Nama Pesantren Hasil Istikharah, Suatu saat Ingin Mendirikan Perguruan Tinggi
Jumat, 27 Oktober 2023 | 08:10 WIB
LOYALITAS KH Edi Sahrowardi berkhidmat di Nahdlatul Ulama (NU) hingga kini tida perlu disangsiikan lagi. ‘’Selama13 tahun minum airnya Kiai Hasyim (mondok di Pesantren Tebuireng yang didirikan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU). Masa istilahnya guru saya, NU perlu bantuan, saya diam saja. Apapun yang saya punya, untuk NU saya siap, semampu saya,’’ tegas Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Attaufiqiyyah KH Edi Sahrowardi ditemui NU Online Banten (NUOB) setelah live Apel Hari Santri Nasional 2023 bersama Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Banten di Pondok Pesantren Attaufiqiyyah Baros, Ahad (22/10/2023).
NUOB mendengar sendiri beberapa kali Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Banten KH Bunyamin Hafidz menyampaikan bahwa apa yang diminta PWNU Banten selalu disanggupi kiai kelahiran Baros, 1953 tersebut.’’Selama ini apa yang kami minta ke Kiai Edi untuk NU, selalu siap,’’ kata Kiai Bunyamin di hadapan ratusan jamaah jelang pembacaan 1 miliar shalawat nariyah di Kantor PWNU Banten, Sabtu (21/10/2023).
Putra dua bersaudara pasangan H Edi Muhammad Asik dan Hj Enjeh Junaina itu itu sejak tsanawiyah sudah menimba ilmu di Tebuireng. Tepatnya 1970. Hingga menyelesaikan kuliah. Selepas menyelesaikan S1, pria yang mengaku masih punya garis keturunan hingga Sunan Gunan Jati dari jalur ayah itu boyong. Tapi tidak langsung pulang ke Baros, karena istri sempat di Jakarta. Di Ibu Kota, dia dapat pekerjaan sebagai jurnalis di salah satu media cetak, Harian Merdeka, yang kantornya di Jalan Sangaji, Jakarta.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
’’Saya ingin mengubah orang Baros yang dulu banyak tidak sekolah, daerah tertinggal. Pada 1983, barangkali saya sarjana hukum pertama di Baros. Mungkin pertama se kecamatan,’’ ujar pria yang saat ini sebagai wakil rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Banten itu.
Selain sebagai jurnalis selama beberapa tahun, pria yang kenyang pengalaman di sejumlah organisasi di antaranya pernah masuk pengurus Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor era Saifullah Yusuf—sekarang sekretaris jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), itu sepulang dari Tebuireng juga mengajar. ’’Saya bisanya mengajar, dan saya suka mengajar. Jadi Kalau akhir pekan saya pulang mengajar di Untirta (Universitas Sultan Ageng Tirtayasa). Ketika itu masih swasta. Senin habis Subuh jalan ke Jakarta, kerja sebagai wartawan,’’ ungkap pria yang saat ini sebagai salah satu pengurus partai level Banten, namun tidak tertarik masuk legislatif tersebut.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Dunia jurnalis akhirnya ditinggalkan pada 1987. Di antara pertimbanganya, fokus di dunia pendidikan, apalagi setelah mendirikan SMA di Baros pada 1985.’’Ibu juga bilang, kamu mondok ilmunya manfaatkan. Ditambah setelah silaturahim ke Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), salah seorang gurunya saat mondok, dan diminta mendirikan pesantren dan sekolah. 1994 pesantren berdiri. Awalnya dikasih tanah ibu 600 meter, terus berkembang. Beli tanah dan bangun sendiri. Sudah 28 tahun berjalan,’’ imbuh pria yang akhirnya berhenti mengajar di Untirta pada 1999 setelah 10 tahun mengabdi, karena fokus ingin membesarkan pesantren dan sekolah yang didirikan bersama istrinya, Hj Nyai Suhana, itu.
Kiai Edi menambahkan, dia mendirikan pesantren, sekolah, termasuk statusnya sudah yayasan, tak lepas dari kerja sama dengan istrinya. ’’Dari nol. Yang bantu, ya istri. Dulu mondok di Cukir, Serang. Termasuk bikin yayasan, berdua. Saat ini dari 3 hektare tanah pondok sudah diwakafkan ke yayasan. Kecuali 600 meter persegi, utuk rumah anak-anak. Selain SMP, SMA, juga ada SMK. Namanya sama dengan pesantren dan sekolah, yaitu Attaufiqiyyah. Nama itu dari hasil istikharah,’’ detail kiai yang ikut Tarekat Qadariyah Naqsabadiyah itu.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Jumlah santri yang mnodok saat ini, lanjutnya, sekitar 150 orang. Sedangkan total yang menimba ilmu di Attaufiqiyyah sebanyak 1800 orang.’’Saat ini sekolah sudah ada kepalanya masing-masing. Tinggal mantau. Masih ngajar ngaji, setelah Subuh 3 kali dalam sepekan. Lalu pada Rabu dan Kamis malam. Ngajar Fathul Wahhab, Fathul Qarib, Jurumiyah, Asybah wan Nadhair,’’ terang pria yang punya keinginan lebih banyak santri di pondoknya bisa digratiskan itu.
Di ujung obrolan, masih duduk di sofa panjang yang berada di salah satu ruangan area pondok, bapak empat anak itu, mengungkapkan harapannya yang belum tercapai.’’Dari dulu ingin ada perguruan tinggi (PT). Juga ada sekolah TK dan SD. Lengkap jadinya, TK hingga PT,’’ tutupnya. (M Izzul Mutho)
ADVERTISEMENT BY ANYMIND