• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Kamis, 2 Mei 2024

Opini

Tenggelamnya Metafisika dalam Nalar Filsafat

Tenggelamnya Metafisika dalam Nalar Filsafat
Gambar: Ilustrasi Metafisik/Sumber: NU Online
Gambar: Ilustrasi Metafisik/Sumber: NU Online

Oleh : Hamdan Suhaemi 

 

Tertarik untuk memprovokasi nalar orang, bahwa ada kajian filsafat yang luput dari amatan atau kajian yaitu cabang filsafat, metafisika. Untuk meluas hingga detil-detilnya kajian metafisis, perangkat filsafatnya perlu ditinjau juga seperti logika, tentang teori fisika, bahkan kabar dari pandangan agama ( teologia ). Sekedar meninggalkan apriori hingga sedikit mengarah pada hipotesa.

 

Apa itu Metafisika

 

Metafisika berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri atas dua kata yaitu meta dan pysika. Meta artinya sesudah atau dibalik sesuatu dan fisika artinya nyata, kongkrit yang dapat diukur oleh jangkauan panca indera. Metafisika secara tradisional didefiniskan sebagai pengetahuan tentang pengada (Being).

 

 Eksistensinya dibalik sesudah fisik ( meta fisik ) perlu dikaji. Istilah metafisika diketemukan Andronicus pada tahun 70 SM ketika menghimpun karya-karya Aristoteles, dan menemukan suatu bidang diluar bidang fisika atau disiplin ilmu lainya.

 

Menurut Nicolai Hartman, ia mengartikan bahwa metafisika adalah tempat khusus yang diperuntukan bagi objek-objek transenden, daerah spekulatif bagi tanggapan-tanggapan tentang Tuhan, kebebasan dan jiwa, juga sebagai pangkalan bagi sistem-sistem spekulatif, teori-teori dan tanggapan dunia terhadap sesuatu yang eksistensinya di luar dimensi yang fisik - empirik.

 

Jangkauan Metafisika

 

Metafisika, salah satu cabang filsafat yang rumit, meskipun hampir sebanding dengan kajian logika yang cenderung spekulatif bukan lagi obyektif murni. Biar begitu pintu masuk memahami metafisika tentunya lewat fisika. Fisika, baru muncul saat Aristoteles menyampaikan falsafahnya tentang eksistensi alam, yang kemudian fisika juga menjadi cabang filsafat. Bicara di luar yang ada ( metafisika ) maka perlu memahami yang ada ( ontologi ).

 

Manusia mempunyai beberapa pendapat mengenai tafsiran metafisika. Tafsiran yang pertama yang dikemukakan oleh manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat hal-hal gaib (supranatural) dan hal-hal tersebut bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Pemikiran seperti ini disebut pemikiran supernaturalisme. Dari sini lahir tafsiran-tafsiran cabang misalnya animisme. Selain faham diatas, ada juga paham yang disebut paham naturalisme. Paham ini amat bertentangan dengan paham supernaturalisme.

 

Paham naturalisme menganggap bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat gaib, melainkan karena kekuatan yang terdapat dalam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan diketahui.

 

Orang orang yang menganut paham naturalisme ini beranggapan seperti itu karena standar kebenaran yang mereka gunakan hanyalah logika akal semata, sehingga mereka menolak keberadaan hal-hal yang bersifat gaib itu.

 

Dari paham naturalisme ini juga muncul paham materialisme yang menganggap bahwa alam semesta dan manusia berasal dari materi. Salah satu yang menggap bahwa alam semesta dan manusia berasal dari materi. Salah satu pencetusnya ialah Democritus (460 – 370 SM).

 

Mengambil Metafisika

 

Jika, bisa kita buat perbandingan ( qiyas ) dimana masuk wilayahnya metafisika tentu juga perlu meninjau dengan nalar ontologis.

 

Alfred, J. Ayer menyatakan bahwa sebagian besar perbincangan yang dilakukan oleh para filosof sejak dahulu sesungguhnya tidak dapat dipertanggungjawabkan dan juga tidak ada gunanya, problem yang diajukan dalam bidang metafisika adalah problem semu, artinya permasalahan yang tidak memungkinkan untuk dijawab, berkaitan dengan pendapat Ayer tersebut.

 

Louise Katsoff,  menyatakan bahwa sepertinya Ayer berupaya untuk menunjukan bahwa naturalism, materialism, dan lainnya merupakan pandangan yang sesat. Adapun Penentang lain adalah Luwig Winttgenstien yang menyatakan bahwa metafisika bersifat the mystically, hal-hal yang tak dapat diungkapkan ke dalam bahasa yang bersifat logis. Wittgenstien menyatakan terdapat tiga persoalaan dalam metafisika, yaitu; 1). Subjek bukan merupakan dunia atau bagian dari dunia, melainkan lebih dapat dikatakan sebagai batas dari dunia. 2). Kematian, kematian bukanlah sebuah peristiwa dalam kehidupan, manusia tidak hidup untuk mengalami pengalaman kematian. 3). Tuhan, Ia tidak menampakkan diri-Nya di dunia.

 

Dengan demikian Wittgenstein menyimpulkan, bahwa sesuatu yang tidak dapat diungkapkan secara logis sebaiknya didiamkan saja. Namun pada kenyataanya banyak ilmuan besar, terutama Albert Einstein yang merasakan perlunya membuat formula konsepsi metafisika sebagai konsekuensi dari penemuan ilmiahnya.

 

Sementara Van Peursen mengatakan bahwa metafisika menuntut orisinalitas berfikir, karena setiap metafisikus menyodorkan cara berfikir yang cenderung subjektif dan menciptakan terminology filsafat yang khas. Situasi semacam ini diperlukan untuk pengembangan ilmu dalam rangka menerapkan heuristika.

 

Metafisika mengajarkan pada peminat filsafat untuk mencari prinsip pertama (First Principle) sebagai kebenaran yang paling akhir. Serta hal yang paling booming dalam dunia filsafat adalah bagaimana Descartes mengungkapkan bahwa Kepastian ilmiah dalam metode skepticnya hanya dapat diperoleh jika kita menggunakan metode deduksi yang bertitik tolak dari premis yang paling kuat (Cogito ergo sum) Skeptis-Metodis Rene Descartes.

 

Hamdan Suhaemi, Penulis adalah Wakil ketua PW GP Ansor, Ketua PW Rijalul Ansor Banten

 


Editor:

Opini Terbaru