• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Jumat, 3 Mei 2024

Opini

HUT 76 RI dan Pandemi

HUT 76 RI dan Pandemi
HUT 76 RI dan Pandemi
HUT 76 RI dan Pandemi


Kemerdekaan Indonesia bisa dicapai karena ada satu kesepahaman dari warga (calon) Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Tanpa kesepahaman itu mustahil kemerdekaan Indonesia bisa terwujud. Mulai dari Aceh sampai Papua, mulai dari yang beragama Islam maupun non Islam, semua sepakat bahwa Indonesia harus bebas dari penjajahan dan menjadi negara merdeka yang berdaulat sendiri.

 

Kemerdekaan tersebut tidak pernah diperdebatkan apalagi lewat baku hantam untuk mencapai kesepakatan. Tidak pernah pandang bulu apapupun sukunya dan apapun agamanya semuanya menginginkan kemerdekaan harus segera diwujudkan, jatuhlah tanggal 17 Agustus 1945 menjadi hari baik untuk mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia dan sampai sekarang kemerdekaan itu belum pernah di ralat atau dinyatakan tidak merdeka lagi bahkan dunia pun sudah mengakui bahwa Indonesia adalah "Negara Besar" walaupun masih banyak warganya yang belum sadar bahwa Indonesia adalah negara besar dan kaya raya, apapun ada.

 

Beberapa kalangan mengkhawatirkan bahwa anak sekarang atau generasi "Z"--anak yang lahir antara 1995-2010 yang juga disebut sebagai generasi gadget-- banyak yang belum tahu bagaimana sejarah Indonesia ini bisa merdeka. Tahunya hanya game Mobil Legend, Free Fire, Clash of Clans, Pubg, Sausage Man, dan lain sebagainya. Jangan tanya siapa pahlawan Indonesia bisa jadi siapa saja presiden Indonesia pun mereka belum tentu tahu, apalagi pahlawan revolusi. Semoga saja ini hanya kekhawatiran penulis saja.

 

Banyak slogan tentang bagaimana mengisi kemerdekaan baik yang idealistis maupun yang sangat praktis disetiap momen peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia (HUT RI). Misalnya "Seribu orang tua hanya akan menghasilkan mimpi-mimpi, satu pemuda bisa mengubah dunia", "Dulu berjuang mengusir penjajah sekarang berjuang melawan bangsa sendiri", "Mari kita isi kemerdekaan ini dengan belajar yang rajin", (baca: Slogan Kemerdekaan).

 

Sewaktu penulis masih kecil perayaan kemerdekaan--sering disebut dengan istilah tujuhbelasan-- dilakukan dengan upacara bendera di lapangan kecamatan yang dimobilisir dengan truk dari masing-masing desa dilanjutkan dengan perlombaan antar kampung sampai antar RT. Mulai dari perlombaan yang paling mudah seperti makan kerupuk, panjat pinang, sampai yang adu jotos karena desanya kalah main bola dengan desa tetangga, pokoknya seru dan seneng sekali kalau mengingat waktu itu.

 

Tapi nampaknya hal itupun masih berlanjut sampai sekarang bahwa tujuhbelasan itu identik dengan upacara dan perlombaan bahkan di jalan-jalan kampung banyak yang membuat portal untuk ngecrek (minta sumbangan) dengan kotak kardus yang bertuliskan untuk tujuhbelasan atau HUT RI. Apalagi di Jakarta, jangan harap bisa lewat gang-gang pas acara tujuhbelasan pasti banyak jalan yang ditutup.

 

Jadi tidak banyak yang berubah dari ritual memperingati HUT RI dari tahun ke tahun kecuali perayaan upacara di lapangan kecamatan semenjak Pak Harto turun kayaknya sudah tidak ada, yang lain masih sama dari dulu sampai sekarang.

 

Apakah setelah peringatan HUT RI atau tujuhbelasan ada perubahan perilaku atau tindakan? Apakah slogan yang jadi tema peringataan dijadikan spirit untuk melangkah menuju masa depan yang lebih baik? Benarkah kita sudah merdeka secara hakiki atau hanya merdeka secara harfiah/simbolik saja? (Baca: Freedom)

 

Tulisan ini tidak untuk menjawab pertanyaan di atas tapi hanya sebagai refleksi diri untuk kita bermuhasabah dalam mengisi dan mempertahankan kemerdekaan ini. Jangan sampai kita semua sudah merasa merdeka padahal sejatinya kita masih terjajah oleh bangsa atau kelompok lain dalam bentuk yang kita tidak sadari bahkan cenderung--dengan terpaksa-- kita nikmati.

 

Konon negara-negara yang ada saat ini  ibarat sebuah perusahaan yang sahamnya sudah di kapling-kapling oleh kelompok-kelompok tertentu atau dalam istilah yang disampaikan oleh Aristotales adalah oligarki dimana secara literal bisa dimaknai sebagai negara yang dikuasai oleh segelintir orang. Semoga negara Indonesia tidak demikian, (baca: Oligarki)

 

Adakah korelasi antara HUT RI dengan Oligarki? 

 

Peringatan HUT RI adalah sebagai pengingat dan motivasi bahwa kita ini bangsa yang sudah merdeka, karena kemerdekaan itu diperoleh dengan banyak pengorbanan baik jiwa--menurut data dari Wikipedia ada 4 juta jiwa warga Indonesia dari populasi 70.500.000,- yang meninggal pada masa itu atau sekitar 5,67%--maupun materi yang tidak terhitung nilainya maka jangan kita sia-siakan apalagi kemerdekaan ini kita biarkan dikuasai oleh oligarki. 

 

Misalnya, dalam kasus pandemi Covid-19 saat ini kalau kita mau mengamati secara jeli banyak sekali negara-negara yang limbung dan gagap menghadapinya pun Amerika sebagai negara adidaya bahkan China sebagai negara yang saat ini hampir menguasai ekonomi dunia mengalahkan Amerika. Hal itu terlihat dari bagaimana cara mencegah pandemi, vaksin apa yang bagus, apakah pakai swab antigen atau antibody, hampir semua negara di dunia tidak satu suara soal itu. Semua mengklaim vaksinnya yang terbaik dan cara mereka yang terbaik menangani pandemi. Benarkah ada yang bermain dengan pandemi Covid-19 ini? Semoga saja hipotesa ini tidak benar.

 

Pandemi juga berdampak pada pola pendidikan kita, yang tadinya hampir semuanya dilakukan secara offline atau tatap muka menjadi online atau daring. Apa yang terjadi? Yang ikut sekolah tidak lagi anaknya tapi para orang tuanya karena jika anak dibiarkan belajar daring sendiri--apalagi anak sekolah dasar--gurunya menyampaikan apa anaknya malah pada main game seperti yang penulis sebutkan di atas. Belum menyoal dampak pada kedisplinan anak, pendidikan karakter anak, dan lain sebagainya. 

 

Begitu juga pelayanan publik, banyak yang terhambat karena ada kebijakan work from home (WFH), walaupun ada juga yang jadi mudah dengan online ini.

 

Selain kesehatan dan pendidikan, ekonomi masyarakat juga sangat terdampak apalagi adanya kebijakan PPKM yang terus diperpanjang dimana pergerakan sosial dibatasi akhirnya semua orang dilarang keluar rumah baik untuk kerja kantoran maupun kerja mencari nafkah harian. Padahal kalau tidak kerja tidak bisa makan.

 

 Lalu dimanakah makna kemerdekaan kita? Apakah seperti itu yang dinamakan merdeka? Entahlah, nampaknya kita baru "merdeka dari" penjajahan tapi belum "merdeka untuk" mengisi kemerdekaan itu sendiri.

 

Merdeka!!!


 

 

Ogy Sugiyono, Dewan Pembina Laskar Santri Nusantara, Wakil Ketua Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Banten.
 


Opini Terbaru