Singgih Aji Purnomo
Kolomnis
Di era digital yang sangat terhubung saat ini, fenomena pembuatan gambar atau citra, atau "pencitraan," telah menjadi tren masyarakat yang meluas. Berakar pada keinginan untuk memproyeksikan versi ideal dari diri sendiri, praktik ini sering didorong oleh pengejaran validasi, status, dan pengaruh. Meskipun tampaknya tidak berbahaya, pembuatan citra membawa bahaya etis dan spiritual yang mendalam, terutama dari perspektif Islam.
Konsep Pencitraan
Pembuatan citra mengacu pada konstruksi yang disengaja dari citra atau pesona yang mungkin belum tentu selaras dengan diri sejati seseorang. Dalam konteks media sosial, ini melibatkan kurasi konten, memanipulasi persepsi, dan sering menyajikan versi realitas yang dilebih-lebihkan atau dibuat-buat.
Fenomena ini tidak terbatas pada individu tetapi meluas ke organisasi, institusi, dan bahkan entitas politik. Studi Pew Research Center tahun 2023 mengungkapkan bahwa lebih dari 67% pengguna media sosial mengaku terlibat dalam beberapa bentuk peningkatan gambar secara online.
Sementara itu, survei tahun 2024 yang dilakukan di Asia Tenggara menemukan bahwa 45% anak muda Muslim merasa tertekan untuk menghadirkan kehidupan yang sempurna secara online, meskipun menghadapi tantangan yang signifikan dalam kehidupan pribadi mereka.
Baca Juga
Mengulas Fear of Missing Out
Dimensi Etis dalam Islam
Islam menekankan ketulusan (ikhlas) dan kebenaran (sidq) sebagai kebajikan utama. Al-Qur'an dengan tegas memperingatkan terhadap kemunafikan (nifaq) dan penipuan.
Allah berfirman: "Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang melampaui batas lagi pendusta." (Surah Ghafir 40:28)
Tindakan Pencitraan, terutama ketika melibatkan penipuan, secara langsung bertentangan dengan nilai-nilai ini. Ini menumbuhkan kesombongan (kibr) dan kesombongan, sifat-sifat yang dikutuk dalam Islam.
Nabi Muhammad SAW bersabda: "Dia yang memiliki, di dalam hatinya, berat atom kesombongan tidak akan masuk ke Firdaus." (Sahih Muslim)
Dampak Psikologis dan Sosial
Dari perspektif psikologis, pengejaran terus-menerus citra diri yang ideal mengarah pada kecemasan, depresi, dan rasa harga diri yang terdistorsi. Penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Islamic Psychology (2024) menyoroti bahwa individu yang terlibat dalam pembuatan citra yang berlebihan lebih mungkin mengalami perasaan tidak mampu dan terputus dari diri mereka yang sebenarnya.
Temuan ini sejalan dengan prinsip Islam bahwa ketenangan pikiran (sakinah) dicapai melalui ketulusan dan kepuasan. Secara sosial, pembuatan citra melahirkan kecemburuan (hasad) dan persaingan (ta'aruf).
Kesempurnaan yang dikuratori yang terlihat di platform media sosial sering menciptakan tolok ukur yang tidak realistis, yang mengarah pada ketidakpuasan dan hubungan yang tegang.
Dalam Islam, bahaya yang disebabkan oleh iri hati ditekankan dalam Al-Qur'an: "Dan dari kejahatan orang iri hati ketika dia iri." (Surah Al-Falaq 113:5)
Peran Pendidikan Islam
Pendidikan Islam (tarbiyah) memainkan peran penting dalam mengatasi bahaya Pencitraan. Dengan menanamkan nilai-nilai inti kerendahan hati (tawadhu) dan kesadaran diri, pedagogi Islam membekali individu untuk melawan tekanan masyarakat dan merangkul keaslian.
Sebuah studi kuantitatif yang dilakukan oleh University of Malaya pada tahun 2023 menemukan bahwa siswa yang terpapar etika Islam 40% lebih kecil kemungkinannya untuk terlibat dalam perilaku online yang menipu dibandingkan dengan teman sebaya mereka.
Lembaga pendidikan harus memprioritaskan diskusi tentang etika digital, membina generasi yang menghargai ketulusan daripada kedangkalan. Mengintegrasikan pelajaran dari Al-Qur'an dan Sunnah ke dalam kurikulum modern dapat menjembatani kesenjangan antara nilai-nilai tradisional dan tantangan kontemporer.
Strategi untuk Memerangi Pencitraan
Dari sudut pandang Islam, memerangi bahaya Pencitraan membutuhkan pendekatan multifaset:
Memelihara Tawakal (Ketergantungan kepada Allah): Menumbuhkan ketergantungan kepada Allah menumbuhkan kepuasan dan mengurangi kebutuhan akan validasi eksternal.
Mempromosikan Rasa Syukur (Shukr): Praktik syukur secara teratur membantu individu menghargai berkah mereka, mengurangi keinginan untuk membandingkan dan bersaing.
Mendorong Keaslian: Komunitas harus menciptakan ruang yang aman bagi individu untuk mengekspresikan diri mereka yang sebenarnya tanpa takut dihakimi. Istirahat berkala dari media sosial dapat membantu individu terhubung kembali dengan kenyataan dan mengkalibrasi ulang prioritas mereka.
Bimbingan Orang Tua: Orang tua memainkan peran penting dalam membentuk kebiasaan digital anak-anak mereka. Dengan mencontohkan perilaku yang bertanggung jawab dan mendiskusikan nilai-nilai Islam, mereka dapat membimbing anak-anak mereka menjauh dari jebakan Pencitraan.
Fenomena Pencitraan menggarisbawahi tantangan hidup di dunia yang digerakkan secara digital. Meskipun teknologi menawarkan manfaat yang sangat besar, penyalahgunaannya dapat menyebabkan kerusakan moral dan spiritual.
Penekanan Islam pada ketulusan, kerendahan hati, dan kebenaran berfungsi sebagai panduan abadi untuk menavigasi tantangan ini. Dengan merangkul nilai-nilai ini, individu dapat melampaui kedangkalan pembuatan citra dan menjalani kehidupan yang berakar pada keaslian dan keyakinan.
Wallahu a’lam bis shawab.
Singgih Aji Purnomo, Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Al Amanah Al-Gontory
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Meraih Emas setelah Pertengahan Ramadhan
2
Himpun 2 Miliar, UPZIS LAZISNU Ranting Ciater Sabet Penghargaan Terbaik Se-Tangsel
3
Lakukan Dua Hal Ini agar Hidup Tenang
4
Waktu Buka Puasa 18 Maret 2025 di Jakarta dan Banten
5
Waktu Buka Puasa 19 Maret 2025 di Jakarta dan Banten
6
Jadwal Maghrib untuk Jakarta dan Banten 17 Maret 2025
Terkini
Lihat Semua