• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Jumat, 29 Maret 2024

Ubudiyyah

Esensi Bulan Rajab (2)

Esensi Bulan Rajab (2)
Ilustrasi Bulan Rajab. (Foto: Freepik.com)
Ilustrasi Bulan Rajab. (Foto: Freepik.com)

Menurut sejarah, Ibrahim an-Nakha'i mengisahkan, Rajab merupakan bulan saat Nabi Nuh berlayar bersama kaumnya yang taat. Ia berpuasa secara pribadi serta menyuruh orang yang bersamanya untuk berpuasa juga, kemudian Allah menyelamatkan mereka dari banjir bandang dan Allah melenyapkan kemusyrikan secara total dari muka bumi.


Berkenaan makna Rajab secara harfiah, ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan, Rajab dari kata tarjîb maknanya mengagungkan. Pendapat ini juga disampaikan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya dan Syekh Abdul Qadir al-Jilani dalam kitabnya Al-Ghun-yah. 


Terdapat makna lain yang cukup banyak pada kata Rajab. Dalam hadits Baginda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam diriwayatkan dari Abi Bakrah, Rajab itu Mudlar: 


Artinya: Sesungguhnya waktu itu berputar sebagaimana saat Allah menciptakan langit-langit dan bumi. Setahun terdapat 12 bulan. Di antaranya ada empat yang mulia. Tiga bulan berturut-turut yaitu Dzulqa'dah, Dzulhijjah, dan Muharram. Dan Rajab Mudlar yang jatuh antara Jumadal Ula-Jumadal Akhirah dan Sya'ban. (Sahih Bukhari: 4294)  


Mudlar merupakan satu klan di Arab yang sangat mengagungkan Rajab. Karena perilaku mereka ini, Rasulullah mengistilahkan keagungan Rajab dengan mengacu sebagaimana keagungan yang dilakukan oleh klan Mudlar. Lalu mengapa ada perbedaan tingkat kemuliaan di antara bulan-bulan itu? Bukankah masing-masing dari Allah subhanahu wa taala?  


Tentu, semua bulan mulia. Namun 4 bulan tersebut kemuliannya lebih kuat dibandingkan bulan lainnya. Pada bulan ini seperti kemuliaan Ka'bah dibandingkan dengan lokasi lain. Logikanya seperti Jumat lebih mulia dibanding 6 hari lain. Hari Arafah lebih mulia daripada hari-hari lain dalam setahun, Nabi Muhammad lebih mulia daripada nabi-nabi yang lain. Apakah Nabi Muhammad yang paling mulia di antara para nabi itu menjadikan nabi-nabi lain tidak mulia? Tidak. Nabi-nabi lain mulia, sedangkan Rasulullah Muhammad lebih mulia. Demikian pula bulan-bulan mulia dibanding bulan yang lain.


Keutamaan Rajab
Keutamaan Rajab ini disebutkan dalam Al-Qur’an, Surat At Taubah ayat 36. Allah SWT berfirman:


 
اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ مِنْهَآ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ەۙ فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ اَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِيْنَ كَاۤفَّةً كَمَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ كَاۤفَّةً ۗوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ ٣٦


“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. (QS. At-Taubah:36).


Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, yang dimaksud empat bulan haram adalah Dzul Qa’dah, Dzulhijjah, Muharram (tiga bulan ini berurutan), dan Rajab. Di dalam empat bulan itu, Allah menciptakan langit dan bumi dan melarang manusia untuk menganiaya diri sendiri maupun orang lain. 


Ibnu Rajab mengatakan, ”Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. 


Dari situ muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal. Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perpuataran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.” (Lathoif Al Ma’arif, 202) 


Mengenai empat bulan yang dimaksud disebutkan dalam hadits dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadal (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679). Jadi, empat bulan suci tersebut adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab.


Surat At Taubah ayat 36 di atas diturunkan sebelum fathu Makkah (pembebasan Kota Makkah), saat orang-orang dari Madinah takut berkunjung ke Makkah. Kemudian turunlah ayat di atas yang menjelaskan bahwa jumlah bulan dalam setahun ada 12 bulan. Empat di antaranya adalah haram (mulia). Sesuai konsensus ulama, 3 dari bulan tersebut berdampingan yakni Dzulqa'dah, Dzulhijjah, dan Muharram. Sedangkan yang satu lagi berpisah sendiri, bulan Rajab.


Apa Maksud Bulan Haram? 
Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah berkata, ”Dinamakan bulan haram karena dua makna: Pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian. Pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan itu. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.” (Lihat Zaadul Masiir, tafsir surat At Taubah ayat 36) 


Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, ”Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.” Bahkan Ibnu ’Umar, Al Hasan Al Bashri dan Abu Ishaq As Sa’ibi melakukan puasa pada seluruh bulan haram, bukan hanya Rajab atau salah satu dari bulan haram lainnya. Lihat Latho-if Al Ma’arif, 214. Ulama Hambali memakruhkan berpuasa pada bulan Rajab saja, tidak pada bulan haram lainya. Lihat Latho-if Al Ma’arif, 215. 


Menurut Fakhruddin ar-Razi, maksud sebagai bulan haram atau mulia di sini adalah dalam bulan tersebut, setiap perbuatan maksiat akan mendapat siksa lebih dahsyat, dan begitu pula sebaliknya, perilaku taat kepada Allah dilipatgandakan pahalanya.


Maksud dari haram adalah sesungguhnya kemaksiatan di bulan-bulan itu memperoleh siksa yang lebih berat dan ketaatan di bulan-bulan tersebut akan mendapat pahala yang lebih banyak. (Fakhruddin ar-Razi, Tafsir al-Fakhrir Razi, Dārul Fikr, Beirut, cet 1, 1981, juz 16, halaman: 53)


Imam Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi (wafat 516 H), yang memiliki gelar muhyis sunah (penghidup sunah), dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan larangan Allah kepada manusia untuk tidak menzalimi diri sendiri pada ayat di atas, adalah dengan tidak merusak kemuliaan bulan haram dengan melakukan maksiat, dan meninggalkan taat. Hal ini tidak lain karena semua nilai pekerjaan pada bulan ini dilipatgandakan oleh Allah SWT:


Amal salih lebih agung (besar) pahalanya di dalam bulan-bulan haram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab). Sedangkan dzalim pada bulan tersebut (juga) lebih besar dari zalim di dalam bulan-bulan selainnya. (Imam al Baghawi, Ma’alimut Tanzil fi Tafsiril Qur’an, [Beirut, Darul Ihya’ at-Turats, cetakan keempat: 1417 H/1997 M], juz IV, halaman: 44). 


Selain penafsiran di atas, Imam al-Baghawi juga mengutip beberapa penafsiran ulama lain, seperti Imam Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan menzalimi diri sendiri, adalah dengan menghalalkan setiap sesuatu yang telah dinyatakan haram dalam Islam, dan mengharamkan setiap yang halal, seperti merampok pada bulan tersebut. (Al-Baghawi, Ma’alimut Tanzil: IV, halaman: 45). 


Dari penjelasan Al-Baghawi di atas, dapat kita pahami akan kesakralan bulan haram, termasuk Rajab adalah dengan memperbanyak melakukan kebaikan dan ketaatan. Sedangkan tindakan yang merusak nilai-nilai sakral tersebut adalah melakukan kemaksiatan dengan berbagai macam bentuknya. Oleh karena itu, pada bulan ini sudah selayaknya mengistirahatkan diri untuk tidak melakukan kemaksiatan kepada Allah SWT dan fokus beribadah kepada-Nya.


Alasan Larangan Mendzalimi Diri Sendiri 
Syekh Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili dalam kitab tafsirnya memberikan alasan di balik larangan Allah untuk melakukan pekerjaan dzalim pada bulan tersebut. Menurutnya, bulan haram memiliki nilai-nilai sakralitas dan identik dengan kemuliaan yang tidak bisa ditemukan pada bulan-bulan lainnya. Maka, semua balasan dari amal kebaikan dan kejelekan dilipatgandakan oleh Allah pada bulan-bulan tersebut:  


Yang dimaksud (dari ayat larangan menzalimi diri sendiri) adalah larangan dari semua bentuk maksiat dengan sebab apa pun pada bulan-bulan haram ini, (hal itu) disebabkan besarnya pahala dan siksaan di dalamnya. (Syekh Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir fil Aqidati was Syari’ati wal Manhaji, [Damaskus, Beirut, Darul Fikr], juz X, halaman: 202). 


Syekh Wahbah Zuhaili memposisikan larangan mendzalimi diri sendiri pada bulan haram di atas sebagai bentuk “kasih sayang” agar umat Islam tidak disiksa dengan siksaan yang berlipat ganda oleh Allah kelak di hari kiamat. Oleh karenanya, bulan ini menjadi bulan ketaatan dan kebaikan, yang semua pahala yang didapatkan darinya melebihi nilai pahala dari bulan yang lain. Jika ditanya, “Kenapa Allah hanya melipatgandakan pahala kebaikan dan siksa dari kemaksiatan hanya pada bulan tersebut?” Maka jawabannya, sebenarnya Allah juga memberikan pahala atas kebaikan dan ketaatan yang dilakukan di selain bulan haram, juga memberikan siksa kepada orang yang melakukan kejelekan dan maksiat di selain bulan haram. 


Akan tetapi, Allah memilih dan menghendaki beberapa bulan untuk melipatgandakan semua amal kebaikan dan kejelekan di dalamnya, hal ini boleh-boleh saja bagi Allah, dan merupakan sesuai yang jaiz (boleh-boleh) saja bagi-Nya. Hal ini sebagaimana penjelasan Imam Ibnu Katsir ad-Dimisyqi, dalam kitab tafsirnya:


Artinya: Allah memilih beberapa pilihan dari makhluk-Nya. Allah memilih utusan dari malaikat sebagai rasul, dari manusia sebagai rasul, dan (juga) memilih dari beberapa bulan, pada bulan Ramadhan dan bulan-bulan haram.


Maka muliakanlah sesuatu yang dimuliakan oleh Allah. Maka sungguh keagungan sesuatu bila diagungkan oleh Allah kepadanya. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anil Azhim, [Dar Tahyyibah, cetakan kedua: 1999 M], juz IV, halaman: 149). 


Alhasil, Rajab sebagai salah satu balan haram yang sangat dimuliakan oleh Allah SWT sebagaimana penjelasan di atas, maka sudah saatnya untuk menjalani bulan ini dengan semangat untuk meningkatkan spiritualitas ibadah kepada Allah, sebagai representasi memuliakan apa yang dimuliakan olehNya. Tidak sebatas itu, pada bulan ini juga seharusnya mengurangi dan bahkan meninggalkan maksiat dengan segala macamnya. Sebab, maksiat merupakan salah satu pekerjaan yang bisa merusak kemuliaan Rajab.


Larangan Berperang pada Rajab 
Keutamaan Rajab selanjutnya yakni bulan dilarang untuk berperang. Aturan larangan berperang ini sebelumnya sudah dimaklumatkan bangsa Arab sebelum kedatangan Islam. Hal itu kemudian dikuatkan setelah Islam datang dengan turunnya larangan berperang di bulan-bulan haram termasuk Rajab.  Dalam Al Quran, Surat Al Baqarah ayat 217 Allah berfirman:


 
يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيْهِۗ قُلْ قِتَالٌ فِيْهِ كَبِيْرٌ ۗ وَصَدٌّ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَكُفْرٌۢ بِهٖ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاِخْرَاجُ اَهْلِهٖ مِنْهُ اَكْبَرُ عِنْدَ اللّٰهِ ۚ وَالْفِتْنَةُ اَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ ۗ وَلَا يَزَالُوْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ حَتّٰى يَرُدُّوْكُمْ عَنْ دِيْنِكُمْ اِنِ اسْتَطَاعُوْا ۗ وَمَنْ يَّرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهٖ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَاُولٰۤىِٕكَ حَبِطَتْ اَعْمَالُهُمْ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ ۚ وَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ ٢١٧


Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram, dan mengusir penduduknya dari sekitarnya lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh." Mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka (dapat) mengembalikan kalian dari agama kalian (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barang siapa yang murtad di antara kalian dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS. Al Baqarah: 217) 


Doa Memasuki Bulan Rajab 
Sebagai bulan mulia, Rasulullah SAW telah memberi contoh untuk banyak-banyak membaca doa. Muhyiddin Abi Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi dalam kitab AlAdzkâr yang diterbitkan Darul Hadits, Kairo, Mesir menyebutkan bahwa doa yang dibaca Rasulullah saat memasuki bulan Rajab adalah Duhai Allah, berkahilah kami pada Rajab dan Sya’ban dan pertemukanlah kami dengan bulan Ramadlan.


Syekh Ibnu Rajab menyimpulkan bahwa riwayat ini menganjurkan umat Islam untuk memohon panjang umur dengan niat untuk menambah kebaikan dan beramal saleh di masa mendatang. Pandangan Ibnu Rajab ini dikutip oleh Syekh Abdur Rauf Al-Munawi ketika mensyarahkan kumpulan hadits Jami‘us Shaghir berikut ini: 


“Syekh Ibnu Rajab mengatakan, pada hadits ini terdapat dalil anjuran doa panjang umur hingga waktu-waktu utama (Ramadhan) agar dapat melakukan amal saleh di waktuwaktu tersebut. Pasalnya, tidak bertambah usia orang beriman melainkan bertambah kebaikannya.” (Lihat Abdur Rauf AlMunawi, Faidhul Qadir bi Syarhi Jami‘is Shaghir, [Beirut, Darul Makrifah, 1972 M/1391 H], cetakan kedua, juz V, halaman 131). 


Dari keterangan ini kita dapat menyimpulkan bahwa niat dan itikad baik patut menjadi perhatian bagi kita dalam memohon panjang umur, yaitu niat beramal saleh dan memperbaiki diri untuk mengisi umur yang tersisa. 


Ketika masuk Rajab, Syekh Abdul Qadir al-Jilani (w: 561) menuliskan doa ma'tsurat yang digoreskan dalam karyanya Al-Ghun-yah. Doa ini juga dikutip ulang oleh Habib Muhammad Amin bin Abu Bakar bin Salim dalam kitab Mâ Yuthlab fî Rajab, serta Syekh Muhammad bin Abdullah bin Hasan al-Halabi dalam bukunya Nûrul Anwâr wa Kanzul Abrâr: 


Ya Tuhanku, pada malam ini orang-orang yang berpaling (dari rahmat-Mu) telah berpaling, orang-orang yang mempunyai tujuan telah datang (pada-Mu), dan para pencari telah mengharap anugerah dan kebaikan-Mu. Pada malam ini, Engkau mempunyai tiupan rahmat, piagam-piagam penghargaan, aneka macam pemberian dan anugerah. Engkau berikan semua itu terhadap hamba-hamba-Mu yang Engkau kehendaki. Dan Engkau tidak memberikannya terhadap orang yang tidak memperoleh pertolongan dari-Mu. Inilah aku, hamba-Mu yang sangat berharap pada-Mu, berharap anugerah dan kebaikan-Mu. Apabila Engkau, wahai Tuan kami, telah mengemukakan anugerah-Mu di malam ini terhadap seseorang dari makhluk-Mu, dan Engkau berikan kebaikan padanya dengan berbagai sambungan kelembutan-Mu, maka anugerahkan rahmat atas Nabi Muhammad shalallahu aliahi wasallam beserta keluarganya. Berikanlah atasku dengan kekayaan dan kebaikanMu. Wahai Tuhan seru sekalian alam. (Syekh Abdul Qadir bin Shalih al-Jilani, Al-Ghun-yah, Dārul Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, 1997, juz 1, halaman: 328).
 


Singgih Aji Purnomo, Bidang Kajian dan Riset LAKPESDAM PCNU Jakarta Selatan dan Redaktur NU Online Banten
 


Ubudiyyah Terbaru