• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Jumat, 26 April 2024

Ubudiyyah

Perjumpaan antara Yakin, Tawakal dan Ikhtiar (1)

Perjumpaan antara Yakin, Tawakal dan Ikhtiar (1)
Ilustrasi berdoa (NU Online)
Ilustrasi berdoa (NU Online)

Suatu kisah, Syaqiq al Balkhi meminta izin kepada guru sufi besar bernama Ibrahim bin Adam untuk bekerja dan berdagang selama beberapa minggu. Baru tiga hari berlalu, Ibrahim bin Adam dikejutkan dengan kedatangan Syaqiq al Balkhi. Keheranan mendekap hati Ibrahim bin Adam. Ada apa gerangan? sang murid kembali lagi kepadanya bukankah ia memberikan izin kepadanya untuk bekerja beberapa minggu ke depan. Ibrahim bin Adam pun bertanya, “Ada apa gerangan engkau datang ke sini?”


“Wahai guruku, di tengah perjalanan dagangku ketika aku menyusuri sebuah oase di tengah gurun pasir aku melihat seekor burung kecil yang patah sayapnya. Burung kecil ini tak dapat lagi terbang dan mencari makan. Akan tetapi, tiba-tiba dari arah langit datanglah seekor burung besar yang membawa makanan di paruhnya. Burung besar tersebut datang untuk menyuapi burung kecil yang patah sayapnya.” 


Ibrahim bin Adam pun memberikan petuah kepada Syaqiq al Balkhi, “Seperti itulah seharusnya manusia berbuat saling menyayangi di antara mereka seperti halnya burung besar yang engkau lihat dalam perjalanan dagangmu, tetapi mengapa engkau kembali ke sini dan meninggalkan perdaganganmu?”


“Guruku, aku datang ke sini karena aku berpikir bukankah Allah yang memerintahkan burung besar untuk menyuapi burung kecil yang patah sayapnya juga mampu memberikanku rezeki di mana pun dan kapan pun aku berada. Aku akan meninggalkan seluruh usaha perdaganganku dan berdiam diri di masjid untuk beribadah kepada Allah pasti Allah memberikan rezeki kepada seluruh hamba-Nya,” jawab Syaqiq al Balkhi. 


Ibrahim bin Adam pun memberikan nasihat yang sangat bijaksana, “Apakah engkau mengira dengan engkau beribadah dan meninggalkan usaha perdaganganmu niscaya engkau meraih rida Allah? Mengapa engkau tidak meniru burung besar yang memberikan makan kepada burung kecil yang patah sayapnya? Burung besar itu berusaha mencari makan dan memberikan kepada burung kecil yang kesusahan. Apakah engkau belum mendengar sabda Rasulullah SAW, ’’Tangan di atas (orang yang memberi) lebih baik dari tangan di bawah (orang yang meminta)’?” 


Definisi Tawakal 
Salah satu konsep atau istilah dalam disiplin ilmu tasawuf yang banyak digunakan oleh manusia secara umum adalah tawakal. Meski demikian, konsep ini kerap kali disalahpahami oleh sebagian orang di mana tawakal dimaknai sebagai bentuk kepasrahan secara general. Padahal, bila merujuk karya-karya tasawuf yang mengulas definisi tawakal, tidak sesederhana itu. Oleh karenanya tulisan ini mencoba menyuguhkan ragam definisi tawakal dalam kitab-kitab tasawuf. 


Dari segi bahasa, tawakal berasal dari kata ‘tawakala’ yang memiliki arti; menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan. (Munawir, 1984: 1687). Seseorang yang bertawakal adalah seseorang yang menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan segala urusannya hanya kepada Allah SWT. 


Para ulama banyak menjelaskan arti tawakkal dengan istilah yang berbeda-beda, intinya tawakal adalah aktivitas hati. Hati yang sepenuhnya bersandar dan bergantung kepada Allâh Azza wa Jalla. Dan tawakal ini tidaklah berarti menghilangkan usaha. Bahkan usaha merupakan bagian tak terpisahkan dari tawakal. 


Tawakal adalah kesungguhan hati untuk berpegang teguh kepada Allah dalam menggapai kemaslahatan, menghindari kemudaratan, memasrahkan segala urusan terhadap-Nya dan meyakini bahwa tiada yang dapat memberi manfaat serta menolak bahaya selain-Nya. 


Al Jurjani, seorang pakar bahasa Arab, mendefinisikan tawakal dengan ta’rif (pengertian) yang lebih ringkas. Menurutnya, tawakal adalah percaya sepenuhnya terhadap apa yang ada di sisi Allah dan memutus ketergantungan kepada apa yang ada di sisi manusia. (Shaleh bin Abdullah bin Humaid, Nadlratu al-na’ím fí makárimi akhláqi al-rasúli al-karím (Maktabah al-Syamilah), IV: 1378.) 


Imam Ahmad bin Hambal mengatakan, tawakal merupakan aktivitas hati, artinya tawakal itu merupakan perbuatan yang dilakukan oleh hati, bukan sesuatu yang diucapkan oleh lisan, bukan pula sesuatu yang dilakukan oleh anggota tubuh. Dan tawakal juga bukan merupakan sebuah keilmuan dan pengetahuan. (Al-Jauzi/ Tahdzib Madarijis Salikin, tt: 337)

Ibnu Qoyim al Jauzi mendefinisikan, “Tawakal merupakan amalan dan ubudiyah (baca; penghambaan) hati dengan menyandarkan segala sesuatu hanya kepada Allah, tsiqah terhadap-Nya, berlindung hanya kepada-Nya dan ridha atas sesuatu yang menimpa dirinya, berdasarkan keyakinan bahwa Allah akan memberikannya segala ‘kecukupan’ bagi dirinya…, dengan tetap melaksanakan ‘sebab-sebab’ (baca; faktor-faktor yang mengarahkannya pada sesuatu yang dicarinya) serta usaha keras untuk dapat memperolehnya.” (Al-Jauzi/ Arruh fi Kalam ala Arwahil Amwat wal Ahya’ bidalail minal Kitab was Sunnah, 1975: 254) 


Menurut Imam Abu Qasim al-Qusyairi, tawakal adalah memasrahkan setiap perkara kepada Allah. Beliau berpendapat bahwa pasrah kepada Allah bermakna memilih menjadikan Allah sebagai Dzat yang memutuskan hasil dari setiap perkara yang dihadapi seorang hamba. Syekh Abu Qasim al-Qusyairi juga menukil pendapat Sahal bin Abdullah. 

“Awal dari derajat tawakal adalah ketika seorang hamba merasakan kepasrahan kepada Allah bagaikan seonggok jenazah di depan orang yang memandikannya yang dapat dibolak-balik dengan mudah sesuai keinginan orang yang memandikannya”.



Penulis: Singgih Aji Purnomo


Ubudiyyah Terbaru