• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Sabtu, 4 Mei 2024

Opini

‘Nalar Keindonesiaan’ Versus ‘ Polusi Nalar’   

‘Nalar Keindonesiaan’ Versus ‘ Polusi Nalar’   
Bendera Merrah Putih
Bendera Merrah Putih

Oleh: Soffa Ihsan

Kegaduhan demi kegaduhan tengah membisingkan negeri ini. Ucapan kotor dan penuh caci maki disertai sikap dan tindakan kekerasan terus meluberi ‘polusi nalar’ yang mencemari kehidupan khalayak.  Belum reda, aksi teror nan sadis dari Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Poso barusan berselang kian meneror ketenangan masyarakat.

 

Penangkapan demi penangkapan oleh Densus 88 tak memudarkan militansi kelompok terorisme untuk beraksi. Masih bersemayam sel-sel teroris yang terus menggeliat. Kelompok ini masih membiak dan memiliki jejaring yang cukup kuat disamping dukungan masyarakat sekitar. 

 

Di sebelah fakta lain, mengerasnya identitas. Disini yang terbangun dan bermunculan di banyak wilayah di Indonesia memperlihatkan kecenderungan dua pola, yaitu positif dan negatif atau bahkan destruktif. Untuk pola yang kedua tampak pada kelompok-kelompok keagamaan yang mengukuhkan identitasnya dengan menafikan, menyingkirkan, dan memberantas yang lain. Logika seperti ini dikembangkan berdasarkan apa yang disebut Jacques Derrida sebagai prinsip ”oposisi biner” atau Michel Foucault sebagai ”logika strategis” seperti modern-tradisional, superior-inferior, mayorita-sminoritas, Barat-Timur, dan Islam-kafir (sesat).

 

Tak pelak, terjadilah pengerasan identitas primordial dan sentimen sektarian. Fakta ini sesungguhnya adalah salah satu permasalahan kebudayaan yang mengemuka hampir merata di tiap daerah. Dimana-mana merebak konflik sosial berbasis etnis, keagamaan atau perbedaan cara dan orientasi hidup. Konflik-konflik itu kerapkali juga diwarnai oleh sentimen yang menolak kepentingan kebangsaan dan lebih mengunggulkan kepentingan kelompok atau golongan sendiri.
Medan Pertarungan

 

Ruang publik seringkali disengketakan. Klaim atas kepemilikan ruang publik pada ranah praksis menyebabkan banyaknya konflik yang mengarah, tidak hanya pada potensi disintegrasi, tetapi juga sampai pada tataran penggerusan nilai-nilai dasar kemanusiaan. Kelompok-kelompok sedemikian rupa bersaing dalam masyarakat sehingga kelompok yang tidak berafiliasi pada kelompok dengan keyakinan tertentu kurang mendapatkan perhatian. 

 

Kondisi kehidupan keagamaan di Indonesia dewasa ini adalah contoh nyata dari perebutan atas ruang publik. Demikian juga kondisi ini merupakan aplikasi dari ketidakteraturan gagasan dalam penataan ruang publik yang damai bagi masyarakat plural seperti Indonesia. 

 

Fakta radikalisme yang memunggungi dan bahkan menolak kebinekaan tentu mengejutkan banyak pihak. Indonesia yang selama ini dikenal dengan masyarakatnya yang moderat, multikultur, dan menyimpan jamak kearifan lokal harus menerima ‘nasib’ diterpa oleh tumbuh kembang radikalisme yang memekakkan. Bagaimana memahami cuaca kultural bangsa ini yang sedang ditandai oleh berbagai gejala seperti fanatisme dan radikalisme, yang persis merupakan penghalang kemungkinan membentuk masyarakat yang pluralis dan multikultur? 

 

Menyitir ungkapan dari Karlina Supelli (2011) dalam merebaknya berbagai gejala tersebut, apa yang rupanya terjadi adalah kecenderungan pemutlakan, yang mengarah pada dogmatisasi pengetahuan melalui penyingkiran ciri antropologis yang intrinsik pada actus mengetahui itu sendiri. Peluang bagi dialog antara sains, filsafat, dan agama akan terbuka jika dan hanya jika ciri antropologis pengetahuan dihargai secara memadai. 

 

Nalar filosofis keindonesiaan

Setelah Indonesia merdeka, keinginan untuk menjadi bangsa yang bangkit dan mandiri terus dikumandangkan oleh pemimpin nasional saat itu. Soekarno senantiasa membangkitkan semangat rakyat Indonesia untuk menjadi bangsa yang mandiri dengan ajakan berdikari, yaitu “berdiri di atas kaki sendiri”. Ajakan untuk menjadi bangsa yang mandiri ini dilanjutkan dengan “Trisakti”, yaitu kemandirian di bidang politik, ekonomi, dan budaya.

 

Semangat untuk menjadi bangsa yang berkarakter dan mandiri ditegaskan lagi dengan pencanangan “Nation and Character Building” dalam rangka membangun dan mengembangkan karakter bangsa Indonesia guna mewujudkan cita-cita bangsa, yaitu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Secara spesifik, amanat ini berfokus tentang pentingnya karakter ini sebagai “mental investment”. 

 

Demikianlah, para founding-fathers bangsa kita sedari awal kemerdekaan menyadari betul pentingnya dimensi kesadaran kolektif-spiritual dari kata bangsa itu. Pancasila muncul antara lain sebagai upaya untuk menegaskan kembali ikatan spiritual bangsa Indonesia yang secara historis sebenarnya telah terbentuk sejak berabad-abad lalu. 

 

Indonesia menjadi sebuah negara yang merdeka tidak instan, Indonesia berdiri sendiri atas perjuangan bangsa Indonesia yang kritis, rasional dan bertumpah darah. Dan filsafat menjadi ujung tombak perjuangan bangsa Indonesia. Para founding father kita membaca karya-karya filsafat dari para filsuf dunia. Bung Karno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Sutan Takdir Alisyahbana, dan lainnya merupakan cetakan filsafat.

 

Walaupun mereka tidak membidangi filsafat dibangku sekolah. Soekarno dalam karya-karyanya seperti Indonesia Menggugat dan Di bawah Bendera Revolusi, sangat dipengaruhi oleh Plato dalam karyanya “The Republic” dan Karl Marx dalam karyanya “Das Capital”. Tidak hanya itu, Hatta turut menganalisis dalam filsafat ekonomi Keynesian dan Adam Smith yang beraliran kapitalisme. Hatta sangat anti terhadap kapitalisme yang menjadikan Indonesia objek dari eksploitasi sumberdaya alam dan manusia demi income dari negara penjajah.

 

Inilah sebabnya mengapa para pahlawan kita disebut sebagai founding father, karena mereka bukan hanya berjiwa pejuang, tetapi juga pemikir. Dan ini dilalui dengan landasan berfikir kritis serta prinsip bahwa  filsafat mampu merubah dunia.

 

Belakangan, dengan kita saksikan munculnya berbagai konflik, menunjukkan masyarakat kita tidak atau belum bisa menerima adanya perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat, ideologi, agama, suku, dan budaya sering menjadi sumber konflik sosial maupun politik. Perbedaan nilai dan norma tersebut sering dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk mencapai kepentingannya dengan menciptakan konflik sosial maupun konflik politik.

 

Cara berpikir diagonalistik seperti saat ini sangat potensial menjadi sumber konflik, bila ada yang memprovokasi akan mudah meluap terutama pada saat menjelang kontes politik. Masing-masing pendukung partai memandang pendukung partai lainnya sebagai lawan yang harus dihancurkan, termasuk dengan kekerasan. Konflik antar pendukung calon dalam Pilkada yang terjadi di berbagai daerah sepanjang ini juga disebabkan oleh paradigma berpikir diagonalistik.
 

 

Di sinilah perlunya mengemukakan kembali cara berfikir filosofis. Filsafat sejatinya adalah suatu tindakan, suatu aktivitas. Filsafat adalah aktivitas untuk berpikir secara mendalam tentang pertanyaan-pertanyaan besar dalam hidup manusia, semisal apa tujuan hidup, apakah Tuhan ada, bagaimana menata organisasi dan masyarakat, serta bagaimana hidup yang baik serta mencoba menjawabnya secara rasional, kritis, dan sistematis.

 

Tak terelakkan, filsafat menjadi bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Secara ilmiah, filsafat diakui sebagai induk dari segala ilmu pengetahuan. Filsafat merupakan landasan untuk mengembangkan pengetahuan yang sangat berguna bagi peradaban manusia.
Menekuni filsafat akan mengantarkan manusia mencapai kebijaksanaan yang akan membuat kualitas hidup menjadi lebih berarti. Filsafat sejak dulu berada di balik semua gerakan sosial yang terjadi pada masyarakat.

 

Filsafat telah menggariskan idea bagi manusia, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat, selain fungsi akademis dalam menafsirkan kosmos dan mengarahkan manusia kepada kemajuan. Daya berpikir tingkat tinggi selalu menjadi patokan utama dalam filsafat, inilah manusia dengan entitas ekstrim dalam berpikir. 

 

Bagaimana dengan filsafat Indonesia? Filsafat Indonesia adalah filsafat yang diproduksi oleh semua orang yang menetap di wilayah yang bernama Indonesia, yang menggunakan bahasa-bahasa di Indonesia sebagai mediumnya, dan yang isinya memiliki segi distingtif bila dibandingkan dengan filsafat lainnya, seperti filsafat Barat dan filsafat Timur.

 

Menarik untuk mencuplik apa yang pernah dirasakan oleh Tan Malaka. Dalam beberapa kesempatan, ia mengeluhkan minimnya buku filsafat dapat dijumpai di Indonesia, selang beberapa saat dia kembali ke tanah air dari pelariannya. Tan Malaka yang membutuhkan referensi buku filsafat untuk menuliskan banyak pemikiran dan gagasannya tentang Indonesia, kemudian menyadari betapa miripnya tanah kelahirannya dengan negeri penjajahnya, Belanda.

 

Filsafat merupakan hal yang tidak populer di Belanda. Itulah sebab mengapa politik Belanda demikian rumitnya, dipenuhi banyak partai politik, senang mempersoalkan hal yang remeh temeh, namun melupakan hal substansial. Bahkan Tan menyebut, di Belanda terdapat puluhan partai politik yang saling berkelahi sendiri saat pasukan Panser Jerman menggulung Belanda hanya dalam hitungan jam pada Perang Dunia II.

 

Sebagai suatu tradisi pemikiran abstrak, menurut studi Mochtar Lubis dalam Indonesia: Land under The Rainbow (1990), filsafat Indonesia sudah dimulai oleh jenius lokal Nusantara di era neolitikum, sekitar tahun 3500–2500 SM. Tapi, sebagai nama kajian akademis diantara kajian-kajian akademis yang lain, seperti kajian Filsafat Timu' atau Filsafat Barat, Filsafat Indonesia merupakan kajian akademis baru yang berkembang pada dasawarsa 1960-an, lewat tulisan rintisan M. Nasroen, Guru Besar Luar Biasa pada Jurusan Filsafat di Universitas Indonesia, yang berjudul Falsafah Indonesia (1967).

 


Kehadiran ilmu filsafat di Bumi Pertiwi memang masih berusia muda bila dibandingkan dengan usia kelahiran ilmu ini di Yunani pada sekitar abad ke-6 sebelum Masehi. Filsafat sebagai kajian akademis baru hadir di Indonesia pada abad ke-20. Berbagai ide filosofis bisa kita tengarai kehadirannya sepanjang sejarah pergulatan menuju kemerdekaan. Namun, bila istilah filsafat tidak kita batasi sebagai kajian akademis, melainkan merujuk pada cara berpikir khas di Nusantara, kita bisa menunjukkan teks-teks sastra Jawa pada abad ke-11-12 M, atau bahkan pada mitos-mitos yang kita tidak tahu persis dari abad berapa muncul di Bumi Pertiwi. 

 

Dalam khazanah filsafat di Indonesia kita menyebutkan adanya “individu-individu hebat” semisal Mpu Kanwa dengan Arjunawiwaha-nya di abad ke-11, Mpu Sedah dan Panuluh dengan Bharatayudha-nya di abad ke-12, Mpu Tantular dengan Arjunawijaya-nya di abad ke-13, Yosodipura yang menyadur Dewaruci di abad ke-18, serta Mangkunegara IV dengan Pakem Pedalangan dan Ronggowarsito dengan Serat Pustaka Rajapurwa-nya.

 

Secara umum, banyak orang berpendapat bahwa ada perbedaan antara Barat dan Timur. Dalam buku To Thi Anh, Eastern & Western Cultural Values: Conflict or Harmony (1975) berbicara dengan lebih mendalam mengenai hal ini. Perbedaan yang dimaksud bukanlah klise bahwa Barat adalah “actif, progressif materialistik” dan Timur adalah “passif, traditionalis, spiritual”. Rasanya buka rahasia lagi bahwa orang Timur pun bisa sangat aktif seperti orang Jepang atau orang Korea, bisa sangat progresif semisal lahirnya Revolusi China dan juga bisa sangat tidak spiritual sebagaimana terlihat kebanyakan anak muda Asia sekarang yang sama sekali tidak spiritual

 

Ideal hidup orang Barat dipengaruhi oleh konsepsi judeo-kristiani yang meletakkan manusia sebagai “actor” pusat dalam pembentukan dunia dan sejarahnya. Visi judeo-kristiani yang digabungkan dengan “greek intellectual search” telah memunculkan penemuan-penemuan ilmiah yang mengandaikan penaklukan alam. Sementara di Timur, meski cara hidup orang Asia menganjurkan keterlibatan pada hidup bermasyarakat, ideal orang Timur adalah “non interference, moderation, humanity, and patience”. Oleh karena itu, orang Timur lebih mengidealkan hidup yang: “sederhana, tenteram, mencukupkan diri dengan kebutuhan yang seperlunya berkat pekerjaan yang menurutnya cocok untuk itu. Ideal orang Timur adalah hidup yang bebas dari pencarian nilai-nilai duniawi: kenyamanan, keterkenalan, kekuasaan, dan kekayaan.

 

Nah, di sinilah ada kebutuhan perlunya mengkaji filsafat Indonesia. Studi filsafat Indonesia belum disentuh oleh para cendikia Indonesia.  Saat ini, banyak peneliti dari negara lain mempelajari objek material budaya Indonesia, akan tetapi pribadi masyarakat Indonesia belum dipahami oleh para peneliti dari negara lain tersebut sehingga studi yang dilakukan dangkal dan kering karena belum menyentuh pada nilai-nilai luhur dari bangsa Indonesia

 

Secara kepentingan praktis, studi kefilsafatan Indonesia ini dapat dikemas semenarik mungkin sehingga dapat disosialisasikan dan dapat menjadi orientasi terutama bagi pembangunan visi keindonesiaan yang berkarakter (national character building). Sedangkan misi paradigmatik yang diemban adalah merekontruksi pemikiran Filsafat Indonesia dimana saat ini ada asumsi-asumsi yang harus dibangun kembali.
Disis lain, ada pemikiran bahwa filsafat Indonesia identik dengan filsafat Pancasila. Pancasila adalah bagian dari kenusantaraan yang secara ilmiah harus dibedakan. Dalam mencetuskan pikiran ataupun budaya Indonesia, keduanya berdialektika menjadi civillization. Local genius merupakan penanda yang menunjukan identitas yang berbeda dengan suku bangsa yang lain. 
 

 

Sistematika pemikiran Filsafat Indonesia bisa diklasifikasikan  dalam 3 pilar jati diri, yaitu, pertama, Pilar Ontologis. Pilar ontologis disini adalah manusia Indonesia yang terdiri atas jiwa dan raga keindonesiaan. Penduduk Indonesia dari Sabang sampai Merauke yang diakui secara formal, mempunyai tradisi yang khas Indonesia, mempunyai karakter-karakter manusia Indonesia yang tercermin dalam objek materialnya. Kerangka ontologis ini tercermin misalnya dari karya-karya sastra Indonesia. Misalnya, karya Hamzah Fansuri mengenai  tasawuf Aceh yang jelas berbeda dengan tasawuf Arab.

 

Kedua, Pilar Aksiologis. Pilar aksiologis adalah nilai-nilai luhur Indonesia seperti ramah-tamah, gotong-royong, nilai estetik Indonesia yang khas yang membedakan dengan bangsa lain. Misalnya seni tradisi reog, nilai-nilai yang melatarbelakanginya berasal dari nilai bangsa Indonesia yang berbeda dengan Malaysia. Ketiga, Pilar Epistemologis. Pilar epistemologis mencakup pengetahuan dan sejarah asal-muasal terbentuknya budaya tersebut.

 

Dalam mendiskusikan soal “filsafat asli”, Zoetmulder (2000) menghindarkan kita untuk berpikir bahwa “filsafat” haruslah berwujud sistem berpikir yang penuh dan utuh sebagaimana berkembang dalam tradisi rasionalisme atau empirisme di Barat. Bagi Zoetmulder, filsafat secara umum dapat didefinisikan sebagai “suatu pencarian dengan kekuatan sendiri tentang hakikat segala wujud (fenomena) yang bersifat mendalam dan mendasar”.

 

Manakala dalam unsur-unsur kebudayaan, misalnya Jawa, ditemukan pencarian semacam itu, maka jelas bahwa sebuah filsafat juga bisa ditemukan di situ. Memang benar bahwa pencarian itu belum terwujudnyatakan dalam sebuah sistem berpikir yang utuh. Namun, bila kita menilik karya-karya sastra di Jawa, atau mengamati cara hidup rakyat biasa, menurut Zoetmulder, kita bisa menemukan “kecintaan mereka (rakyat) terhadap renungan filsafat.” Dengan istilah “asli,” Zoetmulder juga tidak memaksudkan seolah-olah filsafat harus murni bertumbuh dari bumi Indonesia.

 

Sebab, yang disebut Filsafat Barat pun asalmuasalnya tidak dari Barat, melainkan dari daerah Mediterania (Yunani). Kisah-kisah pewayangan yang sangat hidup dalam imajinasi rakyat misalnya tokoh Werkudara atau Bima yang mencari air hidup untuk mendapatkan ilmu sejati, jelas berasal dari epos Mahabharata. Meskipun berasal dari India, kisah ini sangat hidup dan berkembang di kalangan umum rakyat Jawa, bisa menjadi bahan untuk direnungkan dimensi filosofisnya.

 

Penegasan kembali

Zoetmulder sepakat bahwa pendidikan filsafat—entah itu yang asli sini atau Barat—harus diberikan supaya para siswa memiliki sikap kritis. Dengan mempelajari kebijaksanaan yang tumbuh dari akar budayanya sendiri, siswa bisa hormat dengan milik bangsa sendiri. Sementara dengan mempelajari Filsafat Barat, para siswa bisa paham dengan berbagai pandangan yang bertumbuh pada bangsa lain, apalagi kalau paham-paham itu telah merasuki ke bangsa kita juga.


Penegasan adalah sebuah pengingatan atau upaya untuk mengingat kembali, sebuah upaya untuk kembali menyatukan diri. Yang mau ditegaskan, diingat, disatukan kembali adalah dasar  yang memungkinkan masing-masing kita bisa hidup, berpikir, bersuara, bekerja dan terlibat sebagai warga di dalam komunitas bangsa yang khas, dalam hal ini adalah Indonesia. Tetapi, setiap penegasan dan pengingatan memang akan selalu dibayang-bayangi oleh kemungkinan pelupaan dan ketidakpedulian. Hanya jika manusia bisa melupakan, maka ia bisa mengingat. Demikian juga setiap ingatan selalu dibangun di atas dasar pelupaan. 

 

Akhirnya, berangkat dari sinilah terasa pentingnya untuk ‘kembali ke akar’, yakni dengan mengembalikan jati diri manusia Indonesia untuk mau dan mampu berfikir secara mendalam dan komprehensif. Pendangkalan pemikiran yang terjadi selama ini telah membuat banyak implikasi yang berbahaya bagi kelangsungan keindonesiaan. Situasi bangsa kita tampaknya memerlukan perhatian serius, tak hanya pada sistem dan praktik, melainkan konsepsinya.

 

Pengayaan konseptual pada elit bangsa, sekaligus penyadaran pada masyarakat yang selama ini cenderung menjadi objek semata, merupakan sebuah keniscayaan. Perenungan filosofis atas situasi objektif akan mampu melahirkan konsepsi yang membumi, sesuai dengan kebutuhan bangsa Indonesia saat ini. Sehingga diharapkan dapat membawa bangsa ini melewati kebuntuan-kebuntuan dalam membangun peradaban keindonesiaan yang lebih baik dan indah.

 


Penulis adalah Direktur Eksekutif Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Rumah Daulat Buku (Rudalku). 

 


Opini Terbaru