• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Sabtu, 20 April 2024

Ubudiyyah

Saat Muhammad bin Wasi’ ditegur Malaikat karena Hati Panggang

Saat Muhammad bin Wasi’ ditegur Malaikat karena Hati Panggang
Ilustrasi (Foto: NU Online)
Ilustrasi (Foto: NU Online)

Dari Umar bin Khaththab RA, Rasulullah SAW bersabda, "Segala amal perbuatan bergantung pada niat dan setiap orang akan memperoleh pahala sesuai dengan niatnya. Maka barangsiapa yang berhijrah dengan niat mencari keuntungan duniawi atau untuk mengawini seorang perempuan, maka (pahala) hijrahnya sesuai dengan niatnya itu". (HR. Bukhari)

 

Dalam Islam, niat mempunyai kedudukan yang utama, niat dibahas panjang lebar oleh para ulama baik dalam ilmu fikih, ushul fikih, maupun akhlak. Dalam ilmu fikih, niat di tempatkan sebagai rukun pertama dari rangkaian ibadah, seperti dalam shalat, zakat, puasa, maupun ibadah haji. Sedangkan dalam ushul fikih, niat biasanya dijadikan salah satu faktor yang menentukan status hukum suatu perbuatan.

 

Abu Umamah ra. meriwayatkan bahwa ada seorang datang menemui Nabi saw. lalu bertanya, “Tahukah engkau ada seorang yang berperang untuk memperoleh pahala dan sebutan tertentu baginya? Rasulullah saw. menegaskan, dia tidak mendapat apa-apa.” Orang itu mengulang pertanyaanya sampai tiga kali dan Rasulullah saw. menegaskan hal yang sama “dia tidak mendapat apa-apa.” Kemudian Rasulullah saw. bersabda, “sesungguhnya Allah tidak menerima amalan kecuali dilakukan dengan ikhlas dan semata-mata mecari ridlo-Nya.” (HR. An-Nasa’i)

 

Lantas, bagaimana sebenarnya niat yang ikhlas itu? Ikhlas secara bahasa artinya memurnikan, membersihkan dan menghilangkan segala noda, fisik maupun psikis, lahir maupun batin yang dapat mengotori kemurnian hati dalam melakukan sesuatu. Sedangkan Imam Al-Ghazali menganalogikan ikhlas dengan susu yang murni dari segala campuran kotoran dan darah hewan ternak yang menghasilkannya. 
Mengenai niat yang ikhlas, ada sebuah kisah dari kekasih Allah swt. yang bernama Muhammad bin Wasi’. Beliau seorang imam yang sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah. Ia adalaha seorang ahli fikih yang ahli ibadah, asketis (ahli zuhud) dan wara’, dan dia merupakan seorang ulama kota bashrah dan tuan qurra’.

 

Muhammad bin Wasi’ Al-Azdi adalah murid dari seorang sahabat mulia, Anas bin Malik Al-Anshari, pelayan Rasulullah. Karena kepandaian dan kepribadiannya ia dijuluki Zainul Fuqaha (Perhiasan para ahli fikih) dan Abidul Bashrah (Ahli ibadahnya kota Bashrah).

 

Sebagaimana julukannya, ia lahir dan tumbuh di Bashrah, namun menuntut ilmu dan fikih di kota Nabi hingga menjadi seseorang yang mulia dan agung. Malik bin Dinar berkata tentang sahabatnya yang mulia ini,

 

“Qurra’ (pembaca Al-Quran) itu ada tiga macam: Pertama, qari’ yang membacakan Al-Quran untuk Ar-Rahman. Kedua, qari’ yang membacakan Al-Quran untuk dunia. Ketiga, qari’ yang membacakan Al-Quran untuk para raja. Sungguh, Muhammad bin Wasi’ Al-Azdi termasuk qari’ yang membacakan Al-Quran untuk Ar-Rahman.

 

Dalam kitab Qisasul Auliya karya Muhammad Khalid Tsabit dikisahkan, Muhammad bin Wasi’ berkata: aku pernah memendam keinginan menyantap hati panggang selama 40 tahun. Pada suatu hari, aku berkata: “aku akan berangkat perang biar aku mendapat ghanimah kambing. Sehingga aku dapat puas makan hati panggang.”

 

Aku pun ikut berangkat perang bersama pasukan, kami bertempur melawan kaum musrik, akhirnya kami menang dan mendapat ghanimah. Benar saja, jatah ghanimahku ternyata kambing, aku pun meminta temanku memanggang hatinya untukku.

 

Aku lalu mengantuk dan tertidur, dalam mimpi aku melihat para malaikat turun dari langit mencatat amal: Si Fulan berangkat jihad karena ingin disebut pemberani, Si Fulan berangkat jihad karena ingin ghanimah, dan Si Fulan berangkat jihad untuk membanggakan diri.

 

Lalu giliranku diperiksa para malaikat, lalu mereka berkata: ini si pengumbar syahwat miskin! dia berangkat perang karena ingin hati panggang. Aku pun berkata: Demi Allah, janganlah lakukan padaku (janganlah mencatat untukku), karena aku bertobat kepada Allah, lalu aku berkata: Wahai Tuhanku, aku tak akan mengulang, wahai Tuhanku, aku tak akan mengulang, aku bertobat kepadamu dari seluruh syahwat lainya. 
Amal itu ibarat jasad yang tak bernyawa, sedangkan keikhlasan laksana ruh yang menjadikan jasad itu hidup. Keikhlasan setiap orang berbeda-beda, bentuk keikhlasan para muhibbin (pencinta Allah) tergambar dalam niat amal mereka yang ditujukan sebagai wujud pengagungan dan penghormatan mereka terhadap Allah.

 

Dalam beramal, mereka tidak bertujuan mendapatkan pahala atau takut siksa-Nya. Oleh sebab itu, Rabi’ah al-Adawiyah berkata, “Aku tidak menyembah-Mu karena takut neraka-Mu atau mengharap surga-Mu”. 
Keikhlasan yang demikian adalah keikhlasan tingkatan tertinggi, yaitu melakukan amalan atau ibadah tidak memiliki tujuan apapun selain hanya karena menuruti perintah Allah swt. semata. Orang yang beramal dengan keikhlasan tingkat ini sama sekali tak terpikir olehnya balasan atas amalnya itu. Ia pun tak peduli apakah kelak di akhirat Allah akan memasukkannya ke dalam surga atau neraka, ia hanya berharap ridlo Tuhan-Nya.

 

Ia menyadari bahwa dirinya adalah hamba atau budak sedangkan Allah adalah tuannya. Maka baginya sudah selayaknya seorang hamba taat dan patuh serta menuruti apapun yang diperintahkan oleh tuannya tanpa berharap mendapatkan imbalan apapun.

 

Begitu pentingnya keikhlasan dalam hidup ini, maka keikhlasan yang ada dalam diri ini harus diasah dan darahkan agar ketika beramal benar-benar karena Allah swt. karena keikhlasan tidak muncul secara instan, oleh karena itu meneladani keikhlasan para Nabi, Auliya, dan muhibbin merupakan salah satu cara untuk menanamkan keikhlasan dalam diri ini.

 

Demikianlah keikhlasan niat muhibbin kepada Tuhan-Nya, semoga kita bisa menirunya. Amin.

 

Abdul Aziz, Pengurus LP Ma’arif PCNU Tangsel, Alumni Ponpes Nurul Qur’an Pamulang
 


Editor:

Ubudiyyah Terbaru