• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Jumat, 26 April 2024

Tauhid

Tafsir Surat an-Nisa’ Ayat 9

Tafsir Surat an-Nisa’ Ayat 9
Tidak ada keraguan sedikitpun, Surat An-Nisa ayat 9 ini secara jelas menetapkan kehati-hatian dalam urusan anak keturunan yang lemah.
Tidak ada keraguan sedikitpun, Surat An-Nisa ayat 9 ini secara jelas menetapkan kehati-hatian dalam urusan anak keturunan yang lemah.

Berikut ini adalah kutipan ayat, trasliterasi, dan sejumlah tafsir atas Surat An-Nisa ayat 9:

 

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ، فَلْيَتَّقُوا اللهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

 

Wal yakhsyalladzīna lau tarakū min khalfihim dzurriyyatan dhi’āfan khāfū ‘alaihim, fal yattaqulāha wa qūlū qaulan sadīdan.

 

Artinya, “Hendaklah takut orang-orang yang andaikan meninggalkan keturunan yang lemah di belakang (kematian) mereka maka mereka mengkhawatirkannya; maka hendaklah mereka juga takut kepada Allah (dalam urusan anak yatim orang lain), dan hendaklah mereka berkata dengan perkataan yang benar (kepada orang lain yang sedang akan meninggal).”

 

Ragam Tafsir

Tidak ada keraguan sedikitpun, Surat An-Nisa ayat 9 ini secara jelas menetapkan kehati-hatian dalam urusan anak keturunan yang lemah. Telah maklum pula, bahwa frasa لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ “andaikan meninggalkan keturunan yang lemah di belakang kematian mereka, maka mereka mengkhawatirkannya”, merupakan sifat orang-orang yang diungkapkan Al-Quran dengan diksi الَّذِينَ.

 

Dengan demikian makna substansialnya, hendaklah orang-orang yang mempunyai sifat takut atau khawatir atas nasib anak keturunanya bila ditinggal mati dalam kondisi lemah secara finansial, juga takut kepada Allah.

 

Namun demikian, berkaitan apa yang ditakutkan atau konteksnya, tidak dijelaskan secara terang dalam ayat (ghairu manshush). Karenanya ulama mufassirin berbeda pendapat.Dalam hal ini ada lima pendapat yang dikenal dalam kitab-kitab tafsir mainstrem di lingkungan Ahlussunnah wal Jamaah.

 

Pendapat pertama,Ibnu Abbas RA, Qatadah, Said bin Jubair, As-Sudi, Ad-Dhahak dan Mujahidmenyatakan bahwa ayat ditujukkan kepada orang-orang yang mendatangi orang sakit jelang kematiannya, agar mereka tidak membujuknya untuk mewasiatkan seluruh hartanyakepada orang lain sehingga tidak menyisakan sedikitpun bagi ahli waris.

 

Umpamanya ia berkata: “Anakmu tidak membutuhkanmu sama sekali, maka wasiatkan hartamu untuk Si Fulan ini dan Si Fulan itu.” Karenanya secara substansial ayat menyatakan kepada mereka: “Sebagaimana kalian tidak senang anak-anak kalian ditinggal mati dalam kondisi lemah, lapar dan tanpa harta, maka kalian takutlah kepada Allah dan jangan membujuk orang sakit agar menghalang-halangi anak-anaknya yang lemah dari mendapatkan harta waris mereka.”

 

Sederhananya, sebagaimana kita tidak rela hal itumenimpadiri kita, maka hendaknya kita juga tidak melakukannya kepada orang lain, selaras dengan sabda Nabi SAW:

 

لَا يُؤمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لنَفْسِهِ. مُتَّفَقٌ عَلَيهِ

 

Artinya, “Salah seorang dari kalian tidak beriman secara sempurna sehingga menyukai untuk saudaranya sebagaimana apa yang  ia sukai untuk dirinya.” (Muttafaq ‘Alaih). 

 

Pendapat kedua, Miqsam bin Bujrah dan Hadhrami Al-Yamami berpendapat, ayat ini ditujukan untuk orang-orang yang menunggui orang sakit jelang kematiannya agar tidak melarang mayit untuk mewasiatkan hartanya kepada orang lain.

 

Semisal ia berkata: “Tahanlah hartamu untuk ahli warismu. Tidak ada orang yang lebih berhak terhadap hartamu daripada anak-anakmu”, dengan maksud mencegahnya dari mewasiatkan harta kepada orang lain. Hal ini tentu merugikan kerabat orang tersebut dan setiap orang yang semestinya mendapatkan wasiat harta darinya.

 

Nah, kemudian secara subtsansial ayat menegurnya: “Sebagaimana kalian mengkhawatirkan nasib anak turun kalian dan kalian bahagia bila mereka mendapat pelakuan baik dari orang lain, demikian pula kalian hendaknya mengeluarkan ucapan yang benar untuk orang-orang miskin dan anak-anak yatim, dan takutlah kalian kepada Allah jangan sampai merugikan mereka.”

 

Dari sini diketahui bahwa pendapat kedua berkesebalikan dengan pendapat pertama. Imam Ar-Razi menyatakan, bila dibandingkan maka yang lebih tepat adalah pendapat pertama. Sebab, frasa لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ “andaikan meninggalkan keturunan yang lemah di belakang kematian mereka, maka mereka mengkhawatirkannya” lebih selaras dengan pendapat pertama.

 

Pendapat ketiga, ayat ini ditujukan kepada orang sakit jelang kematiannya dalam rangka melarangnya darimewasiatkanharta secara berlebihan, sehingga selepas kematiannya tidak menyebabkan ahli waris menjadi orang-orang yang lemah secara finansial. Kemudian bila ayat ini turun sebelum pembatasan wasiat sejumlah sepertiga harta, maka lebih jauh maksud ayat adalah agar orang tersebut tidak mewasiatkan seluruh hartanya hingga habis.

 

Sementara bila Surat An-Nisa ayat 9 ini turun setelah pembatasan wasiat, maka maksud ayat adalah ia tetap boleh berwasiat dengan batas maksimal sepertiga harta, dan bila mengkhawatirkan nasib anak keturunannya maka hendaknya ia mengurangi wasiatnya.

 

Riwayat dari para sahabatpun menunjukkan bahwa mereka hanya mewasiatkan sedikit hartanya karena pertimbangan tersebut. Mereka berkata: “Seperlima lebih utama daripada seperempat, dan seperempat lebih utama daripada sepertiga.” Hal ini selaras dengan petunjuk Nabi SAW saat menjenguk Sa’d bin Abi Waqqash RA di Makkah dan bersabda:

 

فَالثُّلُثُ. وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ. إِنَّكَ أَنْ تَدَعَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَدَعَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ فِي أَيْدِيهِمْ. (رواه البخاري

 

Artinya, “Maka sepertiga. Sepertiga itu sudah banyak. Sungguh Kamu tinggalkan ahli warismu dalam kondisi kuat secara finansial itu lebih baik daripada Kamu tinggalkan mereka dalam kondisi fakir meminta-minta orang lain dengan tangan mereka.” (HR. Al-Bukhari).

 

Pendapat keempat, Ibnu Abbas RA dalam versi lain, menyatakan ayat ditujukan kepada para wali yatim dalam rangka memerintahkan mereka agar memperlakukan anak yatim dan hartanya secara baik. Seolah ayat ini mengatakan kepada mereka: “Hendaklah orang yang takut atas nasib anaknya selepas kematiannya juga takut menyia-nyiakan harta anak yatim orang lain yang lemah bila anak yatim tersebut dalam perawatannya”, atau “Perlakukanlah anak-anak yatim dengan perlakuan yang kalian suka untuk anak-anak kalian selepas kematian kalian”.

 

Dalam pendapat ini secara substansial maksud ayat adalah, Allah telah mengutus wali untuk menjaga harta dan diri anak yatim, dan kehati-hatian dalam menjaganya sama posisinyadengan kehati-hatian orang lain terhadap anak keturunan wali yang juga disukainya, andaikan ia meninggal mati mereka dan juga meninggalkan harta benda untuk mereka. 

 

Pendapat kelima, merupakan penafsiran yang lebih luas dari Abu Bisyr Abdullah bin Fairus ad-Dailami, yang menyatakan bahwa ayat ini ditujukan kepada seluruh manusia agar takut kepada Allah dalam hal yang berkaitan dengan anak yatim dan anak orang lain meskipun tidak dalam perawatannya. Bila berkata, maka berkata yang benar dan adil kepada mereka, sebagaimana setiap orang menghendaki anaknya diperlakukan seperti itu selepas kematiannya. 

 

Yahya bin Abu Umar As-Saibani meriwayatkan, suatu kali ia berada di Kostantinopel dalam satuan pasukan Maslamah bin Abdul Malik.Di suatu hari mereka berkumpul bersama sejumlah ulama, di antaranya Abdullah bin Fairus ad-Dailami, membahas kedahsyatan akhir zaman.

 

As-Saibani berkata kepada ad-Dailami: “Wahai Abu Bisyr, demi kebahagiaanku Aku tidak ingin punya anak.” Ad-Dailami pun menjawab: “Apa yang memberatkanmu? Tidak ada anak yang telah Allah pastikan keluar dari seseorang kecuali ia pasti akan keluar, suka atau tidak suka. Namun bila Kamu ingin aman atas mereka maka takutlah kepada Allah dalam hal yang berkaitan dengan orang lain.” Dalam riwayat lain Ad-Dailami berkata: “Tidakkah Aku tunjukkan kepadamu suatu hal yang bila kamu menemukannya maka Allah akan menyelamatkanmu darinya, dan jika Kamu meninggalkan seorang anak selepas kematianmu maka Allah akan menjaga mereka bagimu?”Kemudian Ad-Dailami membaca ayat ini sampai selesai.

 

Menurut Imam Al-Qurthubi, kisah As-Saibani ini selaras dengan substansi hadits Nabi Muhammad Saw:

 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ أَحْسَنَ الصَّدَقَةَ جَازَ عَلَى الصِّرَاطِ وَمَنْ قَضَى حَاجَةَ أَرْمِلةَ أَخْلَفَ اللهُ فِي تِرْكَتِهِ. (رواه أبو نعيم الأصفهاني)

 

Artinya, “Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda: ‘Siapa saja yang bersedekah secara baik maka ia akan dapat melewati shiratal mustaqim dan siapa saja memenuhi kebutuhan seorang janda maka Allah akan menggantinya dalam harta peninggalannya.” (HR. Abu Nu’aim Al-Ashfihani). (Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah Al-Ashfihani, Hilyatul Auliya wa Tabaqatul Ashfiya’, [Beirut, Darul Kutub ‘Ilmiyyah: 1409 H/1988 M], cetakan pertama, juz III, halaman 220).

 

Dari beberapa pendapat tafsir An-Nisa’ ayat 9, Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani (337-403 H/950-1013 M), menyatakan pendapat keempat sebagai pendapat paling ideal karena lebih sesuai dengan ayat sebelum dan sesudahnya yang membahas hal ihwal anak yatim. Sementara Imam At-Thabari menyatakan pendapat ketiga yang paling utama, karena sesuai dengan konteks ayat sebelumnya yang membahas pembagian harta melalui jalur wasiat. Wallahu a’lam.

 

Lihat (Fakhruddin Muhammad bin Umar Ar-Razi, Mafatihul Ghaib, [Bairut: Darul Kutub ‘Ilmiyyah, 1421 H/2000 M], juz IX, halaman 161-162); (Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, Al-Jami’ li Akhamil Qur’an,[Riyad: Dar ‘Alamil Kutub, 1423 H/2003 M], tahqiq: Hisyam Samir al-Bukhari, juz V, halaman 51-52); danAbu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, [Kairo: Darul Hijrah, 1422 H/2001 M], tahqiq: Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, cetakan pertama, juz VI, halaman 431-446-453).

 

Penulis : Ustadz Ahmad Muntaha AM–Founder AswajaMuda


Tauhid Terbaru