• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Kamis, 25 April 2024

Ubudiyyah

Perjumpaan antara Yakin, Tawakal, dan Ikhtiar (4)

Perjumpaan antara Yakin, Tawakal, dan Ikhtiar (4)
Ilustrasi berdoa. (NU Online)
Ilustrasi berdoa. (NU Online)

Antara At Tajrid dan Al Iktisab 
Ada dua teori tawakal yang dikenal dalam kacamata tasawuf; Pertama, teori at-tajrîd (memutus usaha mengais rezeki). Maksudnya, pemasrahan hati secara totalitas atas kepastian Allah tanpa mengusahakan rezeki. Urusan yang bersifat kehidupan duniawi dipasrahkan sepenuhnya kepada Allah. Seseorang hanya fokus mencari kepentingan akhiratnya dan berpaling dari segala kepentingan yang bernuansa duniawi. Dia sangat yakin bahwa rezeki orang-orang yang bertakwa akan dijamin oleh Allah. 


Dalam mengomentari firman Allah “Dan jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. al-Furqân: 74), as-Sari al-Saqathi -salah seorang sufi besar- mengatakan: “Sesungguhnya orang bertakwa rezekinya tidak berasal dari usahanya, karena Allah berfirman; “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangkakannya. dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (Q.S. alThalâq: 2-3). 


Sebagian ahli sufi mengatakan: “Mengandalkan urusan rezeki terhadap makhluk merupakan sebuah kehinaan. Barang siapa bertawakal terhadap selain Tuhannya maka akan merugi.” Pada umumnya yang menempuh teori ini adalah para ulama sufi yang sudah mencapai tingkat kebeningan hati yang luar biasa. 


Kedua; al-iktisâb (berusaha mencari rezeki). Maksudnya memasrahkan segala urusan duniawi kepada sang Maha Kuasa dalam hatinya. Namun disertai dengan ikhtiyar (usaha) lahiriyyah. Teori ini sedikitpun tidak membuat seorang hamba terlempar dari derajat tawakal. Karena tawakal tempatnya di hati, sedangkan kasb (usaha) merupakan urusan lahir. Kasb (usaha lahir) tergolong ibadah selama memenuhi dua syarat; Pertama, usaha yang dilakukan semata-mata diniati karena Allah dan menjalankan perintah-Nya; Kedua, menerima apapun hasil usaha yang dilakukan. (Ihsan bin Dakhlan al-Jampesi, Siraj al-Thálibín). 


Teori al-iktisâb ini didukung beberapa dalil yang bersifat empiris. Di antaranya, ada dua bersaudara, salah satunya seorang pekerja keras, sementara yang lainnya menganggur. Suatu ketika saudara yang rajin bekerja mengadu kepada Rasulullah akan kemalasan saudaranya yang menganggur. Lalu Rasulullah menegur saudara yang malas menjadi pengangguran tersebut, ”Hendaknya kamu bekerja, barangkali kamu akan mendapatkan rezeki.” (Abd al-Rauf al-Manawi, Faidl alQadîr`Ala SayrhJami` al-Shaghir, 2006: 115). 


Al-Hakim dan at Tirmidzi meriwayatkan dari Mu’awiyah bin Qurrah bahwa suatu ketika Umar bin Khatab melewati sekelompok pengangguran. Lalu Umar bertanya, “Siapakah kalian?” Mereka menjawab, “Kami orang-orang yang bertawakal”. Umar menjawab: “Tidak. Orang tawakal adalah mereka yang menyebar benih di ladang dan berpasrah kepada Allah atas hasilnya”. (Mushtafa Al-Maraghi, Tafsir al-Marâghî, 2006: 117) 


Dengan ikhtiar yang dilakukan, manusia harus meyakini bahwa seluruh apa yang diupayakan membutuhkan campur tangan kuasa-Nya. Merupakan sebuah kesalahan bila manusia meyakini keberhasilan yang diperoleh adalah karena murni usahanya pribadi, tanpa campur tangan Tuhan. Tugas manusia hanyalah berusaha. Adapun hasilnya adalah urusan Sang Maha Kuasa. Bila kesadaran demikian dapat terpupuk dengan baik, saat mengalami kegagalan, seorang hamba tidak akan menyesal dan frustasi, ia akan tetap sabar dan segera bangkit dari keterpurukan. (Muhammad Abu Zahrah, Zahrah al-Tafâsîr I: 3666) 


Syekh Abu Qasim al-Qusyairi memberikan penjelasan yang mencerahkan dalam kitab Risalah al-Qusyairiyah,
“Ketahuilah bahwa tawakal bertempat di dalam hati, dan usaha lahiriah tidaklah merusak sifat tawakal dalam hati selama sang hamba meyakini bahwa takdir datang dari sisi Allah. Apabila suatu perkara terasa sulit, maka hal tersebut datang dari takdir Allah. Dan apabila suatu perkara selaras dengan keinginannya, maka hal tersebut datang dari pertolongan Allah.”


Pada dasarnya ajaran tasawuf tidak pernah mengajarkan untuk bermalas-malasan dalam bekerja. Abu Qasim al-Qusyairi juga menukil pendapat Sahal bin Abdullah, 
“Sifat tawakal adalah keadaan Nabi Muhammad dan bekerja adalah jalan yang ditempuh Nabi Muhammad. Barang siapa yang meneladani keadaan Nabi (dengan menetapi sifat tawakal) maka jangan sampai ia meninggalkan sunah Nabi (dengan tetap bekerja).”


Justru para ulama tasawuf mengajarkan para pengikutnya untuk giat bekerja dan beribadah. Karena pada dasarnya seorang yang meninggalkan kewajiban bekerja maka ia telah menganiaya dirinya sendiri serta orang-orang yang ditanggungnya. Sebagaimana Abu Ali Ar-Ruzbari mengatakan: 
“Ketika seorang fakir miskin mengatakan 'Aku lapar' setelah lima hari maka tetapkanlah ia di pasar dan perintahkan ia untuk berusaha dan bekerja.”


Doa agar bisa tawakal dengan benar 


اللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ وَبِكَ خَاصَمْتُ، اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِعِزَّتِكَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَنْ تُضِلَّنِى، أَنْتَ الْحَىُّ الَّذِى لاَ يَمُوتُ وَالْجِنُّ وَالإِنْسُ يَمُوتُونَ


"Allohumma laka aslamtu wa bika amantu wa ‘alaika tawakkaltu, wa ilaika anabtu, wa bika khoshomtu. Allohumma inni a’udzu bi ‘izzatika laa ilaha illa anta an tudhillani. Antal hayyu alladzi laa yamuut wal jinnu wal insu yamuutun.” 


Artinya: Ya Allah, aku berserah diri kepada-Mu, aku beriman kepada-Mu, aku bertawakal kepada-Mu, aku bertaubat kepadaMu, dan aku mengadukan urusanku kepada-Mu. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan kemuliaan-Mu – tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Engkau – dari segala hal yang bisa menyesatkanku. Engkau Maha hidup dan tidak mati, sedangkan jin dan manusia pasti mati. (HR. Muslim, no. 2717)


Penulis: Singgih Aji Purnomo


Ubudiyyah Terbaru