• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Kamis, 25 April 2024

Ubudiyyah

Analogi Fardhu dan Sunnah dalam Kitab Bidayatul Hidayah

Analogi Fardhu dan Sunnah dalam Kitab Bidayatul Hidayah
dalam kitab Bidayatul Hidayah, Imam Al-Ghazali menghadirkan alternatif meraup keuntungan di dunia dengan banyak hal. (Ilustrasi : NU Online)
dalam kitab Bidayatul Hidayah, Imam Al-Ghazali menghadirkan alternatif meraup keuntungan di dunia dengan banyak hal. (Ilustrasi : NU Online)

Dalam berniaga, orang akan disibukkan untuk memperhitungkan untung dan rugi. Ia dituntut memperhatikan berapa modal yang harus dikeluarkan dan berapa harga jual suatu barang. Yang pasti, ketika sedang melakukan usaha, kiranya mayoritas orang ingin mendapatkan untung bukan rugi atau paling tidak balik modal.

 

Misalnya, seorang pebisnis muda menghabiskan total satu juta untuk membeli bahan baku kayu yang dipersiapkan untuk membuat kursi. Kursi yang sudah jadi siap dijual dengan dibandrol harga sebesar dua juta. Kemudian pada suatu hari datang tiga orang pembeli. Pembeli A menyanggupi untuk membayar dengan harga yang ditawarkan, yaitu dua juta. Kemudian datang pembeli B menawar harga sebesar satu juta. Sedangkan pembeli C menawar sengit sampai 800 ribu. 

 

Pembeli mana yang akan dipilih si penjual? Tentu jika memperhitungkan matematika berbisnis, ia akan memilih pembeli A. Dengan begitu, ia akan mendapatkan kembali modal sekaligus laba sebesar satu juta. Jika memilih pembeli B maka ia tidak akan mendapatkan untung, hanya balik modal. Apalagi jika memilih pembeli C, bukan untung yang didapat melainkan buntung alias rugi.

 

Konsep untung-rugi seperti ini juga erat kaitannya dengan ibadah seorang muslim yang dijelaskan dalam kitab Bidayatul Hidayah karangan Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali. Perintah Allah swt berupa kefardhuan dianalogikan sebagai  modal usaha. Sedangkan kesunahan dianalogikan sebagai keuntungan. Artinya, ketika seseorang ingin membangun pondasi pahala sebagai bekal di akhirat maka ibadah wajib menjadi kunci utama. Namun, ketika seorang muslim ingin mendapatkan keuntungan dengan mendapatkan porsi pahala lebih, ia tak hanya mengerjakan yang fardhu saja melainkan ditambah dengan mengerjakan ibadah-ibadah sunah.

 

إِعْلَمْ أَنَ أَوَامِرَ اللّهِ تَعَالَى فَرَائِضُ وَنَوَافِلُ فَالْفَرْضُ رَأْسُ الْمَالِ وَهُوَ أَصْلُ التِّجَارَةِ وَبِهِ تُحْصَلُ النَّجَاةُ، وَالنَّفْلُ هُوَ الرِّبْحُ وَبِهِ الفَوْزُ بِالدَّرَجَاتِ .

 


Artinya: “Ketahuilah bahwa perintah Allah swt ada yang wajib dan ada yang sunah. Yang wajib merupakan harta pokok. Dia adalah modal perdagangan yang dengannya kita bisa selamat. Sementara yang sunah merupakan laba/untung yang dengannya kita bisa meraih kemenangan dan derajat mulia.  (Imam Ghozali, Bidayatul Hidayah, [Semarang, Al-Barokah], halaman 9).

 

Tak berhenti di sini, demi mewujudkan laba yang dihasilkan, Islam sudah memberikan lahan untuk mendapatkan kemenangan dan derajat mulia. Tak terbatas di waktu tertentu, melainkan dapat dilakukan dalam berbagai kegiatan dari pagi, siang, sore, dan malam hari.

 

Masih dalam kitab Bidayatul Hidayah, Imam Al-Ghazali menghadirkan alternatif meraup keuntungan di dunia dengan banyak hal. Apa saja panduan yang bisa dilakukan ketika bangun tidur, adab ketika memasuki masjid, adab berpuasa, dan lainnya. Semua pembahasan ini merupakan representasi dari ketakwaan kepada Allah swt, yaitu dengan menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

 

Contohnya adalah adab ketika bangun tidur. Seorang muslim dianjurkan untuk bangun sebelum keluarnya fajar dan membaca dzikir kepada Allah swt. Dengan begini ia akan mendapat pahala sunah. Begitupun ketika ingin memakai baju. Agar bernilai ibadah, ia niatkan untuk mengikuti perintah Allah swt, yaitu menutupi aurat dan menghindarkan diri dengan mempunyai niat memakai baju untuk pamer.

 

Fungsi niat sendiri adalah membedakan pekerjaan agar bernilai ibadah atau tidak. Jika seseorang memakai baju tanpa diniatkan apapun maka hal tersebut tidak bernilai ibadah. Lain halnya ketika ia niatkan untuk ibadah maka hal itu akan berpahala juga. Oleh karena itu, ketika memakai baju diniatkan untuk pamer maka ia dikategorikan sebagai orang yang rugi. 

 

Menurut pemaparan di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa ibadah sunah ketika mengiringi yang wajib akan memberikan dampak besar. Ibadah sunnah ini akan sebagai wasilah seorang muslim untuk mendapatkan keuntungan berupa pahala, kemenangan, dan derajat mulia.
Wallahu a’lam bish-shawab

 

 

Penulis : Suci Amalia
Editor : Ari Hardi


Editor:

Ubudiyyah Terbaru