatan Ilahi melalui para kiai. Melalui ratapan tangis dan rapal doa- doa suci yang turun dari rahim langit. Sekali lagi, NU bekerja keras atas era pencerahan Indonesia di era transisi dan pergulatan kebangsaan atas berbagai faham dan arus ideologi. Dalam komitmen kebangsaanya, buah pikir warga Nahdliyin yang berlandaskan kajian kritis tetap mengikat diri bahwa; cinta tanah air bagian dari keimanan. Sebab keimanan adalah kepercayaan teguh atas pemegang otoritas yang absolut, yakni; Tuhan yang Maha Kuasa.


Pada beberapa dekade ke depan, kira–kira di awal tahun 2040’an, adalah era emas  Indonesia. Dimana zaman itu konstruksi pemikiran kebangsaan akan membangun focus bagaimana bangs ini berganti setatus menjadi negara maju. Di era itu pulalah akan terlihat seperti apa gelanggang kemajuan itu di ciptakan. Generasi emas Indonesia yang saat ini sedang mempersiapkan diri menuju masa keemasan itu, tidak boleh lengah memperjuangkan cita-cita bangsanya. Semua komponen harus terlibat menjemput pembaharuan Indonesia sampai ke garis finis. Menyelesaikan persoalan bangsa dengan fikiran progresif, membuka jiwa dan menyerap kekayaan ilmu yang membentang di alam Nusantara. 


NU dan Indonesia tidak bisa dipisah dari perjalananya menuju cita–cita pembangunan. Organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia dan memiliki basis Internasional ini, telah nyata tumbuh dan bergerak melintasi jangkar waktu. Kaum Nahdliyin juga merupakan aset yang melahirkan para pemikir keislaman yang luar biasa berkontribusi melayani perkara krusial yang menyangkut soal agama, kerukunan, syari’at, fatwa, dan persoalan-persoalan kebangsaan. Tidak heran apabila pada fase-fase tertentu Nahdlatul Ulama (NU),  sanggup menampilkan figur berkualitas yang gigih berani, menawarkan jawaban pada setiap inti persoalan bangsa. Inilah Nahdlatul Ulama, sebagai nahkoda menyejarah dan akan terus menciptakan sejarah. 


Jika Kita menengok kebelakang, kita akan terpukau pada era kegemilangan Islam dibawa kepemimpinan Harun Ar-Rasyid di awal abad 9 SM sekitar tahun 650 M. Di mana saat itu, ada sebuah negeri tampil menjadi raksasa ilmu pengetahuan yang membuka diri menyambut kedatangan para ilmuan dari seantero dunia. Negeri itu adalah Bagdad, sebagai  kota literasi yang menyodorkan berjuta teks pengetahuan. Raja Harun Ar-Rasyid adalah karakter pemimpin inklusif yang toleran dan menghargai pikiran-pikiran cemerlang. Bagdad di bawa tampuk kempemimpinanya menjelma menjadi matahari pengetahuan yang memantulkan cahaya ilmu dan mengetuk hati para pelajar dari berbagai ras, suku, dan agama.  Orang-orang dari berbagai latar belakang saat itu menikmati Bagdad seperti sebuah telaga pengetahuan yang menghilangkan dahaga bagi mereka yang kehausan ilmu.


Namun seiring berjalannya waktu, kedigdayaan Bagdad sebagai kiblat pengetahuan dunia ditenggelamkan oleh tentara Mongol di bawah komando Hulagu Khan. Seketika, Bagdad lenyap dari peredaran para pencinta Ilmu dan kehilangan jutaan teks berharga hasil buah pikir para cendkiawan Islam. Buku-buku hasil riset dan pendalaman pengetahuan itu dibuang dan dibakar menjadi gunung abu yang kemudian di buang di sepanjang Sungai Tigris. Peristiwa ini oleh Karl Amstrong disebut sebagai awal kehancuran peradaban ilmu pengetahuan Islam yang sungguh tidak bisa dibayar dan digantikan oleh seisi dunai sekalipun. Sebab bagi sejarah, penghancurkan Kota Ilmu di Bagdad oleh pasukan Mongol adalah tragedi  kemanusian sekaligus pembunuhan masal yang mematikan urat nadi ilmu pengetahuan. 


Melihat persitiwa Bagdad tempo dulu sebagai negara kota yang berciri khas akseleratif dan terbuka terhadap kemajuan, rasanya seperti kita melihat Indonesia dalam konteks tertentu. Sebagai negara multietnis yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Era pencerahan pengetahuan dan peradaban dunia selalu ditandai dengan corak kebudayaan yang terbuka dan toleran. Salah satu cirinya adalah multikulturalisme; sebuah negeri dengan struktur antroplogis yang padat dan menawarkan perdamaian. Dalam konteks Keindonesian, kita melihat ada adabtasi luar biasa di tengah-tengah kemajmukan. Di alam raya Nusantara ini, adalah bukan sekadar negeri yang diramalkan, namun sebuah konsepsi besar yang harus di wujudkan menjadi Indonesia Maha Karya, atau dengan kata lain ‘House Of Wisdom’ (rumah kebijaksanaan).


Jika Bagdad pernah menjadi kiblat pengetahuan dunia, maka Nusantara adalah jawaban berikutnya untuk mengembalikan era pencerahan itu. Dan NU sangat memungkin menjadi salah satu pelopor kebangkitan ilmu pengetahuan keIslaman dunia. Di mana alam Nusantara dibangun di atas manifesto spiritual dan intelektual yang terbuka, toleran, dan mampu beriringan dengan ketaqwaan. Hal ini terbukti bagaimana NU menginisiatori berdirinya puluhan ribu pesantren sebagai basis utama pendalaman kajian Keislaman. Sebab pesantren adalah artefak peradaban Indonesia yang berkarakter indogenus dengan memadukan pengajaran kitab kuning  dengan unsur kebudayaan lokal berlandaskan ilmu pengetahuan keislaman. 


Di gerbang abad kedua Nahdlatul Ulama ini, era emas Indonesia dapat di wujudkan melalui penguatan karakterisasi pendidikan pesantren sebagai ujung tombak pembangunan ilmu pengetahuan yang berkorespondensi dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Sebab, hanya dengan pondasi pengetahuan agama yang matang dan berkualitaslah, anak cucu Nahdlatul Ulama akan siap dengan segenap jiwanya menyambut tantangan dan perubahan zaman di masa mendatang.  

 


Akbaruddin, Ketua Lakpesdam PCNU Kota Serang


Opini Terbaru