• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Jumat, 17 Mei 2024

Opini

Menyegarkan Kembali Gagasan Islam Kosmopolitan: Sebuah Ikhtiar Menegaskan Universalisme Islam

Menyegarkan Kembali Gagasan Islam Kosmopolitan: Sebuah Ikhtiar Menegaskan Universalisme Islam
Penulis sedang mengutarakan pendapatnya dalam suatu diskusi
Penulis sedang mengutarakan pendapatnya dalam suatu diskusi

Oleh: Abd. Hakim Abidin

Apakah Islam itu ghoyah (vision) ataukah washilah (mission)? Pertanyaan sederhana yang sempat dilontarkan oleh Gus Mus dalam banyak forum, seakan menggelitik nalar mainstream umat Islam selama ini. Pertanyaan sederhana yang membutuhkan jawaban spekulatif. Bagi sebagian orang risih dengan pertanyaan itu. Kenapa harus mempertanyakan hal demikian. Tapi bagi yang lain justru menjadi shock therapy yang menggugah kesadaran. Secara tersirat mempersoalkan kembali hakikat keberislaman yang hakiki. Benarkah selama ini tidak salah dalam memahami Islam.

 

Diskursus tentang keislaman tidak akan pernah berhenti. Meski demikian, bukan berarti tidak ada titik terang. Justru keterkaitan Islam dalam setiap elemen kehidupan tidak bisa terpisahkan. Islam relevan di manapun (wherever) dan kapanpun (whenever) berada. Artinya dalam setiap perkembangan zaman yang tak terelakkan, Islam selalu hadir dan mampu menyesuaikan diri, adaptif serta adoptif tanpa kehilangan jati diri. Karenanya, muncullah adagium Ulama yang arif bijaksana dalam menjawab perkembangan zaman; “al-Muhafadhotu ala al-Qodim as-Sholih, wa al-Akhdu bi al-Jadid al-Ashlah”. Menjaga tradisi klasik yang baik dan tetap relevan serta membuka diri mengadopsi tradisi modern yang lebih baik dan relevan. 

 

Islam memang bukanlah tujuan. Islam adalah washilah menuju Tuhan. Konsep sederhana ini bisa jadi adalah ringkasan dari uraian panjang lebar gagasan dua tokoh populer yang menjadi sahabat Gus Mus itu. Adalah Nurcholis Madjid dan Abdur Rahman Wahid yang sangat aktif menyuarakan gagasan keislaman progressif. Kedua tokoh itu menuangkan gagasan-gagasan keislaman yang bisa menjawab perkembangan zaman. Islam menjadi tidak rigid. Mindset Islam terus berkembang menyesuaikan perkembangan zaman. Bahkan kemudian, bisa memunculkan suatu teori baru yang mencerahkan dalam konteks kekinian, yang belakangan populer disebut dengan Islam kosmopolitan. Kosmopolitan yang dimaksud tersebut terurai dari tambahan adagium di atas, yakni, wal ijadu bi al-jadid al-ashlah fa al-ashlah. Artinya, merekonstruksi keislaman yang stagnan menjadi dinamis dan kosmopolitan. Menebar nilai-nilai keislaman yang menginspirasi semua elemen kehidupan, tanpa menekankan adanya sebuah paksaan untuk diterima.

 

Dalam konteks keindonesiaan, Islam selama ini bisa melebur dan berbaur dengan keragaman yang ada. Perbedaan agama, tradisi, budaya, ras, ataupun etnis tak menjadi halangan untuk bersatu demi membangun negara Indonesia bersama-sama. Slogan “bhinneka tunggal eka”, justru menjadi inspirasi umat Islam untuk menanamkan benih nilai-nilai universal Islam. Universalisme Islam meliputi nilai-nilai sosial, seperti; persamaan hak dan kewajiban, keterbukaan, keadilan, kejujuran, toleransi, pluralisme, dan seterusnya, yang merupakan pilar-pilar kehidupan demokratis.  Karena sejak mula Islam mengajarkan hal-hal tersebut. Terciptanya masyarakat madani yang diprakarsai oleh Nabi Muhammad di Madinah adalah bukti konkret universalisme Islam.

 

Islam mampu bergaul dan berinteraksi dengan siapapun, di manapun dan kapanpun. Ditegaskan pula dengan adagium al-Islamu sholihun likulli zaman wa makan. Artinya, kapanpun dan dimanapun berada, Islam beradaptasi tanpa menghilangkan substansi ajarannya. Justru, memberikan inspirasi dalam menciptakan stabiltitas kehidupan. Adalah Maqoshid as-Shari’ah yang menjadi landasan prinsip Islam dan nilai-nilai keislaman. 
Pertama, Islam menjamin keselamatan jiwa setiap orang dari tindakan fisik di luar ketentuan hukum (hifdzu an-nafs). Sebab Islam tidak mengajarkan kekerasan dan hal-hal yang sifatnya anarkis. Selanjutnya, yang kedua; keselamatan dalam meneguhkan keyakinan agama (hifdzu ad-din). Ketiga, keselamatan keluarga dan keturunan (hifdzu an-nasl). Keempat, keselamatan harta benda dan milik pribadi dari gangguan atau perampasan di luar prosedur hukum (hifdzu al-mal). Terakhir, kelima, jaminan penghargaan pada akal atau kebebasan menuangkan ide dan gagasan (hifdzu al-aql). 
***

 

Para founding fathers negara Indonesia telah bersepakat membangun sebuah negara yang menerima dan menghormati semua yang ada di dalam Indonesia. Semangat nasionalisme tumbuh secara natural dalam diri setiap warga negara. Hal ini tidak bisa terlepas dari sejarah bangsa yang merebut kemerdekaannya dengan segenap tenaga, air mata, darah, dan bahkan nyawa sekalipun, semuanya dikorbankan demi eksistensi bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka.

 

Tidak berhenti hanya merdeka, selanjutnya cita-cita membangun bangsa yang mandiri, sejahtera, adil dan makmur diperjuangkan kemudian. Islam tentu selaras dan tidak keberatan sama sekali dalam mewujudkan cita-cita itu. Sehingga, motto “hubbul wathon minal iman”, menjadi titik utama untuk membangun tegaknya nasionalisme. Sebab perlu ditegaskan kembali bahwa nasionalisme tidaklah bertentangan dengan Islam. Justru, nilai-nilai universal Islam itu yang menjadi landasan nasionalisme. 

 

Dari sini, jelas sekali bahwa memahami secara utuh tentang keIslaman akan menemukan keharmonisan hidup. Islam menjadi the way of life yang menebarkan perdamaian. Perbedaan-perbedaan yang ada dalam setiap sisi kehidupan tidak lantas dipertentangkan. Perbedaan justru menjadi anugerah untuk saling melengkapi. Jika demikian, maka Islam secara hakiki adalah sesuatu yang kosmopolit itu sendiri, yang memosisikan manusia, dalam anggapan bahwa semua kelompok manusia dengan ragam etnik dan budaya merupakan satu komunitas yang didasarkan pada prinsip moralitas bersama. 

 

Dalam konteks inilah gagasan dua tokoh besar yang mengagumkan layak ditampilkan dan dilestarikan kembali. Jika Gus Dur  hadir dengan inspirasi keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan, Cak Nur setali tiga uang menawaran keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan. Keduanya tentu tidak bisa terlepas dari pergumulan intelektual panjang yang melibatkan sisi spiritual sekaligus. Yang kemudian melahirkan kecerdasan dan kepedulian sosial. Representasi santri pra excellence tampak dari keduanya, sebagai manusia yang sholeh ritual juga sholeh sosial. 

 

Menurut cak Nur, dalam membangun masa depan tidak bisa terlepas dari tekad bulat menarik pelajaran masa lalu dengan penuh ketulusan dan keikhlasan, mengatasi kepentingan golongan dan diri sendiri, memusatkan perhatian kepada usaha mencapai tujuan, mewujudkan kebaikan untuk semua, seluruh anggota masyarakat dan warga negara, memenangkan peperangan (winning the war) sekalipun mungkin harus kalah dalam pertempuran (losing the battle), dalam arti kesediaan menanggung kerugian kecil, jangka pendek dan bersifat sementara untuk diri sendiri, keluarga, kerabat dan golongan sendiri. Dengan demikian terciptalah ukhuwwah atau persaudaraan tanpa batas dalam arti pluralis. Semua manusia adalah saudara.   
Sementara itu, Gus Dur, menguraikan dengan sangat apik bahwa sejarah perkembangan Islam di manapun juga, senantiasa memperlihatkan jalinan antara dua hal, yaitu sistem individu (perorangan) dan sisi kemasyarakatan (sosial). Kedua hal itu harus dimengerti benar, kalau kita menginginkan pengetahuan mendalam akan agama tersebut. Kalau hal ini telah dilaksanakan, maka akan terlihat beberapa kemungkinan untuk pengembangan lebih jauh. Tentu saja ada yang menyanggah pendirian tersebut, dengan dalih Islam telah sempurna, dan tidak memerlukan pengembangan. Pendapat tersebut perlu diuji kebenarannya, agar kita memperoleh gambaran lengkap tentang apa yang seyogyanya dilakukan atau tidak dilakukan. Dengan kata lain, sebenarnya kita saat ini memerlukan skala prioritas yang lebih jelas, dalam menatap masa depan.   

 

Memang kitab suci al-Qurân tidak pernah secara jelas membagi kedua masalah itu (individu dan sosial) dalam kandungannya. Seluruhnya bersandar pada kemampuan kita memahami kitab suci tersebut, mana yang merupakan perintah (khittah) untuk perorangan, dan mana yang untuk masyarakat. Seluruhnya bergantung atas penafsiran kita. Umpamanya saja firman Allah Swt yang menyatakan: “Dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar saling mengenal (wa ja’alnâkum syu’ûban wa qabâila lita’ârafû)” (QS al-Hujurât [49]:13). Jelas di situ, yang dimaksudkan umat manusia secara keseluruhan, dan yang dikehendaki adalah kenyataan yang tidak tertulis: persaudaraan antara sesama manusia. 

 

Pada akhirnya Islam kosmopolitan akan menerima dan menghargai beragam pendapat untuk kemudian digunakan membangun cita-cita bersama mewujudkan kehidupan yang damai, adil dan sejahtera. Bahwa pluralisme adalah sebuah keniscayaan untuk menegaskan nilai-nilai universal Islam yang sangat menghargai kemanusiaan. 
Agama hadir untuk kemaslahatan manusia. Sebab manifestasi puncak dari tauhid atau keyakinan akan keesaan Tuhan, adalah kemanusiaan itu sendiri. 

 

Bukankah sangat istimewa dan membanggakan bahwa dalam pancasila, sila pertama dibuka dengan Tauhid, lalu dilanjutkan sila kedua sebagai manifestasi dari sila pertama, yakni; kemanusiaan yang adil dan beradab. Karena itu, bagaimana mungkin seorang yang mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa menodai kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dengan kata lain Islam kosmopolitan membingkai kehidupan bermasyarakat dan bernegara di masa depan yang lebih kondusif, ada jaminan hukum yang adil dan terciptanya harmonisasi yang maksimal di antara sesama umat manusia yang diilhami nilai-nilai universal Islam yang mengedepankan harmonisasi di antara sesama umat manusia, meski dengan latar belakang yang berbeda-beda.

 

Pustaka
Budi Munawar-Rachman, Ensiklopedi Nurcholish Madjid (edisi digital), Jakarta: Democracy Project, 2011, h. X. 
Abdurahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita (Agama Masyarakat Negara Demokrasi), Jakarta: The Wahid Istitute, 2006, h. 25. 

 

Penulis merupakan mahasiswa Pascasarjana UIN Jakarta yang sedang menyelesaikan tugas akhir.


Opini Terbaru