Jakarta, NU Online Banten
Kepala Editor Penulisan Sejarah Indonesia Susanto Zuhdi mengatakan, sejarah merupakan ilmu terbuka. Siapa saja bisa menyampaikan data. "Hanya saja perlu metodologi," ujarnya pada diskusi bertema Penulisan Sejarah Indonesia 2025 yang diikuti para peminat, pengkaji, dan penulis sejarah di kalangan NU secara luring dan daring di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Jumat (23/5/2025).
Masa lalu, lanjutnya, mempunyai pesona sendiri sehingga dibuat glorifikasi, sesuatu yang dimuliakan, memiliki banyak daya tarik. Bahkan di sisi lain, ada misteri. "Kita berkeinginan mengungkapnya," imbuhnya, dilansir NU Online.
Menurutnya, penulisan sejarah ini penting sebagai modal faktor membangun bangsa. ’’Sebab, sejarah itu aktivitas kekinian kita untuk melihat masa depan. Terlebih sejarah ini ditulis tidak berhenti untuk dirinya sendiri, tetapi untuk apa dan siapa,’’ terangnya.
Guru besar sejarah Universitas Indonesia itu juga menyampaikan bahwa bangsa Indonesia itu bukan berasal dari mana. Namun, justru Indonesia sudah ke mana-mana sebagai Negeri Maritim. Jejaknya terdapat hingga di Madagaskar.
Sedangkan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ahmad Suaedy menyampaikan, nasionalisme bangsa Indonesia tidaklah dibangun sejak abad ke-20. Justru, hal tersebut telah dimulai pembangunan fondasinya sejak abad ke-19. Sebab, nasionalisme bukan diawali dengan persatuan, melainkan dari kesadaran akan hak. "Kiai terlibat dalam pertumbuhan nasionalisme," tegas dekan Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta itu.
Pada kesempatan itu Suaedy mengkritik entri pendidikan yang dimulai politik etis. Padahal, sejak zaman Hindu Buddha, masyarakat Nusantara sudah memiliki model pendidikannya. Bahkan pesantren juga sudah ada jauh sebelum kemunculan politik etis. "Pesantren harus diletakkan dalam sejarah pendidikan Indonesia," ujar penulis buku Gus Dur, Islam Nusantara, dan Kewarganegaraan Bineka: Penyelesaian Konflik Aceh dan Papua 1999-2001 itu.
Di tempat yang sama, Ketua PBNU KH Miftah Faqih mengatakan, ketidakberadaan pesantren dalam ruang sejarah pendidikan di Indonesia itu seperti peminggiran. Oleh karena itu, dia menekankan pentingnya penulisan peranan para ulama dalam konteks kebangsaan, mulai Wali Songo. Kebaruan-kebaruan (novelty) dalam hal tersebut perlu dimunculkan dalam buku yang akan dicetak bersamaan perayaan kemerdekaan ke-80 Indonesia itu.
Adapun Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia sekaligus Direktur Sejarah dan Kemuseuman Kementerian Kebudayaan Agus Mulyana menyampaikan berkaitan dengan mata rantai sanad keilmuan para ulama yang terhubung ke berbagai negara penting untuk dimasukkan dalam konteks global. Terdapat mengenai jaringan Indonesia di Timur Tengah, China, dan India."Menempatkan Indonesia dalam jaringan global. Itu akan ditambahkan," katanya.
Dia menekankan pentingnya kontribusi masyarakat, khususnya sejarawan di NU, untuk turut mengirimkan berbagai bukti dalam penguatan dan penulisan sejarah ini. "Kalau ada bukti bisa disampaikan. Menjadi energi positif buat penulis," ucap akademisi asal Pesantren Condong, Tasikmalaya, Jawa Barat, itu (Muhammad Syakir NF)
Â
Terpopuler
1
Paradoks Jabatan Fungsional Dosen di Indonesia
2
Setelah Ojol Demo, Komisi V DPR Agendakan Rapat Bersama
3
Penguasa, Termasuk Pengurus NU Tidak Boleh Semena-mena
4
Ucapan Positif, Obat Ampuh Melawan Insecure
5
Khutbah Jumat: Ikhlas dalam Beribadah
6
Sejumlah Hal Disampaikan Pengemudi Ojol saat RDPU dengan DPR
Terkini
Lihat Semua