Nasional

Ketua PBNU: Wacana Darurat Militer Berlebihan

Rabu, 3 September 2025 | 11:30 WIB

Ketua PBNU: Wacana Darurat Militer Berlebihan

Ketua PBNU H Mohamad Syafi' Alielha. (Foto: Dok PBNU)

Jakarta, NU Online Banten

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Mohamad Syafi' Alielha mengatakan, wacana pemberlakuan darurat militer di tengah gelombang demonstrasi saat ini sangat tidak tepat dan cenderung berlebihan. Kondisi keamanan belum mencapai titik yang membahayakan sehingga tidak ada alasan kuat untuk memberlakukan langkah ekstrem tersebut. “Saya kira masih jauh. Mungkin ada sejumlah teman, sejumlah pihak yang terlalu mengkhawatirkan, tapi saya tidak yakin ada prasyarat-prasyarat yang harus dipenuhi dan situasinya saya kira masih jauh,” ujarnya kepada NU Online, Selasa (2/9/2025).


Savic Ali—sapaan Mohamad Syafi' Alielha-- juga menilai bahwa unjuk rasa yang terjadi selama ini masih berlangsung dalam skala simbolik dan belum mengganggu stabilitas negara secara luas. Menurutnya, bentuk kemarahan publik lebih banyak terlihat di titik-titik seperti kantor polisi dan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).



“Artinya gini, kalau pemerintah memberlakukan itu, itu sangat-sangat berlebihan. Praktis massa hanya di wilayah-wilayah yang relatif sebagai simbol-simbol kemarahan seperti (keamanan) kepolisian, (seperti) pos polisi, di (kantor) DPRD, simbol kepolisian dan pemerintahan. Menurut saya kira tidak ada situasi yang benar-benar membahayakan keamanan warga negara sehingga harus diberlakukan darurat militer,” tegasnya.


Alih-alih mengambil pendekatan represif, Savic mendorong pemerintah untuk memberikan pernyataan yang lebih ramah dan terbuka terhadap tuntutan massa. Dia mencontohkan pendekatan yang dilakukan oleh kepolisian di Jepara, yang dinilainya jauh lebih manusiawi.


“Pertama saya kira pemerintah justru harus mengeluarkan statemen-statemen yang lebih bersahabat terhadap tuntutan-tuntutan demonstran, yang memperlakukan demonstran lebih manusiawi,” jelasnya, dilansir NU Online.


Dia menegaskan, kunci meredam gejolak kemarahan rakyat adalah dengan mendengarkan dan merespons akar tuntutan massa. Salah satunya, ketimpangan ekonomi antara pejabat dan rakyat.


Pada kesempatan itu, dia juga menyoroti cara aparat keamanan menangani demonstrasi besar yang belakangan ini marak terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Menurutnya, dalam setiap gelombang gerakan massa, selalu ada potensi penyusup yang memanfaatkan situasi demi kepentingan mereka sendiri. Namun, katanya, hal itu seharusnya sudah sejak awal bisa diantisipasi oleh aparat melalui Badan Intelijen Negara (BIN).


“Mungkin saja dalam sebuah pergolakan besar atau gerakan massa besar selalu ada pihak-pihak yang berusaha memanfaatkan demi kepentingan mereka sendiri, itu selalu ada,” katanya kepada NU Online, Selasa (2/9/2025).


Savic pun mengkritik lemahnya infrastruktur intelijen dalam menangani potensi provokasi dari pihak luar. Alih-alih fokus mengidentifikasi penyusup, aparat justru bersikap represif terhadap demonstran yang sebetulnya menyuarakan aspirasi secara damai.


Sebelumnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menginstruksikan tembak di tempat terhadap pihak yang menyerbu markas kepolisian. Listyo menegaskan bahwa markas kepolisian (mako) tidak boleh diterobos massa. "Haram hukumnya yang namanya mako diserang, haram hukumnya. Dan kalau kemudian mereka masuk ke asrama, tembak. Rekan-rekan punya peluru karet, tembak," kata Sigit dalam konferensi video yang beredar di media sosial.



Kapolri juga menegaskan dirinya siap bertanggung jawab penuh atas instruksi tersebut. "Tidak usah ragu-ragu, jika ada yang menyalahkan kapolri, Listyo Sigit siap dicopot," tegasnya.


Instruksi ini mendapat sorotan dari Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. Dia menyesalkan adanya instruksi presiden kepada kapolri dan panglima TNI yang kemudian diterjemahkan ke dalam kebijakan "tembak di tempat" terhadap pengunjuk rasa yang disebut "anarkis".


Menurut Usman, negara seharusnya merespons tuntutan publik dengan perubahan kebijakan yang menyeluruh, bukan langkah represif. "Misalnya, membatalkan kebijakan kenaikan pajak, kebijakan proyek strategis nasional (PSN), Danantara, MBG, sulitnya lapangan kerja, pelanggaran HAM berat, hingga tunjangan finansial bagi anggota parlemen yang dinilai sangat tidak adil bagi rakyat yang sedang kesulitan ekonomi," ujarnya.


Usman menekankan perlunya evaluasi serius terhadap pola pengamanan aksi demonstrasi, termasuk mengusut aparat yang melakukan kekerasan. "Dari mulai pemukulan, penangkapan sewenang-wenang, sampai penggunaan kendaraan yang melindas Affan Kurniawan sampai tewas," tegasnya.



Sanksi internal saja, lanjutnya, tidak cukup. Negara harus melakukan investigasi independen dan terpercaya. "Bukan hanya memberi sanksi ringan secara internal dan memilih memperkuat narasi yang menyudutkan masyarakat dengan terminologi ‘anarkis’. Pilihan kebijakan ini hanya menambah luka dan memperlebar jarak antara rakyat dengan negara," jelasnya.


Amnesty juga menilai instruksi “tembak di tempat” tetap berbahaya meskipun menggunakan peluru karet. Menurut Usman, kebijakan itu berisiko menimbulkan luka fatal, bahkan dapat mengenai warga yang tidak bersalah.



Usman menilai perintah kapolri kepada jajarannya untuk menembak di tempat dengan peluru karet terhadap massa setelah aksi protes kematian Affan Kurniawan merupakan langkah keliru dan berbahaya. Instruksi tersebut, menurutnya, lahir bukan dari refleksi kritis atas kebijakan negara, melainkan respons reaktif terhadap gelombang kemarahan publik yang justru dipicu oleh sikap represif aparat.



Lebih lanjut, Usman menyatakan bahwa negara memang berwenang menindak vandalisme atau penjarahan. Namun, hal itu harus dilakukan secara terukur, akuntabel, dan sesuai prinsip hak asasi manusia (HAM).

 


Seperti diberitakan, Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto menginstruksikan TNI dan Polri untuk tidak ragu mengambil langkah tegas menghadapi kerusuhan, terutama yang berkaitan dengan perusakan fasilitas umum, penjarahan, maupun ancaman terhadap keselamatan masyarakat dan pejabat negara. Instruksi itu disampaikan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin usai Sidang Paripurna Kabinet Merah Putih di Istana Negara, Jakarta, Ahad (31/8/2025) sore.


“Presiden menekankan pentingnya stabilitas nasional, serta menginstruksikan Polri dan TNI untuk tetap solid bekerja sama menjaga keamanan dan kenyamanan masyarakat Indonesia,” ujar Sjafrie.


Dia menegaskan, presiden menugaskan kapolri dan panglima TNI agar tidak ragu mengambil langkah terukur dan tegas terhadap setiap pelanggaran hukum. Instruksi itu mencakup penindakan terhadap kerusakan fasilitas umum, harta milik pribadi, hingga upaya penjarahan.



Di bagian lain, Presiden Prabowo Subianto menyerukan kepada masyarakat untuk tetap tenang dan menjaga persatuan nasional di tengah dinamika sosial politik yang belakangan memanas. Indonesia, lanjutnya, kerap diintervensi dan diadu domba oleh pihak-pihak yang tidak menginginkan bangsa ini sejahtera.   "Kita selalu diintervensi, selalu diadu domba. Jangan kita mau terus diadu domba," tegas Prabowo usai menemui para pimpinan partai politik di Istana Negara, Jakarta, Ahad (31/8/2025).



Prabowo meminta masyarakat menaruh kepercayaan penuh kepada pemerintah. "Saya juga perintahkan kepada semua kementerian/lembaga untuk menerima utusan-utusan kelompok yang ingin menyampaikan koreksi, kritik, maupun perbaikan terhadap jalannya negara dan pemerintahan," katanya.  


Prabowo menekankan pentingnya menjaga ketertiban dalam penyampaian aspirasi. Menurutnya, demonstrasi yang merusak fasilitas umum, melakukan penjarahan, atau menimbulkan kerusuhan hanya akan merugikan rakyat sendiri. (Haekal Attar, M Fathur Rohman)

Â