Opini

Wasyatiyah sebagai Bingkai Perdamaian

Rabu, 24 Februari 2021 | 12:15 WIB

Beberapa waktu lalu, masyarakat digegerkan oleh GAR ITB (Gerakan Anti Radikal) yang melaporkan Prof. Din Syamsuddin ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dengan tuduhan radikal. Namun belakangan, GAR ITB mengatakan bahwa pelaporan Din Syamsuddin bukan terkait Radikalisme, melainkan menlanggar kode etik sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). 

 

Berbagai elemen masyarakat meragukan statemen ini, karena Din Syamsuddin dianggap sebagai tokoh Muhammadiyyah yang notabene merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia yang  mengusung prinsip moderat. Namun faktanya, predikat Radikal yang ditujukan pada Din menjadi topik hangat yang memancing rasa penasaran untuk mengetahui kebenarannya.

 

Radikalisme belakangan ini semakin menguat seiring dengan munculnya berbagai tindak kekerasan dan lahirnya gerakan radikal, khususnya pasca tragedi 9 September 2001 di New York Amerika Serikat. Di timur tengah ada ISIS yang menjelma sebagai dedengkot Islam Radikal yang mengomandoi berbagai macam organisasi Islam Radikal lainnya di seluruh dunia termasuk di Indonesia. 

 

Maka tidak heran jika kelompok Islam Radikal yang ada di Indonesia berbaiat kepada ISIS, hal ini didasari oleh kesamaan visi dan misi mereka yang dianggap benar. Ideology yang diusung kelompok ini sangat bertolak belakang dengan Islam yang mengusung konsep rahmatan lil alamin. Dengan adanya kelompok radikal yang mengatasnamakan Islam dalam melegitimasi tindakannya, maka akan berimplikasi pada tercorengnya nama Islam itu sendiri.

 

Tidak hanya Islam yang akan tercoreng dengan adanya kelompok radikal ini, namun juga perdamaian umat manusia akan tercabik-cabik akibat klaim kebenaran sepihak oleh kelompok radikal, dan inilah masalah serius yang harus diselesaikan bersama.

 

Jurus Damai

 

Radikalisme merupakan sebuah penyakit yang harus diobati, penyakit ini tidak bisa dilawan dengan kekerasan atau cara yang sama seperti yang mereka lakukan, melainkan harus dilawan dengan cara yang berbeda yaitu dengan memberi pengetahuan dan pemahaman yang benar, karena disinyalir hal yang menyebabkan mereka menjadi radikal adalah kesalahpahaman terhadap tuntunan agama yang dipahami secara tekstual dan serampangan.

 

Menyikapi hal di atas, Islam telah mengajarkan kepada ummatnya untuk bersikap wasathiyyah atau moderat dalam beragama maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Al-Asfahaniy mendefenisikan “wasathan” dengan “sawa’un” yaitu tengah-tengah diantara dua batas, atau dengan keadilan, yang tengah-tengah atau yang standar atau yang biasa-biasa saja, wasathan juga bermakna menjaga dari bersikap ifrath dan tafrith. (Al-Asfahaniy, 2009 : 869)
Mengingat pentinganya sikap wasatiyyah/moderat untuk menciptakan perdamaian maka perlu adanya

 

kesamaan persepsi, untuk itu Konferensi trilateral para ulama dari Indonesia, Afghanistan, dan Pakistan yang berlangsung di Istana Kepresidengan Bogor, pada Jumat, 11 Mei 2018, menghasilkan "Bogor Ulema Declaration of Peace", menghasilkan beberapa butir kesepakatan yang diantaranya adalah bersikap wasatiyah/moderat.

 

Namun, untuk menumbuhkan sikap wasyatiyyah bukanlah perkara mudah, ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan dan diambil demi tegaknya wasathiyyah tersebut. Diantaranya adalah:

 

Pertama, kerjasama antara pemerintah, masayarakat, dan organisasi keislaman lainnya mutlak diperlukan, karena melenyapkan radikal dan menyemai benih wasyatiyyah adalah dua perkara yang berkesinambungan, tidak mungkin diatasi oleh satu elemen saja. Dalam hal ini, NU (Nahdlatul Ulama) yang notabene sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia mempunyai andil besar dalam upaya penegakan wasyatiyyah tersebut, hal ini sesuai dengan slogan “Islam Nusantara” yang digaungkan oleh NU dalam menerapkan konsep moderasi dalam beragama.

 

Kedua, memberikan pemahaman yang benar terhadap teks-teks Al-Qur’an dan Hadits yang selama ini sering disalahpahami oleh kelompok radikal dalam menjustifikasi tindakannya. Ketiga, mengedepankan pendekatan secara persuasive dan santun agar mudah diterima dan dipahami. Keempat, mengkampanyekan baik di media sosial mapun lainnya tentang pentingnya wasyatiyyah dan bahayanya Radikalisme.

Dengan memperhatikan hal-hal di atas, diharapkan benih radikal akan lenyap dan benih wasyatiyyah akan bertebaran, sehingga perdamaian akan terbingkai dengan indah. Semoga!!!

 

Abdul Aziz, M. Pd, Alumni Pesantren Nurul Qur’an (Pamulang, Tangerang Selatan), Penulis Buku “ Menggapai Cahaya Al-Qur’an”