• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Kamis, 28 Maret 2024

Ubudiyyah

Jawaban Imam Ghazali kepada Santri yang Gelisah

Jawaban Imam Ghazali kepada Santri yang Gelisah
Ilustrasi (Foto: NU Online)
Ilustrasi (Foto: NU Online)

Suatu ketika, ada salah seorang santri Imam Ghazali yang merasa gelisah terhadap pertanyaan batinya. Padahal, ia telah menghabiskan waktunya selama bertahun-tahun untuk berguru dan berhidmah secara talaqqi (bertatap muka) kepada gurunya itu. Bahkan, Imam Ghazali menyatakan bahwa santrinya itu, telah lulus dalam mengarungi berbagai tahapan proses pendidikan yang ditentukan olehnya. 

 

Dalam batin santri itu bergejolak sebuah pertanyaan, selama ini, aku telah menghabiskan sebagian umurku untuk mempelajari dan menguasai berbagai ilmu. Lantas, ilmu mana yang dapat memberikan manfaat dan membuatku tenteram kelak di alam kubur? Dan ilmu mana yang sekiranya tidak memberikan manfaat dan membuatku tentram di alam kubur? Sebagaimana sabda Rasululllah Saw ?. 

 

Atas kegelisahan ini, santri tersebut memberanikan diri untuk bertanya kepada gurunya melalui sebuah surat. Imam Ghazali kemudian menulis sebuah surat yang berisikan nasihat dan do’a untuk santrinya tadi. Surat itu berjudul اَيُّهَا الْوَلَدْ yang kemudian menjadi nama dari sebuah kitab.

 

Ilmu yang manfaat adalah ilmu yang diwujudkan melalui perbuatan sehingga menjadi perilaku yang melekat dan tidak terpisahkan dari seorang ahlul ilmi (si-empunya ilmu). Tidak hanya menjadi retorika (omong kosong) atau tulisan (buku/kitab) belaka. Seorang ahlul ilmi tidak sibuk dengan mencari pamor ketenaran, pangkat, dan harta benda. Ia akan menyibukkan dirinya untuk menjalankan tugas utama yang diembanya sebagai manusia di muka bumi ini, yaitu beribadah (mengabdi) kepada Allah dengan sebaik-baiknya. Sesuai dengan keterangan dalam al-Qur’an.

 

  وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ 

 

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah (mengabdi) kepada-Ku,” (Surat Az-Zariyat Ayat 56).

 

Ibadah yang dimaksud di sini, bukan hanya ibadah yang berupa ritual saja, tetapi juga ibadah sosial. Artinya, segala aktivitas sehari-hari baik ritual maupun sosial harus disandarkan kepada Allah swt semata. Keduanya, harus dilaksanakan secara seimbang. Ibadah ritual lebih bersifat private seperti beriman, salat, dzikir, zakat, puasa, dan haji. Sehingga ibadah ritual bersifat sempit atau terbatas.

 

 

Sementara ibadah sosial lebih bersifat luas, sebab selama 24 jam manusia lebih banyak menghabiskan aktivitas sosialnya dari pada aktivitas ritualnya. Ibadah sosial bisa seperti membahagiakan keluarga, mencari nafkah yang halal, bekerja dengan jujur, menjalin silaturahmi, berkata dengan baik, membuang sampah pada tempatnya, membersihkan tempat yang kotor, berbuat baik kepada tetangga, menolong yang lemah, dan lain sebagainya.      

 

Meskipun begitu, ibadah ritual tetap menjadi pondasi utama ibadah sosial. Tanpa ibadah ritual yang baik, ibadah sosial tidak akan memberikan kemanfaatan kelak di alam kubur. Sebab itu, kata amal saleh di dalam al-Qur’an selalu didahului dan beriringan dengan kata iman. Seperti dijelaskan al-Qur’an, salah satunya dalam surat al-Kahfi ayat 107.

 

إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ كَانَتۡ لَهُمۡ جَنَّٰتُ ٱلۡفِرۡدَوۡسِ نُزُلًا 

 

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal,” (Surat Al-Kahfi, Ayat 107). 

 

Ilmu yang tidak diwujudkan atau diamalkan dalam perbuatan, diibaratkan seperti seorang pemuda yang gagah dan disertai senjata lengkap. Kemudian, di suatu tempat pemuda tadi dihadang oleh seekor singa yang besar, buas, dan menakutkan. Lantas, apakah senjata yang lengkap tadi dapat memberikan manfaat berupa mengusir seekor singa besar, buas dan menakutkan tadi tanpa si pemuda menggunakanya?. Tentu tidak. Senjata lengkap adalah ibarat ilmu. Ilmu tidak akan memberikan keselamatan dan ketentraman kelak di alam kubur tanpa adanya pengamalan atau perwujudan dalam perbuatan. Jika ilmu hanya menjadi retorika atau tulisan dalam kitab/buku saja, maka sungguh sangat merugi. Sesuai dengan penjelasan rasulullah saw. 

 

اَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَالِمٌ لَايَنْفُعُهُ اللهُ بِعِلْمِهِ

 

“Siksa yang sangat pedih kelak di hari kiamat adalah orang alim (ahli ilmu) yang tidak diberikan oleh Allah berupa kemanfaatan ilmu yang dimilikinya,” (Al-Hadtis)

 

Maka menjadi sebuah keniscayaan bagi seorang ahlil ilmu untuk mengamalkan ilmunya menjadi amal saleh yang dilandasi dengan iman. Dengan begitu, kelak ilmu tersebut akan meberikan manfaat berupa ketenteraman di alam kubur dan keselamatan di hari kiamat. Baik Ilmu agama maupun ilmu umum yang menjadi sarana tegaknya agama dan kemaslahatan hidup manusia, merupakan ilmu yang dapat memberikan manfaat bagi si-empunya di alam kubur dan di hari kiamat jika dilandasi dengan iman. 

 

 

Ikhwanul Muaddib, Penulis adalah Alumni Sekolah Pasca Sarjana UIN (Sps) Jakrata. 
      


Editor:

Ubudiyyah Terbaru