• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Senin, 29 April 2024

Opini

Menangkal Disintegrasi setelah Pilpres 2024

Menangkal Disintegrasi setelah Pilpres 2024
Pemilu 2024 semakin dekat. (Foto: Istimewa)
Pemilu 2024 semakin dekat. (Foto: Istimewa)

BANGSA Indonesia akan menjalani ritus politik hajatan akbar yakni pemungutan suara untuk memilih presiden dan wakil presiden (pilpres), 14 Februari 2024. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan tiga (3) pasang calon, dengan nomor urut 1, pasangan Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dan Pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, masing-masing bernomor urut 2 dan 3.

 


Ke-3 capres-cawapres bersama dengan partai politik pengusung dan pendukung mulai hectic dan heroik berkampanye untuk memenangkan jagoan mereka masing-masing. Selain itu, mesin partai politik mulai dipanaskan. Sayap-sayap pendukung dan simpatisan terlihat dikepakkan. Pesta demokrasi mulai bergulir, meskipun belum terlihat dengan kecepatan maksimal, full speed, karena puncak arus perkampanyean diprediksi akan terpantau pada detik-detik terakhir menjelang masa tenang. Adu strategi? Ya! Para capres-cawapres sedang beradu strategi kemenangan untuk merebut suara rakyat. Karena jika jor-joran di awal, semua akan bermuara pada pasokan logistik. Gak bahaya tah?

 


Ketiga capres mengusung tagline yang berbeda. Dalam visi dan misi, Anies-Muhaimin  menggunakan frasa “8 Jalan Perubahan.” Adapun Ganjar-Mahfud memilih “8 Gerak Cepat Ganjar Pranowo dan Mahfud MD”, sedangkan Prabowo-Gibran memakai frasa “Asta Cita.” Semua itu merupakan pertarungan simbolis antarcalon. Hanya, tinggal bagaimana mereka menerjemahkan dan memahamkan visi misi tersebut, kepada para pemilik suara yang masih didominasi oleh masyarakat arus bawah sebagai potential vote getter. Jika mereka piawai dalam memersuasi pemilik suara, dengan kesederhanaan bahasa dan mengampanyekan program-program unggulan yang masuk akal dan terukur serta tidak bombastis-utopis, niscaya masyarakat pemilih akan jatuh hati kepada salah satu dari ketiga pasang calon tersebut.

 


Konstalasi politik yang mulai memanas antarpasangan capres-cawapres dan juga antarpendukung mereka, haruslah diletakkan pada koridor kerangka berdemokrasi, yakni bolehnya berbeda pendapat untuk memilih salah satu capres-cawapres dan tidak adanya tekanan baik bersifat fisik maupun psikis. Berbeda pilihan politik boleh, tetapi jangan sampai membuat kita terpecah belah, tercerai-berai. Oleh karena itu, semua pihak hendaknya memiliki kesadaran tingkat tinggi dengan menyuguhkan proses pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (luber dan jurdil). Jangan berpikir kemenangan dengan menabrak dan membabi buta terhadap aturan main yang telah menjadi konsensus anak bangsa. Hal ini sangat penting, karena percikan api ketidakpuasan terhadap hasil pemilu yang legitimate dapat membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, jika tidak dikelola dengan kejernihan hati dan sikap legawa dalam berpolitik.

 


Para pemimpin Indonesia harus menjadikan pemilu yang luber dan jurdil sebagai tujuan bersama, sehingga kasus-kasus bottle-necking, kebuntuan, dan kekisruhan setelah pemilihan presiden dapat dieliminasi. Tengok apa yang terjadi ketika gelaran pemilihan presiden Venezuela menemukan jalan buntu.

 


‘Kehancuran’ Venezuela bermula dari gelaran pemilihan presiden 2018. Saat itu, presiden petahana, Nicolas Maduro, keluar sebagai pemenang dan mempertahankan periode keduanya. Dua rival Maduro, Henri Falcon dan Javier Bertucci, menolak hasil pemilu yang dianggap sandiwara palsu lantaran diduga terjadi banyak penyimpangan, seperti dugaan pembelian suara dan kecurangan lainnya. Namun, Maduro tetap dilantik sebagai presiden pada 10 Januari 2019, yang memicu krisis politik berkepanjangan. Krisis politik diperparah setelah Ketua Majelis Nasional atau Parlemen Juan Guaido mendeklarasikan diri sebagai sebagai presiden interim Venezuela, menentang kepemimpinan Maduro. Perebutan tahta antara Madura-Guaido berimbas pada kondisi ekonomi negara tersebut yang terus tersungkur setelah harga minyak anjlok pada 2016. Hingga pada akhirnya Presiden Madura membuat kesepakatan dengan pihak oposisi yang akan mengadakan pemilihan presiden pada 2024. Contoh tragedi politik di Venezuela juga terjadi di Afghanistan, Pakistan, Kongo, dan Zimbabwe.

 


Kontras dengan di Indonesia, hal yang membanggakan terjadi pada para pemimpin Indonesia. Bangsa Indonesia terbukti telah mampu mengatasi perseteruan politik yang rumit di masa lampau, sehingga kita dapat memandang bahwa pemilihan umum yang diselenggarakan lima tahunan merupakan tahapan dan rangkaian perjalanan bangsa Indonesia untuk dapat mewujudkan apa yang dicita-citakan, dengan kristalisasi keringat bahkan darah para pendiri bangsa dan termaktub dalam Preambule Undang-Undang Dasar 1945.



Jadi, sangatlah naif, jika kita bertengkar tak berkesudahan gara-gara ego sektoral bertopeng kepalsuan kepentingan bangsa dan negara. Jangan hanya memenangkan suara rakyat tetapi tidak dengan hatinya. Pendek kata, jika Anda tidak memperjuangkan kepentingan nusa, bangsa, dan negara Indonesia, lebih baik minggir!

Semoga.

Wallahu ‘Alamu Bisshawab      

 


Hadi Susiono Panduk, Kolumnis Muslim; Alumnus Pondok Pesantren al-Khairot; Sabilillah, MA Nahdlatul Muslimin Kudus dan Universitas Diponegoro Semarang; Warga Nahdlatul Ulama


Opini Terbaru