• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Senin, 29 April 2024

Opini

Muslim Kreatif vs Muslim Reaktif

Muslim Kreatif vs Muslim Reaktif
Wakil Bendahara PCNU Kota Tangerang Selatan
Wakil Bendahara PCNU Kota Tangerang Selatan
 

Oleh: Andik Kuswanto

 

Sebagian masyarakat Islam hari ini mempunyai kecenderungan reaktif terhadap isu-isu yang dianggap bersinggungan dengan agama. Banyak dari mereka yang seringkali menciptakan rasa tidak aman terhadap individu atau kelompok lain yang memiliki pandangan berbeda.

 

Mereka meyakini kebenaran agama hanya melalui pendidikan dogmatik tanpa disertai sikap kritis. Mereka percaya bahwa Alquran dan hadis Nabi sepenuhnya harus diterapkan secara tekstual tanpa melalui wasilah keilmuan dan kedalaman spiritual ulama-ulama terdahulu. Mereka, muslim reaktif, begitu mudah dimobilisasi oleh orang-orang yang menggunakan agama untuk kepentingan politik kekuasaan. Tak sedikit dari mereka yang menganggap penggunaan nalar dalam beragama sebagai tindakan bidah atau sudah terkontaminasi oleh liberalisme.

 

Padahal, banyak persoalan kehidupan yang tidak bisa dijawab oleh teks agama. Karenanya, kita mengenal istilah "teks bisu". Yakni, ketika teks tak sedikitpun menyinggung sebuah realitas yang tengah terjadi di masyarakat. Bahkan, filsuf masyhur Ibn Rusyd dalam karyanya yang terkenal "Bidayat al-Mujtahid" menyindir dengan pertanyaan: Bagaimana mungkin teks wahyu yang jumlahnya terbatas mampu menghadapi peristiwa yang jumlahnya tak terbatas?

 

Jika kita menengok kembali sejarah, generasi muslim awal pada abad pertengahan begitu percaya diri menggelar perdebatan-perdebatan "panas" seputar teologi tanpa tuduhan penistaan agama. Generasi muslim pada saat itu, tepatnya pada fase awal Dinasti Abbasiyah, bukan hanya kreatif secara politik, tapi juga secara intelektual.

 

Para pemimpin Abbasiyah begitu gandrung akan ilmu pengetahuan yang ditandai dengan berdirinya perpustakaan terbesar di eranya. Generasi muslim awal juga terbiasa dengan tradisi debat antar-teolog, terutama antara teolog muslim dan kristen. Misalnya, perdebatan antara Patriakh Timothy dari Gereja Suriah dan Khalifah al-Mahdi yang saling beradu argumen secara tajam tentang kewahyuan Nabi dan Tuhan.

 

Timothy tidak percaya akan kenabian Muhammad dan mempertanyakan validitas sumber asal-usul alquran. Sementara al-Mahdi menyerang balik soal konsep trinitas kristen seperti Yesus anak Tuhan. Perdebatan yang keras dan tajam antar keduanya tak lantas berujung pada tuduhan penistaan agama, tapi, justru antar keduanya tetap dalam suasana yang bersahabat. Bahkan, seusai debat, keduanya berpelukan dan saling memberi penghormatan.

 

Tidak hanya itu, perdebatan juga biasa terjadi di kalangan muslim sendiri. Lihat, misalnya, bagaimana sengitnya perang argumen antara al-Ghazali versus Ibnu Rusyd soal filsafat yang oleh banyak kalangan sarjana muslim disebut sebagai perdebatan paling menarik dan paling menyita perhatian umat muslim, terutama perdebatan filosofis mengenai problem ketuhanan dan alam semesta. Perdebatan antara keduanya juga dianggap sebagai gambaran pertarungan "Timur vs Barat".

 

Al-Ghazali mengkritik filsafat lewat karyanya Tahafut al-Falasifa, sementara Ibnu Rusyd menjawab kritikan Al-Ghazali lewat karyanya Tahafut al-Tahafut. Sekali lagi, perlu dicatat, diantara keduanya tidak ada rasa marah dan benci, apalagi caci maki sampai tuduhan penistaan agama.

 

Berkaca pada sejarah kecemerlangan intelektual muslim awal, kita patut malu melihat kondisi generasi muslim hari ini yang baperan dan reaktif yang mengaku paling Islami dan paling tahu tentang Islam. Mereka tidak percaya diri dengan imannya ketika ada pihak lain yang mengkritik cara pandang beragamanya. Mereka seringkali dimanfaatkan oleh agamawan yang haus akan citra dan popularitas. Mereka seringkali terhipnotis oleh bahasa politik yang dibungkus dengan bahasa agama. Mereka pun begitu mudah menuduh orang atau kelompok lain menistakan agama, sembari memobilisasi dan membakar sentimen kaum muslim supaya turun ke jalan-jalan berteriak lantang.

 

Mereka, muslim reaktif, tidak mampu memberikan respons intelektual terhadap pihak-pihak yang berseberangan. Seorang ulama alim dengan karya kitab berjilid-jilid saja masih mereka sesatkan. Karena tidak memiliki tradisi literasi, mereka tidak mampu membalas argumen dengan argumen, tapi membalasnya dengan sentimen. Bagi muslim reaktif, otak tidak dilawan dengan otak, tapi dengan otot.

 

Sebaliknya, muslim kreatif adalah muslim yang tidak khawatir imannya tergadaikan oleh sindiran, hinaan dan cacian dari pihak yang berseberangan. Muslim kreatif tidak mudah dihasut dan dimobilisasi oleh kepentingan-kepentingan sesaat. Muslim kreatif tidak akan merasa paling Islami dan paling tahu soal Islam. Mereka memiliki ketenangan dan kedewasaan dalam memaknai perbedaan. Mereka tidak mudah tersinggung, tidak baperan dan tentunya mereka adalah muslim yang moderat dan toleran. Pilihan ada ditangan Anda, mau menjadi muslim kreatif atau muslim reaktif? (*)

 

Penulis adalah Wakil Bendahara PCNU Kota Tangerang Selatan/Alumni UIN Syarief Hidayatullah Jakarta


Opini Terbaru