Tentang lebih utama mana, lama beda pendapat. Pendapat yang sahih, yang dijelaskan oleh Asy-Syafii dalam Kitab Al- Buwaithi dan disepakati banyak ulama, bahwa yang lebih utama adalah hewan jantan dari pada yang betina.
Sedangkan terkait pembagian kurban, ulama menganjurkan daging kurban sunnah dibagi menjadi 3 bagian. Daging kurban dianjurkan untuk dimakan sendiri oleh pemiliknya, disedekahkan ke fakir miskin, dan dihadiahkan kepada orang lain. (I’anatut Thalibin 2/379)
Dalam Kitab Fathul Mu’in dan I’anatut Thalibin juga dijelaskan, wajib menyedekahkan daging kurban dalam keadaan mentah, walaupun kepada 1 orang fakir dari kurban sunnah. Ini supaya orang miskin tersebut bisa mendayagunakan daging tersebut sesuai keinginannya, seperti dijual atau yang lain.
Adapun yang melaksanakan kurban nadzar, tentu berbeda dengan yang melaksanakan kurban sunnah. Imam Nawawi mengatakan, jika seseorang bernadzar menyembelih hewan kurban, maka hak kepemilikannya terhadap hewan tersebut menjadi hilang, karena nadzar. Hewan tersebut menjadi milik orang miskin. Bagi yang bernadzar tidak boleh mendayagunakan hewan tersebut dengan dijual, hibah, wasiat, gadai, dan sebagainya. Dan hewan tersebut tidak boleh diganti dengan yang sepadan atau yang lebih baik. (Al-Majmu’ 8/364)
Mewakilkan ini bisa ke perorangan, misalnya ke kiai, atau ke organisasi, misalnya pengurus masjid, pengurus kampung, dan sebagainya. Dengan demikian, panitia kurban statusnya adalah sebagai wakil dari mudlahhi (pemilik kurban).
Panitia kurban dalam menerima amanat biasanya ada dua bentuk. Pertama, mudlahhi (pemilik kurban) datang langsung dengan membawa hewan kurban. Maka panitia menerima hewan kurban tersebut.
Hendaknya panitia menanyakan dahulu: “Apakah ini kurban sunnah atau kurban wajib karena nadzar?” Jika kurban sunnah, maka mudlahhi berhak mendapat bagian. Dan jika kurban nadzar, maka tidak boleh mendapat bagian dari kurban, baik dirinya maupun keluarga yang ia nafkahi.
Kemudian panitia kurban menuntun mudlahhi untuk niat melakukan kurban (baik saat penyerahan maupun saat penyembelihan), jika kurban sunnah. Dan jika kurban nadzar, tidak wajib niat. (Hasyiah Al-Bajuri 1/296)
Kedua, mudlahhi (pemilik kurban) menyerahkan uang ke panitia untuk dibelikan hewan kurban. Hal ini berdasarkan fatwa ulama Yaman:
“Dijelaskan dalam fatwa Syekh Muhammad bin Sulaiman Al-Kurdi, pengarang syarah Ibnu Hajar dalam Al-Mukhtashar (Minhaj Al-Qawim) bahwa beliau ditanya tentang kebiasaan penduduk Jawa yang mewakilkan kepada seseorang untuk membelikan hewan ternak bagi mereka di Makkah, untuk Aqiqah maupun kurban, dan disembelih di Makkah. Padahal orang yang diaqiqahkan atau disembelihkan kurban berada di Jawa. Sahkah hal itu? Berilah fatwa kepada kami. Jawab: Ya hal itu sah. Boleh mewakilkan orang lain untuk membelikan kurban atau aqiqah dan penyembelihannya, meski di luar negara orang yang berkurban dan aqiqah.’’ (I’anatut Thalibin 2/381)
Karena berstatus wakil, maka panitia tidak boleh mengambil bagian dari kurban kecuali mendapat izin. Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Al-Azhar, Ibrahim Al-Bajuri:
’’Tidak boleh bagi wakil mengambil sesuatu kecuali telah ditentukan oleh muwakkil (pemilik kurban) untuk mengambil bagian tertentu darinya.” (Hasyiah Al-Bajuri 1/387)
Oleh karenanya supaya menjadi “boleh dan halal”, maka panitia perlu menyampaikan di awal bahwa panitia akan meminta bagian dari hewan kurban tersebut. Wallahu a’lam bis shawab
Dikutip: Kiai Ma'ruf Khozin, Buku Saku Sukses Qurban Sesuai Tuntunan-Invest Masa Depan, Aswaja NU Center PWNU Jatim dan LTN PBNU
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Asyura
2
Menyemai Kader IPNU-IPPNU Curug melalui Makesta III
3
Ketum PBNU: Butuh Konsolidasi Gerakan untuk Mencapai Kemaslahatan
4
Dari PD-PKPNU Angkatan II PCNU Lebak, Sebarkan NU, Jangan Malu
5
Pengunjuk Rasa soal ODOL Sempat Ditangkap, Ini Kata Ketua PBNU
6
Demo soal ODOL, Minta Payung Hukum bagi Sopir
Terkini
Lihat Semua