Penistaan agama merupakan tindakan penghinaan, penghujatan, atau ketidaksopanan terhadap tokoh-tokoh suci, artefak agama, adat istiadat, dan keyakinan suatu agama yang hanya didasarkan pada pendapat pribadi atau diluar kompetensinya (malpraktek).
Menurut aliansi Lembaga Riset Pew Research Center pada 2014 lalu, sekitar 26 persen atau seperempat negara-negara di dunia (50 negara) miliki hukum atau kebijakan anti – penistaan agama. Sementara itu 1 sari 10 negara di dunia (13 persen) memiliki hukuman yang melarang kemurtadan/penyesatan. Atas kebinjakan hukum anti – penistaan agama itu, Dewan HAM PBB menganggap itu sebagai pelanggaran terhadap hak sipil dan kebebasan berekspresi dan berpendapat. (Sumber: cnnindonesia.com)
Biasanya, jika sudah masuk pada delik hukum penistaan agama, sangat sulit untuk lolos dari dakwaan penistaan agama. Sedikit sekali para tersangka kasus penistaan agama bisa bebas dari dakwaan. Di Indonesia sendiri sepanjang tahun 1965 sampai 2017 terdapat 97 kasus penistaan agama. Data ini didapat dari hasil riset Setara Institute mengenai kasus penistaan agama. Kasus dugaan penistaan agama ini makin banyak terutama sejak rezim orde baru tumbang. (Sumber: setara-institute.org)
Hilli Hasan peneliti Setara Institute sekaligus dosen di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) menyampaikan berdasarkan riset Setara Institute kasus dugaan penistaan agama ini sebelum reformasi hanya ada 9 perkara penistaan agama, namun sehabis reformasi jumlah kasusnya membengkak menjadi 88 kasus. Dalam kasus-kasus penodaan agama, Islam menjadi agama yang paling banyak dinodai, yakni 88 kasus, sedangkan agama Kristen 4 kasus, Katolik 3 kasus, dan Hindu 2 kasus.
Kasus-kasus penistaan agama di Indonesia yang disorot media diantaranya adalah Cerpen “Langit Makin Mendung” Karya Ki Panji Kusmin (1968), Kasus Survei Tabloid Monitor (1990), Sekte Pondok Nabi (2003), Kasus Lia Eden atau Lia Aminudin yang mengaku Roh Qudus atau Jibril, Gerakan Fajar Nusantara atau GAFATAR (2008), Tajul Muluk alias Haji Ali Murthado (2021), dan Kasus Basuki Tjahja Purnama alias Ahok (2016).
Kasus yang ter-riuh mungkin ketika menimpa Ahok alias Basuki Tjahja Purnama yang kala itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Dalam sebuah lawatan dinasnya ke suatu daerah di Kepulauan Setibu pada tahun 2016. Dia menyampaikan 'suatu kalimat' yang dianggap sebagai penistaan agama oleh sebagian umat Islam di Indonesia. (Sumber: setara-institute.org)
Gejolak kemarahan umat Islam tersebut mencapai puncaknya pada peristiwa yang kemudian dikenal dengan nama Aksi 212 yang bertepatan pada tanggal 2 Desember 2017 di tugu Monumen Nasional atau Monas, Jakarta. Karena gelombang aksi yang begitu besar tersebut sampai presiden turut meredam.
Hasil aksi tersebut akhirnya berujung pada vonis Pengadilan Negeri Jakarta Utara terhadap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama alias Ahok. Majelis Hakim menyatakan bahwa terdakwa kasus penodaan agama Islam itu terbukti bersalah melanggar pasal 156a KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Majelis Hakim menetapkan vonis dua tahun penjara bagi Ahok dan harus segera ditahan.
Tidak berhenti dari kasus tersebut ternyata baru-baru ini, mencuat juga kasus penistaan agama yang dilakukan oleh seorang youtuber yang bernama Muhammad Kece, yang dimana dalam konten-konten youtube-nya memang terdapat banyak sekali konten yang bermuatan penistaan agama dalam hal ini agama Islam. Ternyata setelah itu pula penangkapan dilakukan juga kepada Ustad Yahya Waloni yang diduga juga bermuatan menistakan agama dalam ceramahnya.
Penistaan Agama. Mengapa Terjadi Lagi?
Kita tidak akan lebih jauh membahas bagaimana penistaan agama yang dilakukan kedua pendakwah agama tersebut. Kita mungkin akan menyederhanakan pembahasan kita mengenai mengapa penistaan agama di Indonesia selalu terulang kembali.
Kita tahu bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi. Kebebasan berpendapat atau berbicara dijamin dan dilindungi oleh negara melalui undang-undang Pasal 22 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, termasuk juga kebebasan memeluk agama dan keyakinan. Sebagaimana yang tertuang dalam pasal 28E ayat (1) UUD 1995 ditegaskan bahwa "Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan dan memiliki kewarganegaraan, memiliki tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali". Pasal tersebut kemudian dipertegas oleh pasal 29 ayat (2) yakni "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama".
Dari kedua pasal tersebut jelas ditegaskan bahwa kebebasan beragama atau berkeyakinan dibolehkan bahkan dilindungi oleh negara. Segala bentuk pelanggaran terhadap UUD tersebut pastinya akan dikenai sanksi dan hukuman sebagaimana mestinya. Namun persoalan penistaan atau penodaan agama di Indonesia ternyata masih saja terulang dan terjadi.
Persoalan kasus penistaan atau penodaan agama tersebut jika dilihat dari pada sudut pandang wawasan kebangsaan menandakan bahwa pelaku penistaan agama minim atau kurang wawasan kebangsaannya terutama mengenai Penghayatan dan Pengamalan UUD pasal 28E ayat (1) dan pasal 29 ayat (2)
Pancasila sebagai dasar atau ideologi negara juga telah jelas mengisyaratkan tentang pentingnya kerukunan antar umat beragama yang tertuang pada Sila ke-3 yang berbunyi "Persatuan Indonesia" yang seharusnya bisa dipahami secara luas sebagai pedoman hidup rukun antar umat beragama dalam bingkai kehidupan berbangsa dan bernegara.
Istilah mayoritas dan minoritas juga terkadang bisa menjadi faktor penyebab terjadinya penistaan atau penodaan agama. Agama yang dipeluk mayoritas suatu negara biasanya merasa 'superior' sehingga kadang berlaku sewenang-wenang terhadap agama minoritas. Banyak contoh kasus terjadi di negara-negara di Asia Tenggara ataupun di negara-negara di Eropa. Termasuk juga di negara kita belakangan ini, walaupun jika ditelusuri pada akhirnya motif-motif dibelakangnya bermuara pada kepentingan politik praktis.
Kemudian Jika dilihat dari sudut pandang wawasan keagamaan, maka jelas penistaan atau penodaan agama ini biasanya selalu dilakukan oleh orang-orang yang pemahaman keagamaannya terbatas pada 'teks' dan kadang buta terhadap 'konteks'. Pemahaman moderasi beragama masih belum diimplementasikan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Biasanya penista atau penodaan agama ini muncul dari cara keberagamaan ekstrem atau ekstrim radikal.
Selain itu 'klaim kebenaran' atau Truth Claim bahwa agama yang dianut adalah yang benar dan yang lain adalah agama yang salah yang kemudian melebar pada konteks hubungan berbangsa dan bernegara juga bisa menyebabkan terjadinya penistaan atau penodaan agama. Hal tersebut tentu sangat berbahaya terutama dalam konteks sosial dan kemanusiaan yang bisa menyebabkan perpecahan bahkan lebih parah daripada itu sampai pertumpahan darah antar saudara sebangsa dan senegara.
Penanggulangan atas Kasus Penistaan Agama
Lalu Bagaimana solusi terhadap persoalan-persoalan ini? Dalam hal ini kasus penistaan penistaan agama yang selalu saja berulang.
Penguatan 'moderasi beragama' adalah cara paling tepat dan konkrit untuk menanggulangi kasus penistaan agama ini. Dalam hal ini kami mungkin akan memaparkan pandangan-pandangan tokoh nasional mengenai penguatan moderasi beragama ini diantaranya yaitu pandangan daripada KH. Muhammad Cholil Nafis. Profesor Haedar Nashir, Romo Frans Magnis Suseno, dan dari KH. Abdurrahman Wahid atau sering kita sebut Gus Dur.
KH. Muhammad Cholil Nafis, sebagaimana yang dikutip dari channel Youtube Islamina Channel menyampaikan bahwa moderasi beragama terwujud yakni dengan cara tidak memaki, merendahkan, dan menistakan kepada agama lain. Dalam kapasitasnya sebagai Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat, dia pun menyampaikan bahwa MUI juga melakukan program mengenai standarisasi ustadz- ustadz atau penceramah-penceramah agama yang berfokus kepada peningkatan dan penyadaran terhadap ustadz dan penceramah agama tersebut.
Peningkatan kualitas ustad atau penceramah agama tersebut yakni dalam aspek pengetahuan seperti wawasan Islam wasathiyah, hubungan agama dengan kebangsaan, dan terakhir metode dakwahnya (agar tidak menyerang sana-sini ketika berdakwah).
Selanjutnya yaitu 'penyadaran' terhadap kapasitas dan kapabilitas seorang pendakwah atau penceramah agama. Hal ini perlu dilakukan agar para penceramah atau pendakwah agama sadar diri akan kapasitas yang dimilikinya sehingga menyampaikan ceramah sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya.
Profesor Haedar Nashir dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dengan tema Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan dalam Perspektif Sosiologi menyampaikan bahwa: khusus bagi umat Islam Indonesia sangat penting untuk terus mengembangkan moderasi Islam. Konsep itu berarti membumikan Islam sebagai ajaran yang moderat untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. Haidar juga tidak menampik bahwa masih banyak orang Islam yang yang melakukan cara keberagamaan yang ekstrim atau ekstrem radikal. Oleh karenanya pemahaman akan konsep moderasi beragama ini sangat penting menurutnya.
Selantutnya, Romo Franz Magnis Suseno sebagaimana dikutip di kompas.com dalam Colloquium Tokoh Agama bertajuk "Kerukunan dan Moderasi Beragama dalam Konteks Kemajemukan Indonesia" yang diselenggarakan Kementerian Agama, Rabu (25/11/2020) menyampaikan bahwa menurutnya Indonesia agar memperhatikan 3 hal jika benar-benar ingin memajukan moderasi beragama dalam konteks kemajemukan, yaitu terkait masyarakat, tokoh agama, dan negara.
Pertama, masyarakat harus belajar mengenal bahwa setiap agama memiliki perbedaan, masyarakat harus memiliki kemampuan untuk meyakini agamanya sendiri tanpa meremehkan atau dengan menghormati keyakinan agama lain.
Kedua, yakni agar para tokoh agama di Indonesia belajar berhenti berbicara buruk tentang agama lain. Para tokoh agama juga agar dapat semakin meyakini kebenaran agamanya sendiri dengan tidak merendahkan agama lain. Lebih lanjut, menurut Romo Magnis para tokoh agama diharapkan berhenti membuat sekat-sekat antara umatnya dengan umat lain.
Ketiga, negara juga memiliki peranan penting dalam memajukan kemajemukan Indonesia. Negara menjamin ruang dan kondisi dasar agar umat beragama bisa hidup berdampingan tanpa saling menggangu dalam suasana sejahtera, damai, dan adil.
Terakhir, yang akan kami kemukakan yakni tentang pandangan pandangan Gus Dur tentang moderasi beragama berupa kata-kata kutipan sebagai berikut:
"Agama mengajarkan pesan-pesan damai dan ekstrimisme memutarbalikkannya. Kita butuh Islam ramah bukan Islam marah."
"Perbedaan itu fitrah dan dia harus diletakkan dalam prinsip kemanusiaan universal."
"Saling menghormati dan menghargai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hormatilah perbedaan dan kemajemukan yang ada di Indonesia."
"Tidak penting apapun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang-orang tidak akan tanya Apa agamamu."
Berkaca dari peristiwa penistaan atau penodaan agama yang terjadi, kita bisa tarik sebuah kesimpulan bahwa ternyata masih ada penceramah yang dakwahnya menyimpang dari ajaran agama seperti kasus-kasus yang terjadi belakangan ini.
Lalu bagaimana solusinya? Yakni kita butuh lebih banyak sosok-sosok penceramah agama yang menyampaikan dakwah secara moderat dan juga lebih mengedepankan dakwah yang santun tanpa menyinggung hal-hal sensitif ketika berdakwah. Karena walau bagaimanapun pandangan umat agama manapun dipengaruhi oleh cara dakwah para pemimpin atau penceramah agamanya.
Maka, pemimpin agama atau penceramah agama yang menerapkan konsep moderasi beragama-lah yang nantinya mampu meminimalisir bahkan menghilangkan kasus-kasus penistaan atau penodaan agama yang sampai hari ini masih terjadi.
Ditulis oleh: Ahmad Kholiyi S.Hum, Penggerak GUSDURian Banten, Direktur Lingkar studi Islam dan Sosial (LsIS) Banten
(Artikel ini juga disampaikan dalam Talkshow via Zoom "Bincang Hari Ini" SultanTV pada Hari Senin, 30 Agustus 2021, pukul 09.00 - 10.00 wib)
Terpopuler
1
Pemerintah Putuskan Empat Pulau yang Jadi Polemik Masuk Wilayah Aceh
2
Khutbah Jumat: Evaluasi Diri di Ujung Tahun
3
Dari PMKNU PCNU Pandeglang, Kaderisasi Itu Tulang Punggung Organisasi
4
Rob Tak Kunjung Beres, Ini Kata Menteri PU di Depan Warga NU Demak
5
Rusia Terbuka untuk Kerja Sama Nuklir dengan Indonesia
6
Pernyataan Menbud yang Sangkal Perkosaan Masal 1998 Dinilai Mencoba Menghilangkan Narasi Sejarah
Terkini
Lihat Semua