• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Rabu, 24 April 2024

Opini

Perintah Allah dalam Al-Qur’an, Menegakkan Wasathiyah

Perintah Allah dalam Al-Qur’an, Menegakkan Wasathiyah
Ilustrasi (Foto: NU Online)
Ilustrasi (Foto: NU Online)

Al-Quran sebagai pedoman umat Islam secara jelas menyebutkan bagaimana posisi umat Islam di tengah umat-umat terdahulu, secara gamblang disebutkan bahwa posisi umat Islam yaitu sebagai ummatan wasathan—umat yang moderat. Penyebutan ini di dalam al-Qur’an menegaskan bagaimana seharusnya umat Islam bersikap dan merespon kondisi sosial. Penyebutan ini juga sekaligus bermakna perintah untuk menjadi umat pertengahan.

Al-Qur’an menarasikan mengenai umat Islam sebagai umat yang wasathiyah dalam Q.S al-Baqarah [2]: 143): “Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ummatan wasathan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu….”.

Dalam tradisi kenabian, Nabi Muhammad Saw. Pernah mendefinisikan dan mencirikan risalah yang denganya ia diutus. Jabir meriwayatkan Nabi bersabda: “aku diutus dengan membawa agama yang lurus lagi toleran, atau (dalam redaksi lain) mudah; siapa pun yang menyalahi tradisiku , dia bukanlah dariku.”

Sementara dalam kesempatan lain, Ibnu mas’ud dan Jabir ibn Abdullah menyampaikan, suatu ketika Rasullah Saw.  membuat garis dengan tangan beliau sendiri. “Inilah jalan Allah yang lurus,” komentar Nabi setelahnya, kemudian beliau membuat garis lagi di tepi kanan dan kirinya. “inilah jalan-jalan (yang lain). Tidak satu jalan pun darinya, kecuali terdapat setan yang menyeru kepadanya,” komentar nabi menyusul. Kemudian beliau membaca ayat, “dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya” (QS al- An’am [6]: 153).

Garis yang dipilih oleh Nabi Saw. bukanlah yang kanan maupun kiri, namun yang diapit keduanya: garis tengah. Secara simbolik, Riwayat ini mempertegas narasi di atas bahwa watak dasar Islam yang sejati adalah moderasi, tengah-tengah.

Bukan hanya dalam persoalan-persoalan duniawi, bahkan dalam aktivitas ibadah yang amat sakral sekalipun, nabi melarang umatnya melakukan hal-hal yang ekstreme, berlebihan, kaku, dan tidak sesuai dengan kondisi. Lagi-lagi kita mendapati moderasi sebagai watak dasar Islam.

Ada sebuah kisah yang cukup popular mengenai tiga pemuda yang ingin beribadah secara total, beribadah selamanya, berpuasa seumur hidup, dan tidak menikah. Tetapi ternyata apa yang dilakukan oleh ketiga pemuda tersebut dilarang oleh Nabi Saw.

Nabi Saw. melarang laku ketiga pemuda tersebut karena berkenaan dengan watak moderat dalam Islam. Terlebih dalam islam tidak dikenal konsep rahbaniyyah (kerahiban). Berpagi-pagi saya harus tegaskan, bahwa ajaran Islam identik dengan kemudahan.

Kemudahan yang di maksudnya di sini adalah, dalam Islam, beragama bukanlah pilihan mengambil jalan hidup yang sulit, yang memasung, dan anti kemajuan. “sesungguhnya agama (Islam) ini mudah. Maka siapa pun yang membuatnya sulit, ia akan terkalahkan. Maka bersahajalah, jangan berlebihan, dan berbahagialah!” begitu kira-kira sabda Nabi Saw. melalui periwayatan Abu Hurairah mengenai kemudahan, wasathiyah dan bagaimana menjadi muslim sejati.

Dengan demikian, gambaran umat Islam adalah mereka yang memegang teguh prinsip moderasi dalam setiap lini hidupnya, bahkan dalam aktivitas ibadah sekalipun.

Kemudian fenomena lahirnya generasi muslim moderat saat ini sejatinya adalah kelahiran kembali generasi muslim sebagaimana pernah terjadi dalam bentangan sejarah awal umat Islam melalui sabda Nabi Saw. persis sebagaimana dicontohkan dan dipraktikan oleh Nabi Saw. dan generasi-generasi setelahnya.

Sebaliknya, munculnya generasi muslim radikal belakangan ini adalah justru sebuah pengecualian. Bukan saja tak sejalan dengan prinsip-prinsip Islam, namun juga tak sejalan dengan praktik yang diajarkan oleh sang Nabi Saw. dan generasi umat Islam awal.

Sejalan dengan prinsip moderasi ini, Islam identik dengan agama yang berkeadilan, dan moralitas dalam Islam, antara lain didasarkan kepada keadilan, yakni menempatkan segala sesuatu secara proporsional.

Prinsip tersebut tampak sejalan dengan teori Aristoteles tentang moderasi (hadd al- wasath). Tanpa merelatifkan etika itu sendiri, nilai suatu perbuatan diyakini bersifat relatif terhadap konteks dan tujuan perbuatan itu sendiri. Pada prinsipnya setiap perbuatan bersifat netral nilai. Tindakan baik dan buruk dapat dinilai secara berbeda bergantung pada penerapan dan konteksnya.

Mencuri, misalnya bisa bernilai terlarang, tetapi bisa juga bernilai sunnah, bahkan wajib.  Sebagian ulama menyatakan bahwa perbuatan seperti ini bukanlah termasuk tindakan tercela. Bahkan, Ibn Hazm al- Zahiri, dalam bukunya yang berjudul, al-Muhalla, pernah mengatakan bahwa seorang pencuri yang mengambil harta dari seorang kaya dikarenakan haknya tidak diberikan, kemudian tertangkap dan terbunuh ia dipercayai mati syahid. Begitulah sedikit pandangan para cerdik cendekia mengenai relativitas sebuah perbuatan.

Dengan demikian, etika atau laku dalam Islam dapat disimpulkan pada tiga prinsip, diantaranya adalah moderasi, keadilan, dan bersifat rasional. Dan, etika dalam setiap laku seorang muslim yang dirumuskan tidak semata-mata bersifat rasional. Juga tidak semata-mata berdasarkan pada etika yang hedonistik, utilitarianistik, maupun deontologis, tetapi kolaborasi atas tiga prinsip di atas.

Sementara, secara sederhana laku seorang muslim juga sudah ditegaskan dalam al-Qur’an untuk memperhatikan ‘neraca’ yang berperan untuk menimbang baik dan buruk, salah dan benar. Hal ini sejalan dengan firman Allah mengenai neraca sebagai simbol keadilan, “dia meletakan neraca (keadilan).” (QS al- Rahman [55]:7).

Nahdlatul Ulama sebagai salah satu ormas terbesar di Indonesia secara aktif mempromosikan empat nilai utama sebagai karakter khasnya yang membedakan antara jama’ah NU dengan jama’ah ormas lain di Indonesia. Empat prinsip tersebut yaitu tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), I’tidal (tegak) dan tasamuh (toleran). Keempat prinsip ini tidak hanya sebatas wacana, namun juga tercermin dalam setiap tindakan para jama’ahnya.

Meski NU dikenal kental ormas yang mempertahankan akulturasi antara budaya dan Islam, di sisi lain NU juga merespon modernitas. Sehingga tidak heran jika NU turut mempromosikan moderasi (wasathiyah) sebagai prinsip kehidupan, lebih khusus dalam pemahaman keagamaanya.

Lagi-lagi, kita menemukan kesejalanan antara prinsip NU, ajaran dasar Islam tentang moderasi. Hal  ini menegaskan kembali bahwa ekstremisme sesungguhnya bukanlah anak kandung dalam tradisi Islam. Wallahu a’lam bisshawwab.


Farid HamdaniMahasiswa Al-Azhar, Kairo, Mesir. Fakultas Syar’iah islamiyah.


Opini Terbaru