Oleh: Andik Kuswanto
Â
Dalam catatan sejarah, Mohammad Hatta merupakan orang Indonesia pertama yang secara terbuka menyatakan sejarah nasional Indonesia. Hal tersebut terbaca dari pidato pembelaan Hatta pada 1928 di depan pengadilan Den Haag, Belanda.
Â
Dalam pidato yang berjudul "Indonesia Vrij" (Indonesia Merdeka) itu, Mohammad Hatta tidak hanya memprotes Pemerintah Kolonial, namun juga mengecam corak pelajaran sejarah yang diberikan di sekolah pemerintah di Hindia Belanda. Siswa yang bersekolah di sekolah pemerintah hanya dicekoki kisah pahlawan Eropa. Para pelajar di sekolah-sekolah pemerintah saat itu hanya disuruh dan dibujuk "untuk mencintai dan mengagumi" pahlawan-pahlawan kemerdekaan Eropa, seperti Wilhelm Tell, Mazzini, Garibaldi, Willem van Oranye.
Â
Dari pidato Hatta tersebut kita jadi paham bahwa konstruksi sejarah sejak Hindia Belanda memang sudah Neerlando-sentris. Hal itu tampak jelas ketika kita membaca buku F.W Stapel, _Geschiedenis van Nederlandsch Indies_ (Sejarah Hindia Belanda) yang terbit 1939.
Â
Buku ini oleh para sejarawan disebut sebagai titik puncak historiografi kolonial. Buku ini terdiri dari lima jilid: dua jilid pertama mengenai kerajaan lama di Jawa yang bercorak Hindu dan Islam dan tiga jilid berikutnya tentang peran Belanda.
Â
Buku tersebut kemudian dikritik oleh J.C van Leur karena sejarah Indonesia hanya dipandang sebagai perpanjangan tangan dari orang-orang VOC, seputar pejabat, gubernur jenderal dan orang-orang besar lain. Dalam hal ini orang Indonesia tidak muncul sama sekali, atau sebagai people _without history_ jika meminjam istilah Henk Schulte Nordholt.
Â
Rekonstruksi sejarah otentik dengan visi nasional mulai mengemuka pada Seminar Sejarah Nasional di kampus UGM Yogyakarta, pada 14-18 Desember 1957. Pesertanya beragam, mulai dari akademisi, pendidik, ahli arkeologi bahkan hingga politisi dari berbagai partai politik kala itu. Hasil utama seminar sejarah tersebut adalah ciri Neerlando-sentris dalam penulisan sejarah harus digantikan dengan visi Indonesia-sentris.
Â
Setelah Soekarno tergusur, Maret 1968, Soeharto memegang tampuk. 'Revolusi' digantikan 'pembangunan nasional' ala Orde Baru. Agustus 1970, Seminar Sejarah Nasional II dihelat. Ada dua hasil penting yaitu pembentukan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) dan penyusunan buku _Sejarah Nasional Indonesia_ 6 jilid.
Â
Dalam pandangan saya, Orde Baru hanya ingin menguasai rekonstruksi dan corak interpretasi kesejarahan tentang beberapa peristiwa sejarah terutama masalah G30S.
Â
Setelah kejatuhan Soeharto 1998, masalah penulisan sejarah terutama tema G30S kembali diperbincangkan. Bukan hanya di tataran akademisi, penambahan materi tentang masalah G30S juga masuk dalam kurikulum sekolah, seperti pada kurikulum 2004 yang menyebut peristiwa itu sebagai G30S saja. Namun, pada kurikulum 2006, ditetapkan kembali istilah G30S/PKI.
Â
Kejaksaan Agung mulai mempertanyakan terbitnya buku yang tidak menggunakan istilah G30S/PKI. Bahkan Menteri Pendidikan Nasional meminta para penerbit menarik buku-buku mereka yang menggunakan istilah lain selain G30S/PKI.
Â
Menurut hemat saya, model pelurusan sejarah tentang masalah G30S perlu dikaji ulang. Sebab, ketika pelurusan sejarah itu diluncurkan maka batas antara profesionalisme, ambisi politik, kesombongan dan kenaifan menjadi kabur. Yang ada justru masing-masing pihak merasa yang paling benar.
Â
*Penulis adalah alumni UIN Syahid JakartaÂ
Terpopuler
1
Perang Iran-Israel, PBNU Desak Genjatan Senjata Segera
2
AKN NU Membangun Kader dengan Jiwa Petarung
3
Jadi Kader IPNU-IPPNU Butuh Semangat dan Istiqamah
4
Sopian Terpilih sebagai Ketua PAC Ansor Banjarsari, Baehaqi Jadi Nakhoda Malingping
5
AKN NU sebagai Ikhtiar Lahirkan Pemimpin NU Masa Depan
6
Kader Fatayat Diharap Konsisten Semangat
Terkini
Lihat Semua