• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Sabtu, 27 April 2024

Opini

Mengulas Fear of Missing Out

Mengulas Fear of Missing Out
Ilustrasi Fear of Missing Out. (Foto: NUOB/Singgih Aji Purnomo)
Ilustrasi Fear of Missing Out. (Foto: NUOB/Singgih Aji Purnomo)

SEGALA sesuatu yang baru memang terkadang membuat seseorang ingin mengetahui lebih dalam. Sebut saja “trend”, algoritma tentang sesuatu yang sedang menjadi bahan perbincangan saat ini bisa didapati dari beragam medium tanpa terkecuali media sosial. Fenomena rasa takut ketinggalan atau dengan kata lain Fear of Missing Out (FOMO) menggelayut dalam insan-insan muda saat ini. Bagaimana detail tentang Fear of Missing Out?


 

Fear of Missing Out

Mari kenali FOMO! Rasa takut ketinggalan (FOMO) adalah ketakutan yang meluas bahwa orang lain mungkin memiliki pengalaman berharga dari mana seseorang tidak ada. Hal ini terkait dengan rasa takut akan penyesalan dan dapat menyebabkan kekhawatiran tentang kehilangan interaksi sosial, pengalaman baru, peristiwa yang tak terlupakan, atau peluang yang menguntungkan.



Istilah "Fear of Missing Out" kali pertama didefinisikan pada 2013, dikemukakan dalam penelitian Przybylski, Murayama, DeHaan, dan Gladwell sebagai "ketakutan yang meresahkan bahwa orang lain mungkin sedang memiliki pengalaman yang memuaskan dari mana seseorang absen." Istilah ini merujuk pada perasaan kekhawatiran bahwa seseorang mungkin melewatkan kesempatan untuk interaksi sosial, pengalaman baru, peristiwa berkesan, investasi menguntungkan, atau kenyamanan bersama orang yang dicintai.
 


FOMO juga terkait dengan ketakutan akan penyesalan, yang dapat menyebabkan kekhawatiran bahwa seseorang mungkin melewatkan kesempatan untuk meningkatkan kehidupannya. Istilah ini muncul seiring dengan perkembangan media sosial dan pengaruhnya terhadap persepsi dan interaksi sosial.

 


Sementara itu, dalam artikel yang ditulis oleh Rashmi Parmar berjudul Understanding the Fear of Missing Out. FOMO juga terkait dengan efek psikologis negatif dan telah terbukti terkait dengan penggunaan media sosial yang bermasalah. Ini mencakup persepsi kehilangan, yang memicu kecemasan, dan perilaku kompulsif seperti memeriksa dan menyegarkan situs media sosial. Orang yang mengalami tingkat FOMO yang lebih tinggi cenderung memiliki keinginan yang lebih kuat untuk status sosial yang tinggi, lebih kompetitif dengan orang lain dari jenis kelamin yang sama, dan lebih tertarik pada hubungan jangka pendek. Harga diri memainkan peran kunci dalam tingkat FOMO, karena harga diri individu dipengaruhi oleh orang-orang yang mereka amati di media sosial.

 


FOMO dan Kesehatan Mental

Sejumlah penelitian telah membangun hubungan yang kuat antara rasa takut ketinggalan (FOMO) dan kesehatan mental. FOMO telah ditemukan berkorelasi positif dengan depresi, kecemasan, dan stres, dan secara signifikan dapat memprediksi stres. Individu dengan tingkat FOMO yang tinggi lebih mungkin menderita penyalahgunaan alkohol dan gangguan tidur, dan FOMO telah dikaitkan dengan penurunan kesejahteraan dan kepuasan hidup. Secara keseluruhan, penelitian yang ada secara konsisten menunjukkan bahwa FOMO memiliki dampak negatif pada kesehatan mental, mengganggu penyesuaian psikologis dan kehidupan sehari-hari. Ini juga dikaitkan dengan kecemasan sosial, depresi klinis, dan penurunan kinerja akademik. FOMO dianggap sebagai keterikatan bermasalah dengan media sosial dan dikaitkan dengan berbagai pengalaman dan perasaan hidup negatif.

 


Pemicu FOMO

Rasa takut ketinggalan (FOMO) dapat dipicu oleh berbagai faktor. Di antaranya pertama, media sosial dan teknologi. Paparan konstan terhadap kehidupan orang lain yang dikuratori di platform media sosial dapat memicu FOMO, karena individu membandingkan kehidupan mereka sendiri dengan versi ideal yang disajikan secara online.

 


 

Kedua, kebutuhan keterkaitan yang tidak terpenuhi. FOMO terkait dengan kebutuhan keterkaitan yang tidak terpenuhi, yang mengacu pada kebutuhan untuk memiliki. Ketika kebutuhan kita akan kepemilikan tidak terpenuhi, kita mengalami FOMO.


 

Ketiga, penyesalan dan antisipasi penyesalan. Penyesalan dianggap sebagai pemicu kuat untuk mengalami FOMO. Rasa takut ketinggalan dapat dikaitkan dengan perasaan menyesal karena kehilangan pengalaman tertentu, dan individu dapat mengantisipasi penyesalan sebelum suatu peristiwa bahkan terjadi.


 

Keempat, terlalu banyak pilihan. Memiliki banyak pilihan juga dapat berkontribusi pada FOMO, karena individu mungkin takut membuat pilihan yang salah dan kemudian kehilangan sesuatu yang lebih baik.


 

Kelima, kecemasan dan harga diri: FOMO dapat dipicu oleh kecemasan tentang kehilangan interaksi sosial, pengalaman baru, atau peristiwa yang tak terlupakan, serta kekhawatiran tentang bagaimana seseorang dirasakan oleh orang lain dan kebutuhan untuk mengikuti tren.


 

Pemicu ini dapat menyebabkan siklus pikiran cemas dan kebutuhan untuk mengikuti, yang pada akhirnya menghasilkan gejala FOMO dan berpotensi berdampak pada kesejahteraan mental dan emosional.


 

Dampak FOMO pada Pekerjaan atau Kehidupan Sekolah

Rasa takut ketinggalan (FOMO) dapat berdampak signifikan pada pekerjaan atau kehidupan sekolah. Oleh karenanya, perlu dikenali tandanya (gangguan terhadap akademik atau pekerjaan, perilaku kompulsif (terus-menerus memeriksa media sosial), dampak pada kesejahteraan, dampak keuangan). Ketika seseorang mengalami tanda-tanda ini dan mereka secara signifikan mempengaruhi kinerja akademik atau kerja, mungkin bermanfaat untuk mencari dukungan dan belajar bagaimana mengelola FOMO secara efektif.


 

Dari dampak di atas maka perlu menyeimbangkan kehidupan sosial dan kehidupan kerja atau sekolah ketika mengalami FOMO dapat menjadi tantangan, tetapi ada strategi untuk membantu mengelola ini. Setidaknya ada 5 tips. (Prioritaskan dan rencanakan, belajar mengatakan tidak pada acara atau kegiatan sosial tertentu agar fokus, gunakan perencana atau kalender, alokasikan waktu untuk menyendiri, kenali pemicu FOMO seperti media sosial, dapat membantu seseorang mengendalikan dampaknya).


 

Lebih lanjut, bagi seorang penulis atau pendidik, ada beberapa solusi agar produktif menulis meski berhadapan dengan FOMO. Pertama, perlu menetapkan tujuan dan prioritaskan. Tetapkan tujuan yang jelas untuk tulisan Anda dan prioritaskan di atas kegiatan sosial. Ini dapat membantu Anda tetap fokus dan termotivasi untuk menyelesaikan pekerjaan.


 

Kedua, batasi penggunaan media sosial. Batasi penggunaan media sosial untuk menghindari gangguan dan mengurangi dampak FOMO. Atur waktu tertentu untuk memeriksa media sosial dan menaatinya.


 

Ketiga, beristirahatlah: Beristirahatlah secara teratur untuk mengisi ulang dan menghindari kelelahan. Ini dapat membantu tetap produktif dan fokus ketika kembali ke tulisan yang sedang dikerjakan.


 

Keempat, latih kesadaran. Latih teknik kesadaran, seperti meditasi atau pernapasan dalam, untuk membantu mengelola stres dan kecemasan yang terkait dengan FOMO.


 

Kelima, terlibat dalam kegiatan sosial yang bermakna. Terlibat dalam kegiatan sosial yang bermakna dan selaras dengan nilai-nilai diri, dapat membantu seseorang merasa lebih puas dan mengurangi dampak FOMO.


 

Terakhir, dalam prinsip Nahdlatul Ulama dikenal Almuhafadzatu alal Qadimis Shalih wal Akhdu bil Jadidil Aslah (memelihara hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik). FOMO atau rasa takut ketinggalan perlu dimanage pada arah yang sesuai dengan passion dan produktivitas diri. Perlu update (rasa takut ketinggalan) namun perlu juga menjaga tradisi atau hal lama yang baik dengan cara mawas diri.


 

Singgih Aji Purnomo, Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Amanah Al-Gontory, Jurnalis NU Online Banten


Opini Terbaru