Ketum PBNU Minta Maaf, Sanksi 5 Nahdliyin ke Israel Diserahkan Ketuanya Masing-Masing
Selasa, 16 Juli 2024 | 19:31 WIB
Jakarta, NU Online Banten
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf menyampaikan permintaan maaf terkait 5 Nahdliyin bertemu Presiden Israel Isaac Herzog dan menyebarluaskannya di media sosial. Mereka atas inisiatif pribadi berkunjung ke Israel. Lima orang tersebut menuai banyak kecaman.
"Ala kulli hal, apa pun yang terjadi, sebagai ketua umum PBNU, saya mohon maaf atas kesalahan yang diperbuat oleh teman-teman NU ini dan ya saya juga memohon maaf untuk mereka kepada masyarakat luas. Mudah-mudahan bersedia memaafkan dan mudah-mudahan tidak berulang kembali," ujar Gus Yahya— KH Yahya Cholil Staquf saat konferensi pers di Gedung PBNU, Jakarta, Selasa (16/7/2024), seperti dilansir NU Online.
Soal sanksi, Gus Yahya mengatakan, menyerahkan kepada tiap-tiap ketua yang menaungi kelima kader tersebut. Seperti Zainul Ma'arif yang merupakan salah satu dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia). Zainul Ma'aif akan segara menghadapi sidang etik dari Unusia. Rektor Unusia Juri Ardiantoro hadir mendampingi Gus Yahya dalam konferensi pers tersebut.
"Nanti kita akan serahkan, misalnya ini jelas dari PWNU (Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama, Red) Jakarta akan melakukan proses, termasuk dalam keterlibatan LBM NU (Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama, Red) Jakarta mengenai kesalahan dan sanksi ini. Mereka sudah melanggar. Semua engagement internasional harus melalui PBNU. Ini akan dilakukan proses, termasuk Unusia yang akan melakukan sidang etik untuk itu. Begitu juga Pagar Nusa dan Fatayat NU," tegas Gus Yahya.
Pada kesempatan itu Gus Yahya menjelaskan, lima orang tersebut sebelumnya melakukan dialog dengan berbagai pihak yang ada di Israel. Akan tetapi, pertemuan dengan presiden Israel adalah sebuah kejadian yang tidak disengaja.
Gus Yahya menerangkan hal itu setelah meminta keterangan dari mereka. "Memang mereka di sana melakukan (semacam) interfaith dialogue dengan berbagai pihak. Katanya tanpa agenda pertemuan dengan presiden Israel sebelumnya, dan itu mendadak diadakan di sana," terang Gus Yahya.
Gus Yahya juga menyampaikan, kunjungan lima orang tersebut adalah buah dari ketidakpahaman situasi politik di Israel-Palestina. Lima orang itu dinilai 'belum cukup umur' sehingga keberangkatan mereka ke sana tidak menghasilkan apa-apa. "Akibat tidak sensitifnya pihak-pihak yang mencoba melakukan pendekatan, dan ini akan banyak sekali berupaya untuk menyeret NU ke berbagai agenda politik internasional. Dan ini sudah kita pertimbangkan sejak awal. Kita menyusun satu set aturan untuk mencegah hal ini," jelasnya.
Kiai asal Rembang, Jawa Tengah, itu juga meminta agar setiap kader dapat mewaspadai kejadian serupa. "Kepada semua kader dan warga, juga minta untuk berhati-hati dalam hal ini. Saya kira itu ya," imbuhnya.
Gus Yahya juga menjelaskan perbedaan antara kunjungan dirinya ke Israel dengan kunjungan yang dilakukan oleh kelima orang tersebut. Dia juga membandingkannya dengan kunjungan yang pernah dilakukan oleh Ketua Umum PBNU 1984-1999 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Dari segi status, kunjungan Gus Dur dan Gus Yahya ke Israel memiliki kemiripan. Namun, Gus Yahya menegaskan bahwa kunjungan dirinya itu bersifat pribadi dan dia pertanggungjawabkan sendiri secara langsung ke publik.
"Saya ke Israel atas nama pribadi dan saya mempertanggungjawabkan secara pribadi. Saya waktu ke sana tidak pernah menyebut NU, kecuali Gus Dur yang saya katakan sebagai guru saya dan inspirator saya. Segala sesuatunya saya tanggung jawabkan secara pribadi," ujar Gus Yahya.
Namun, Gus Yahya menyebut terdapat perbedaan signifikan dalam pendekatan strategis yang dilakukan oleh Gus Dur sebelum dan sesudah kunjungannya. Dia menyebut bahwa Gus Dur melakukan konsolidasi dengan para kiai sebelum berkunjung ke Israel. "Gus Dur sebelum melakukan engagement ke Israel, melakukan konsolidasi dulu. Datang ke kiai-kiai untuk berbicara mengenai masalah ini, upaya, peluang, dan hal yang bisa dilakukan sehingga kiai-kiai itu merestui keberangkatan beliau," jelas Gus Yahya.
Setelah kembali dari Israel, Gus Dur juga selalu berbicara kembali kepada para kiai untuk melaporkan hasil kunjungannya. Gus Yahya juga melakukan hal yang sama, sebelum dan setelah kunjungannya ke Israel. "Sebelum berangkat, saya sudah sowan ke sana ke mari, bahkan saya memberi syarat kepada yang mengundang bahwa saya ingin bertemu dengan kiai saya. Saya juga mengajak seorang tokoh Yahudi untuk bertemu KH Maimoen Zubair dan berdialog lama sekali sampai 4 jam bersama KH Mustofa Bisri," jelasnya.
Selain itu, Gus Yahya menemui beberapa tokoh penting seperti KH Ma'ruf Amin sebagai rais ’aam PBNU kala itu dan KH Said Aqil Siroj sebagai ketua umum PBNU saat itu, serta memastikan bahwa kunjungannya dilakukan atas nama pribadi. "Saat pulang, saya juga lapor ke publik dan saya pertanggungjawabkan secara pribadi," tambahnya.
Perbedaan lain yang ditekankan oleh Gus Yahya adalah soal strategi manuver yang dilakukan selama kunjungan. Gus Dur datang ke Israel dengan engagement strategis yang jelas. "Gus Dur tahu betul di sana isinya apa saja dan harus engage dengan siapa. Ini yang saya contoh. Saya bahkan melakukan konsolidasi lebih luas sampai ke Amerika dan Eropa sehingga engagement saya bukan hanya hadir untuk acara ini-itu, tetapi betul-betul engagement strategis dengan jaringan global yang signifikan. Maka, tidak bisa asal-asalan," tegas Gus Yahya.
Dalam konteks kunjungan lima Nahdliyin tersebut, Gus Yahya mengatakan bahwa mereka pergi atas nama pribadi dan harus bertanggung jawab secara pribadi pula. "Ini urusan pribadi mereka, silakan tanggung jawabkan secara pribadi kepada publik. Seperti Gus Dur dulu mempertanggungjawabkan secara pribadi walaupun ketua umum (ketika itu). Saya sendiri juga mempertanggungjawabkan secara pribadi karena lembaga tidak terlibat dalam organisasi ini," tutupnya. (Haekal A, Nuriel SI)
Terkini
Lihat Semua