• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Jumat, 26 April 2024

Opini

Anak Kos dan Pandemi Covid 19

Anak Kos dan Pandemi Covid 19
Ilustrasi Masa Pandemi Covid 19
Ilustrasi Masa Pandemi Covid 19

Oleh : Muhammad Rafsanjani

 

Mahasiswa dalam Data 

 

Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah mahasiswa di Indonesia pada tahun 2018 sekitar 7 juta jiwa. Angka ini besar namun masih tak seberapa dibanding jumlah populasi Indonesia saat itu sekitar 267,7 juta jiwa. Rasio jumlah mahasiswa dengan penduduk secara agregat memang menganga. Akan tetapi kiranya perlu membahas kelompok manusia yang bernama mahasiswa ini dalam situasi pandemi karena “karakternya” terutama keberadaannya di sejumlah provinsi.

Mengacu pada data BPS pada tahun ajaran 2014/2015 terdapat 7 provinsi dengan jumlah mahasiswa lebih dari 200 ribu orang. Provinsi-provinsi tersebut meliputi DKI Jakarta dengan 960.812 mahasiswa, 320 perguruan tinggi; Jawa Timur 747.952 mahasiswa, 346 perguruan tinggi; Jawa Barat 711.461 mahasiswa, 393 perguruan tinggi; Jawa Tengah 476.802 mahasiswa , 257 perguruan tinggi; Sumater Utara 441.057 mahasiswa, 269 perguruan tinggi; Daerah Istimewa Yogyakarta 351.293 mahasiswa, 110 perguruan tinggi; dan Sulawesi Selatan dengan 228.849 mahasiswa, 210 perguruan tinggi.

 

Rupa-Rupa Mahasiswa Indonesia 

 

Karakter mahasiswa yang pertama adalah secara fisik memiliki daya tahan tubuh baik. Hal ini karena usianya yang muda. Jika kita asumsikan masuk SD umur 6 tahun maka rata-rata usia mahasiswa antara 18-24 tahun. Kondisi tubuh seperti ini sangat mungkin bila terpapar virus akan menjadi inang tanpa merasa sakit atau menunjukan gejala. Selain karena kenggulan imun, karakter mahasiswa lain adalah mobilitas tinggi. Mahasiswa sebagai anak muda cenderung gemar ke sana kemari dan berkumpul. Ruang berkumpul mahasiswa pun kini semakin banyak dan variatif, seperti warkop, tempat makan atau kopi yang makin marak sekitaran kampus. Masih kerap kita jumpai beberapa yang abai terhadap himbauan physical distancing pemerintah.

 

Oleh sebab hal-hal di atas, mobilitas mahasiswa harus diredam. Idealnya memang mahasiswa diam di rumah aja. Pertanyaannya, bagaimana dengan anak kos? Mahasiswa perantau yang tinggal di kosan dan belum memiliki kesempatan pulang kampung. Bisakah mereka tinggal di kosan aja? Jawabannya sangat sulit. Kesulitan pertama adalah ketidaknyamanan kosan. Kosan bukan tempat ideal untuk ditinggali dalam waktu lama. Bayangkan rata-rata ukuran kosan 3x4 meter persegi. Berdiam di dalam ruangan seukuran itu berhari-hari akan terasa sangat penat. Kesulitan kedua adalah tidak tersedianya pangan yang memadai di kosan. Bagi anak kos, makanan biasanya didapat dengan membeli di luar. Begitu juga keperluan lain. Anak kos sangat intens berkunjung ke warteg, warung Madura atau minimarket yang selalu tetanggaan itu.

 

Solusi di Tengah Pandemi

 

Untuk mengatasi keadaan ini setidaknya perlu diusung dua hal. Pertama penyediaan pangan. Makanan perlu disediakan dan diantar ke lingkungan kosan. Kedua, menekan potensi penularan dari anak kosan dengan menyediakan perlengkapan seperti masker dan semacamnya kepada mereka.

 

Lalu siapa yang menanggung keperluan ini? Menurut penulis adalah kampus. Kampus harus hadir dan turun tangan mengatasi kesulitan-kesulitan mahasiswanya di tengah pandemi. Sumberdaya materinya dari kampus sendiri dan dari alumni melalui penggalangan donasi. Trendnya sekarang di kampus-kampus terdapat organisasi alumni. Pihak swasta semisal bank juga bisa diketuk. Bank cukup akrab dengan mahasiswa karena bank perantara antara mahasiswa dengan kampus urusan pembayaran SPP. Untuk pendataan, kampus bisa menggunakan formulir elektronik. Aplikasi formulir elektronik yang gratispun ada dan sangat biasa digunakan oleh mahasiswa. Dengan cara ini kampus dapat mendeteksi identitas, lokasi dan jumlah mahasiswa di sekelilingnya. 

 

Selain kampus, komponen lain yang sangat mungkin bekerja adalah oraganisasi mahasiswa ekstra kampus seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Himpunan Mahsiswa Islam (HMI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dan sebagainya. Organisasi mahasiswa ekstra dapat mengintensifkan gerakan penyediaan kebutuhan dasar mahasiswa juga mengintensifkan sosialisasi, meneruskan serta mengingatkan kembali himbauan-himbauan dari Kementerian Kesehatan RI atau WHO. Sehingga mahasiswa anak kosan yang jauh dari orangtuanya akan aman dari kesulitan pangan dan tidak membawa mudarat bagi lingkungan sekitarnya.

 

Muhammad Rafsanjani, Penulis adalah Kader Muda NU, Ketua PC PMII Ciputat Periode 2015-2016


Editor:

Opini Terbaru