Keislaman

Bolehkah Menerjemahkan Khutbah Jumat selain Rukunnya?

Senin, 31 Juli 2023 | 16:30 WIB

Bolehkah Menerjemahkan Khutbah Jumat selain Rukunnya?

Ilustrasi khatib. (NU Online)

Muslimin-Muslimat yang berbahagia. Jika Anda sebagai khatib (orang yang khutbah) Jumat, harus mengetahui rukun khutbah. Sebagaimana diketahui, khutbah Jumat memiliki lima rukun yang harus dipenuhi. Kelima rukun tersebut disyaratkan menggunakan bahasa Arab dan harus dilakukan dengan tertib (berurutan) serta berkesinambungan (muwâlah).

 

Berikut ini lima rukun khutbah Jumat:

 

Pertama, memuji kepada Allah di kedua khutbah

Rukun khutbah pertama ini disyaratkan menggunakan kata “hamdun” dan lafadh-lafadh yang satu akar kata dengannya, misalkan “alhamdu”, “ahmadu”, “nahmadu”. Demikian pula dalam kata “Allah” tertentu menggunakan lafadh jalalah, tidak cukup memakai asma Allah yang lain. Contoh pelafalan yang benar misalkan: “alhamdu lillâh”, “nahmadu lillâh”, “lillahi al-hamdu”, “ana hamidu Allâha”, “Allâha ahmadu”. Contoh pelafalan yang salah misalkan: “asy-syukru lillâhi” (karena tidak memakai akar kata “hamdun”), “alhamdu lir-rahmân (karena tidak menggunakan lafadh jalalah “Allah”).

 

Syekh Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan:

 

ويشترط كونه بلفظ الله ولفظ حمد وما اشتق منه كالحمد لله أو أحمد الله أو الله أحمد أو لله الحمد أو أنا حامد لله فخرج الحمد للرحمن والشكر لله ونحوهما فلا يكفي

 

“Disyaratkan adanya pujian kepada Allah menggunakan kata Allah dan lafadh hamdun atau lafadh-lafadh yang satu akar kata dengannya. Seperti alhamdulillah, ahmadu-Llâha, Allâha ahmadu, Lillâhi al-hamdu, ana hamidun lillâhi, tidak cukup al-hamdu lirrahmân, asy-syukru lillâhi, dan sejenisnya, maka tidak mencukupi.” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Minhaj al-Qawim Hamisy Hasyiyah al-Turmusi, Jedah, Dar al-Minhaj, 2011, juz.4, hal. 246).

 

Kedua, membaca shalawat kepada Nabi Muhammad di kedua khutbah

Dalam pelaksanaanya harus menggunakan kata “al-shalatu” dan lafadh yang satu akar kata dengannya. Sementara untuk asma Nabi Muhammad, tidak tertentu menggunakan nama “Muhammad”, seperti “al-Rasul”, “Ahmad”, “al-Nabi”, “al-Basyir”, “al-Nadzir” dan lain-lain. Hanya, penyebutannya harus menggunakan isim dhahir, tidak boleh menggunakan isim dlamir (kata ganti) menurut pendapat yang kuat, meskipun sebelumnya disebutkan marji’nya. Sementara menurut pendapat lemah cukup menggunakan isim dlamir.

 

Contoh membaca shalawat yang benar: “ash-shalâtu ‘alan-Nabi”, “ana mushallin ‘alâ Muhammad”, “ana ushalli ‘ala Rasulillah”.

 

Contoh membaca shalawat yang salah: “sallama-Llâhu ‘ala Muhammad”, “Rahima-Llâhu Muhammadan (karena tidak menggunakan akar kata ash-shalâtu), “shalla-Llâhu ‘alaihi” (karena menggunakan isim dlamir).

 

Syekh Mahfuzh al-Tarmasi mengatakan:

 

ويتعين صيغتها اي مادة الصلاة مع اسم ظاهر من أسماء النبي صلى الله عليه وسلم

 

Shighatnya membaca shalawat Nabi tertentu, yaitu komponen kata yang berupa as-shalâtu beserta isim dhahir dari beberapa asma Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wasallama”. (Syekh Mahfuzh al-Tarmasi, Hasyiyah al-Turmusi, Jedah, Dar al-Minhaj, 2011, juz.4, hal. 248).

 

Ketiga, berwasiat dengan ketakwaan di kedua khutbah

Rukun khutbah ketiga ini tidak memiliki ketentuan redaksi yang paten. Prinsipnya adalah setiap pesan kebaikan yang mengajak ketaatan atau menjauhi kemaksiatan. Seperti “Athi’ullaha, taatlah kalian kepada Allah”, “ittaqullaha, bertakwalah kalian kepada Allah”, “inzajiru ‘anil makshiat, jauhilah maksiat”. Tidak cukup sebatas mengingatkan dari tipu daya dunia, tanpa ada pesan mengajak ketaatan atau menjauhi kemaksiatan.

 

Syekh Ibrahim al-Bajuri mengatakan:

 

ثم الوصية بالتقوى ولا يتعين لفظها على الصحيح

 

(قوله ثم الوصية بالتقوى) ظاهره أنه لا بد من الجمع بين الحث على الطاعة والزجر عن المعصية لأن التقوى امتثال الأوامر واجتناب النواهي وليس كذلك بل يكفي أحدهما على كلام ابن حجر ...الى ان قال... ولا يكفي مجرد التحذير من الدنيا وغرورها اتفاقا

 

 

“Kemudian berwasiat ketakwaan. Tidak ada ketentuan khusus dalam redaksinya menurut pendapat yang shahih. Ucapan Syekh Ibnu Qasim ini kelihatannya mengharuskan berkumpul antara seruan taat dan imbauan menghindari maksiat, sebab takwa adalah mematuhi perintah dan menjauhi larangan, namun sebenarnya tidak demikian kesimpulannya. Akan tetapi cukup menyampaikan salah satu dari keduanya sesuai pendapatnya Syekh Ibnu Hajar. Tidak cukup sebatas menghindarkan dari dunia dan segala tipu dayanya menurut kesepakatan ulama”. (Syekh Ibrahim al-bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Ibni Qasim, Kediri, Ponpes Fathul Ulum, tanpa tahun, juz.1, hal.218-219).

 

Keempat, membaca ayat suci Al-Qur’an di salah satu dua khutbah.

Membaca ayat suci Al-Qur’an dalam khutbah standarnya adalah ayat Al-Qur'an yang dapat memberikan pemahaman makna yang dimaksud secara sempurna. Baik berkaitan dengan janji-janji, ancaman, mauizhah, cerita dan lain sebagainya.

 

Seperti contoh:

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللهَ وَكُونُواْ مَعَ الصَّادِقِينَ

 

“Wahai orag-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan bersamalah orang-orang yang jujur”. (QS at-Taubah: 119)

 

Tidak mencukupi membaca potongan ayat yang tidak dapat dipahami maksudnya secara sempurna, tanpa dirangkai dengan ayat lainnya. Seperti:

 

ثُمَّ نَظَرَ

 

Kemudian dia memikirkan” (QS Al-Muddatsir ayat 21)

 

Membaca ayat Al-Qur'an lebih utama ditempatkan pada khutbah pertama.

 

Kelima, berdoa untuk kaum mukmin di khutbah terakhir

Mendoakan kaum mukminin dalam khutbah Jumat disyaratkan isi kandungannya mengarah kepada nuansa akhirat. Seperti: “allahumma ajirnâ minannâr, ya Allah semoga engkau menyelematkan kami dari neraka”, “allâhumma ighfir lil muslimîn wal muslimât, ya Allah ampunilah kaum muslimin dan muslimat”. Tidak mencukupi doa yang mengarah kepada urusan duniawi, seperti: “allâhumma a’thinâ mâlan katsîran, ya Allah semoga engkau memberi kami harta yang banyak”.

 

Syekh Zainuddin al-Malibari mengatakan:

 

(و) خامسها (دعاء) أخروي للمؤمنين وإن لم يتعرض للمؤمنات خلافا للأذرعي (ولو) بقوله (رحمكم الله) وكذا بنحو اللهم أجرنا من النار إن قصد تخصيص الحاضرين (في) خطبة (ثانة) لاتباع السلف والخلف

 

 

“Rukun kelima adalah berdoa yang bersifat ukhrawi kepada orang-orang mukmin, meski tidak menyebutkan mukminat berbeda menurut pendapat Imam al-Adzhra’i, meski dengan kata, semoga Allah merahmati kalian, demikian pula dengan doa, ya Allah semoga engkau menyelamatkan kita dari neraka, apabila bermaksud mengkhususkan kepada hadirin, doa tersebut dilakukan di khutbah kedua, karena mengikuti ulama salaf dan khalaf.” (Syekh Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu’in Hamisy I’anatut Thalibin, Surabaya, al-Haramain, tanpa tahun, juz.2, hal.66).

 

Lalu bolehkah menerjemahkan khutbah Jumat selain rukunnya atau beserta rukunnya? Jika diperbolehkan, apa yang terbaik dengan bahasa Arab saja atau beserta terjemahannya?

 

Muktamar Nahdlatul Ulama Pertama di Surabaya, Jawa Timur, yang dilaksanakan 13 Rabiuts Tsani 1345/21 Oktober 1926, seperti dikutip dari Juz Awal Ahkamul Fuqaha fi Muqarrarat Mu’tamirat Nahdlatil Ulama, Kumpulan Masalah Diniyah dalam Muktamar Nahdlatul Ulama PBNU, Penerbit CV Toha Putra Semarang, menjawab, menerjemahkan khutbah Jumat selain rukunnya itu boleh, sebagaimana tersebut dalam kitab-kitab Mazhab Syafii.

 

Dan Muktamar memutuskan bahwa yang terbaik adalah khutbah dengan Bahasa Arab kemudian diterangkan dengan bahasa yang dimengerti oleh hadirin. Faedahnya supaya hadirin mengerti petuah-petuah yang ada di dalam khutbah. Rujukan, Kitab Hasyiatul Kurdi Ala Bafadlal (bab syaratnya khutbah).

 

 

تجوز ترجمة خطبة الجمعة فى غير الاركان كما فى كتب الشافعية ، وقرر المعتمر بان الاحسن الخطبة بالعربية ثم يفسرها بلغة المجمعين. ولا يخفى ان فائدتها فهمهم لما فى الخطبة من الوعظ قال فى حاشية الكردى على بافضل فى شروط الخطبة ,وكونهما بالعربية وان كان الكل اعجميين لاتباع السلف والخلف (قوله بالعربية) اى الاركان دون ما عداها قال سم يفيد ان كون ما عداالاركان من توابعها بغيرالعربية لا يكون مانعا من الموالاة اه.

 

Wallahu a’lam bis shawab