Opini

Urgensi Perlindungan Anak di Pesantren: Perlu Kebijakan Tegas dan Sistemik

Selasa, 17 September 2024 | 19:01 WIB

Urgensi Perlindungan Anak di Pesantren: Perlu Kebijakan Tegas dan Sistemik

Workshop penyusunan standar operasional prosedur (SOP) kebijakan perlindungan anak di pesantren. (Dokumentasi penulis)

PESANTREN di Indonesia telah lama menjadi benteng moral dan pendidikan bagi generasi muda Muslim. Melalui pengajaran nilai-nilai keislaman, pesantren diharapkan mencetak santri yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berakhlak mulia. Namun, realitas di lapangan menunjukkan adanya celah dalam sistem yang seharusnya melindungi anak-anak dari kekerasan dan pelecehan seksual. 

 

Kasus-kasus yang terungkap dalam beberapa tahun terakhir mengindikasikan perlunya evaluasi menyeluruh dan tindakan tegas untuk mengatasi masalah ini. Data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) periode 2015-2020 menunjukkan, bahwa pesantren menempati urutan kedua dalam kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, dengan 19% dari total kasus dilaporkan terjadi di pesantren. Ini merupakan statistik yang mencengangkan, mengingat pesantren seharusnya menjadi tempat yang aman untuk tumbuh kembang anak-anak. 

 

Selain itu, pada tahun 2022, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat bahwa 41,67% kasus kekerasan seksual terhadap anak terjadi di pesantren. Fakta ini menegaskan urgensi untuk segera memperbaiki kebijakan perlindungan anak di lingkungan pesantren.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

 

Kasus Herry Wirawan, yang pada tahun 2021 divonis mati karena memperkosa 12 santriwati, menjadi salah satu contoh paling mencolok dari lemahnya sistem perlindungan anak di pesantren. Herry berhasil melakukan kekerasan seksual bertahun-tahun tanpa terdeteksi, mencerminkan kegagalan struktural dalam pengawasan dan penegakan aturan. 

 

Kasus ini bukan hanya mencoreng nama baik institusi pesantren, tetapi juga memunculkan pertanyaan mendasar. Tentang mekanisme pengawasan di lingkungan pendidikan agama.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

 

Menanggapi situasi ini, Pesantren Bumingaos An-Nahdlah pimpinan Kiai Tsabit Latif menghelat workshop penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) Kebijakan Perlindungan Anak yang berlangsung pada Sabtu – Minggu, 14 - 15 September 2024 di Hotel Maris, Rangkasbitung, Lebak, Banten. 

 

Workshop ini mendorong Kementerian Agama RI, untuk dapat memperkuat landasan awal merumuskan kebijakan perlindungan anak yang lebih konkret di lingkungan pesantren menjadi lebih tegas. Penting dicatat, bahwa pesantren bukan hanya lembaga pendidikan agama, tetapi juga lingkungan yang memegang peran kunci dalam pembentukan moral generasi muda. 

ADVERTISEMENT BY OPTAD

 

Dengan demikian, kasus kekerasan yang terjadi di pesantren bukanlah sekadar masalah kriminalitas. Tetapi juga mencerminkan krisis moral. Dalam sistem yang seharusnya membangun karakter yang lebih baik bagi santri. 

 

Keterlibatan pimpinan pesantren dalam beberapa kasus, seperti yang terjadi di Jember dan Lampung pada awal 2023, semakin memperkeruh situasi. Keterlibatan tokoh agama yang seharusnya menjadi panutan. Dalam kasus-kasus ini menambah dimensi kompleksitas dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di pesantren.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

 

Jika merujuk pada Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 1262 Tahun 2024 tentang Petunjuk Teknis Pengasuhan Anak di Pesantren, tampak jelas bahwa regulasi sudah ada. Namun, implementasi di lapangan masih jauh dari harapan. 

 

Banyak pesantren, terutama yang berada di pedesaan atau beroperasi dalam sistem salaf (tradisional), belum mengetahui apalagi memiliki mekanisme pelaporan dan perlindungan yang memadai. Sistem hierarki dalam pesantren sering kali membuat santri enggan melaporkan pelecehan yang dialaminya, karena takut akan stigma atau ancaman dari pihak pengelola pesantren.

 

Kegiatan yang berlangsung selama 2 hari ini merupakan langkah awal yang penting dalam menata ulang kebijakan perlindungan anak di pesantren. Workshop ini bertujuan menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP) yang komprehensif untuk mengatasi permasalahan kekerasan seksual di lingkungan pesantren. 

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

 

Kegiatan ini melibatkan para akademisi, tokoh agama, dan aktivis perlindungan anak yang kompeten di bidangnya, seperti Bani Javaris, Dr. M. Agus Yusron, dan Dr. Nurul Huda Maarif. Sesi-sesi diskusi dalam workshop ini difokuskan pada pemahaman mendalam tentang hak-hak anak menurut fiqh Islam serta prinsip-prinsip dasar kebijakan perlindungan anak.

 

Perlindungan anak dalam Islam sebenarnya memiliki landasan yang kuat, sebagaimana dijelaskan oleh Dr. M. Agus Yusron dalam salah satu sesi workshop yang akan datang. Prinsip-prinsip ini perlu diterjemahkan ke dalam kebijakan praktis yang dapat diterapkan di lingkungan pesantren. Pendekatan spiritual dan etis, dikombinasikan dengan mekanisme legal yang ketat, dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi santri.

 

Peran Data dan Regulasi

Salah satu sesi penting dalam workshop tersebut disampaikan oleh Unggal Bagus, seorang data analis yang memaparkan mekanisme pelaporan kekerasan anak di pendidikan pesantren berdasarkan Peraturan Menteri Agama RI Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan. 

 

Sesi ini menekankan pentingnya pemahaman mendalam tentang mekanisme formal yang sudah ada, serta kendala yang dihadapi dalam implementasinya di lapangan. Meskipun regulasi sudah jelas, efektivitasnya tergantung pada implementasi yang konsisten dan kesadaran para pemimpin pesantren akan pentingnya perlindungan anak.

 

Mekanisme pelaporan yang diatur dalam PMA 73/2022 diharapkan dapat memberikan perlindungan lebih baik bagi anak-anak, namun masalah pengawasan internal dan external di pesantren masih menjadi hambatan utama. Tidak jarang, kasus-kasus kekerasan seksual sulit terungkap karena adanya ketakutan atau kurangnya pemahaman santri dan pengelola pesantren tentang mekanisme pelaporan yang benar. Oleh karena itu, peran aktif pesantren dalam menyosialisasikan prosedur ini menjadi sangat krusial.

 

Merumuskan Rekomendasi yang Tepat Sasaran

Dalam sesi selanjutnya yang dipandu oleh Abi S. Nugroho, pengurus Lakpesdam PBNU, workshop ini berfokus pada merumuskan rekomendasi kebijakan serta menyusun SOP perlindungan anak yang relevan dan aplikatif di masing-masing pesantren. 

 

Penulis menekankan, bahwa proses penyusunan kebijakan tidak bisa dilakukan secara top-down. Pendekatan partisipatif yang melibatkan seluruh elemen pesantren—dari pengelola, ustaz, orangtua hingga santri—adalah kunci menciptakan kebijakan yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan tantangan di lapangan.

 

Dalam diskusi kelompok yang diadakan, para peserta—yang terdiri dari para pimpinan pesantren, aktivis perlindungan anak, dan perwakilan pemerintah—didorong untuk berbagi pengalaman dan solusi guna menciptakan sistem perlindungan yang kuat. Hasil diskusi ini menjadi dasar dalam perumusan SOP perlindungan anak yang inklusif dan berkelanjutan. Dengan melibatkan banyak pihak, kebijakan yang dihasilkan tidak hanya bersifat legalistik, tetapi juga memiliki landasan moral dan spiritual yang kuat, sesuai dengan nilai-nilai keislaman.

 

Langkah Menuju Perubahan

Workshop ini membuktikan bahwa pesantren memiliki komitmen mengatasi kasus kekerasan seksual dan melindungi anak-anak dari segala bentuk kekerasan. Namun, komitmen saja tidak cukup. Diperlukan langkah-langkah konkret, mulai dari implementasi SOP yang ketat hingga pengawasan yang berkelanjutan. Selain itu, pesantren juga perlu membangun budaya pelaporan yang aman dan mendukung bagi korban agar mereka tidak merasa takut untuk berbicara.

 

Kiai Tsabit Latief yang juga aktif sebagai pengurus Lembaga Takmir Masjid PBNU mengatakan, menyusun kebijakan perlindungan anak di pesantren, baik tradisional salaf maupun modern, merupakan tantangan yang memerlukan keterlibatan semua pihak. 

 

Tidak hanya pemerintah dan aktivis perlindungan anak, tetapi juga tokoh agama, pimpinan pesantren, dan komunitas luas. Peran pesantren sebagai lembaga pendidikan dan pembinaan moral harus tetap dijaga, namun hal ini hanya bisa tercapai jika lingkungan pesantren menjadi tempat yang benar-benar aman bagi anak-anak.

 

Kesimpulannya, workshop ini tidak hanya berfokus pada penyusunan SOP perlindungan anak di pesantren, tetapi juga menjadi platform untuk memulai reformasi struktural yang mendesak. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang memiliki pengaruh besar di masyarakat harus mengambil langkah proaktif dalam melindungi anak-anak. 

 

Dengan adanya SOP yang komprehensif dan implementasi yang konsisten, pesantren dapat memastikan bahwa mereka tidak hanya mendidik anak-anak secara intelektual, tetapi juga melindungi mereka dari segala bentuk kekerasan dan pelecehan.

 

Dari workshop telah menghasilkan SOP yang aplikatif dan inklusif, yang dapat diimplementasikan di berbagai pesantren, baik yang berbasis tradisional (salaf) maupun modern. SOP ini diharapkan mampu menjawab tantangan perlindungan anak di lingkungan pesantren, sekaligus menjadi pedoman yang mendukung terciptanya sistem pengawasan yang lebih baik. 

 

Para pimpinan pesantren, khususnya, harus memiliki kesadaran bahwa kebijakan perlindungan anak bukan hanya sebuah kewajiban legal, tetapi juga tanggung jawab moral dan agama yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya. 

 

9 Rekomendasi yang dihasilkan dari workshop ini akan disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, tidak hanya berhenti sebagai dokumen, tetapi juga diimplementasikan secara konsisten di setiap pesantren. 

 

Pentingnya pengawasan eksternal dan internal yang ketat, pembentukan mekanisme pelaporan yang aman dan rahasia bagi santri, serta pembentukan tim khusus untuk menangani kasus-kasus kekerasan seksual adalah beberapa langkah konkret yang harus diambil.

 

Pesantren harus menjadi benteng yang aman dan nyaman bagi santri, bukan tempat yang rentan terhadap kekerasan seksual. Revisi kebijakan dan penyusunan SOP perlindungan anak di pesantren adalah langkah awal yang penting dalam memastikan bahwa setiap anak di Indonesia mendapatkan haknya untuk tumbuh dalam lingkungan yang aman, mendukung, dan penuh kasih sayang.

 

Abi S Nugroho, Penulis adalah Anggota Pengurus Lakpesdam PBNU

ADVERTISEMENT BY ANYMIND