• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Minggu, 28 April 2024

Banten Raya

Sejarah Kasunyatan, Pusat Pendidikan Islam Kesultanan Banten

Sejarah Kasunyatan, Pusat Pendidikan Islam Kesultanan Banten
Masjid Kasunyatan. (ist)
Masjid Kasunyatan. (ist)

MENDENGAR Kasunyatan Kasemen ingatan kita selalu terfokus pada makam keramat Kanjeng Maulana Yusuf bin Kanjeng Maulana Hasanuddin di Pekalangan Gede. Letaknya berhadapan dengan Kasunyatan yang dimaksud, karena dibelah jalan raya Kasemen. Kasunyatan kini adalah perkampungan yang masih dekat dengan Keraton Kaibon, di sebelah utaranya, sedangkan Kenari sebelah selatannya.

 


Yang masih bisa kita lihat adalah peninggalan masjid tua di Kasunyatan dengan kolam wudlunya yang tak pernah kering air, meski sekalipun kemarau panjang. Depan masjid ada menara bergaya Tiongkok yang menurut catatan sejarah dibangun oleh Cek Ban Ko, bangunan menara itu masih kokoh tapi sudah tidak berfungsi layaknya menara umumnya.

 


Sebelum masuk gapura masjid terdapat makam-makam keluarga Sultan Banten, ulama,  dan guru-gurunya Sultan Banten. Tampak di samping makam Syekh Abdul Syukur Anom terdapat makam Ratu Asiyah ibu dari Sultan Syafiudin. Paling ujungnya terdapat makam Syekh Abdul Syukur Sepuh, Kiai Dukuh, Syekh al-Madad (pencipta debus).



Menurut Yadi Ahyadi, ahli filologi, Syekh Abdul Syukur Sepuh ini hidup di abad ke-16 Masehi, masih di era Maulana Yusuf, Maulana Muhammad dan awal masa kepemimpinan Sultan Abul Mafakhir Abdul Qodir Kenari. Perannya adalah mendidik keluarga Sultan Banten dan penduduk sekitarnya, di saat yang bersamaan peran Syaikh Abdul Syukur tersebut, Sultan Abul Mafakhir mengundang ulama-ulama dari berbagai negara, terutama dari Madinah, Makkah, Turki dan Persia untuk tinggal dan mendidik berbagai ilmu agama Islam di Kasunyatan.

 


Abad ke-17 Masehi, Kasunyatan menjadi pusat pendidikan Islam yang terbesar di wilayah Kesultanan Banten. Luasnya sekitar 6 hektare, pusat aktivitas keagamaannya adalah masjid Kasunyatan yang dibangun sejak Kasunyatan jadi pusat pendidikan, terutama pendidikan anak-anak keluarga Sultan. Dan yang paling menonjol ketaatan Maulana Muhammad bin Maulana Yusuf terhadap gurunya, yakni Kiai Dukuh, diduga nama lain dari Pangeran Arya Kasunyatan, wong alim dan disegani.

 


Di lokasi Kasunyatan dengan luas 6 hektare itu ada pembagian kelompok kajian, ada di Kasunyatan yang mengkaji tentang filsafat, dan tasawuf, ada pula perpaduan kajian tasawuf falsafi, berikut dengan tarekat yang tengah berkembang saat itu seperti tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah, dan yang sedang populer tarekat Syattariyah. Bersebelahan Kasunyatan terdapat Kefaqihan, ini lembaga kajian fiqih, Ushul fiqih, hadits, ilmu hadits, tafsir, sastra arab, dan sejarah Islam.



Dari dua lembaga kajian itu lalu timbul istilah Kiai Dukuh dan Faqih Najmudin. Ini bukan nama orang, tapi nama lembaga, semacam fakultas kalau sekarang. Jadi Kasunyatan abad ke-17 masehi itu semacam kampus Universitas Islam Negeri (UIN) sekarang. Mungkin yang ditugasi sebagai Kiai Dukuh itu adalah Pangeran Arya Kasunyatan, lalu diteruskan Syekh Abdul Syukur Sepuh, diteruskan Syaikh al-Madad, hingga terakhir Syekh Abdul Syukur Anom yang punya peran di saat akhir Kesultanan Banten (the last of sultanate of Bantam).

 


Sedangkan yang ditugasi sebagai Faqih Najmudin itu adalah Entol Kawista, seorang ahli fiqih, ahli ushul fiqh dan sangat menguasai soal peradilan hukum agama. Kemudian diteruskan oleh Pangeran Jayasantika yang juga sangat alim dalam soal syariat Islam.

 


Lalu, apakah Kasunyatan menjadi pusat pendidikan Islam di era Kesultanan Banten itu ada bangunan pesantrennya. Menurut catatan arsip Belanda (data filologis) tidak ada. Yang ada itu bangunan majelis ilmu, dan rumah-rumah penduduk yang dibuat besar dan lebar. Rumah tersebut ditempati santri-santri atau pelajar dari berbagai daerah Nusantara, bahkan kata Yadi Ahyadi, sejarawan Banten, bahwa Kasunyatan bisa dibilang sebagai kampus sebuah perguruan tinggi.



Santri yang mukim di Kasunyatan itu dari berbagai negara, terutama dari wilayah Nusantara. Santri yang masyhur di kemudian hari adalah Syekh Yusuf Al-Makasari, ulama besar, mursyid Tarekat Syattariyah sekaligus menantu Sultan Abul Fath Abdul Fatah atau yang masyhur dikenal Sultan Ageng Tirtayasa.

 


Banten, dengan Kasunyatan sebagai pusat intelektual begitu masyhurnya, sehingga Pangeran Wangsadireja ditugasi untuk ngaji di beberapa ulama besar di jazirah Arab hingga selesai. Dan, mengundang mereka untuk datang ke Banten, mengabdi sultan sekaligus mengajar.

 


Kasunyatan adalah saksi sejarah yang cemerlang di era Kesultanan Banten sejak abad ke-16 sampai dengan abad ke-19 masehi. Ketika lembaga pendidikan Islamnya begitu harumnya hingga mancanegara. Adapun ulama-ulama yang jadi tenaga pengajarnya kebanyakan Timur Tengah. Dalam catatan Belanda, Kasunyatan adalah negeri di Kesultanan Banten yang paling disebut-sebut sebagai pusat intelektual dan spiritualitasnya.

 


Rentang abad ke-17 hingga abad ke-19 masehi, telah tercatat dalam sejarah sebagai ruang waktu tumbuh pesatnya ilmu agama, tumbuh pesatnya kesadaran intelektual, tumbuh pesatnya tarekat. Banten di era itu adalah pusat intelektual dunia Islam, masyhur di kalangan masyarakat Asia Tenggara.

Sumber: Wawancara Yadi Ahyadi, sejarawan, ahli filologi, Buku Babad Banten, Buku Sejarah Banten Besar

 


Penulis: Hamdan Suhaemi, Ketua Pimpinan Wilayah Majelis Dzikir dan Shalaawat Banten


Banten Raya Terbaru