Mencintai Rasul Paripurna
Dalam ajaran Islam dikenal adanya rukun iman. Kepercayaan kita kepada para Rasul—termasuk Baginda Sayyidina Muhammad—adalah rukun keempat dari enam rukun iman yang harus dipercayai oleh seorang Mukmin. Jadi, sebagai seorang Muslim yang Mukmin wajib mencintai Sayyida Muhammad. Lantas, mengapa kita harus mencintai beliau melebihi cinta terhadap diri kita sendiri?
Cinta kasih Baginda Rasulullah kepada umat-Nya memang tidak diragukan lagi, bahkan terhadap umat manusia karena eksistensi Rasulullah diutus oleh Allah adalah sebagai rahmat bagi alam semesta. “wamaa arsalnaaka illaa rahmatan lil’aalamiin”. Beliau diutus bukan hanya kepada manusia, tetapi juga kepada kaum Jin dan kaum Malaikat. Sebagai utusan paripurna Allah, Baginda Rasulullah jelas dibekali dengan piranti-piranti kemanusiaan, sebagai manusia dan juga sebagai Rasul. Baginda adalah manusia, tetapi tidak seperti manusia. Ini artinya, Rasulullah memiliki sifat manusia, seperti; makan, minum dan sakit. Tetapi, memiliki sifat-sifat extraordinary yang tidak dimiliki manusia biasa, karena Baginda Nabi adalah utusan dan kekasih Allah. Pujian atas sifat dan perilaku Baginda Nabi datang dari para Nabi dan Rasul terdahulu, para Malaikat bahkan dari Allah dengan firman-Nya dalam Al-Quran “Wa innaka la’alaa Khuluqin ‘Adzim” (Sesungguhnya Engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung).
Bagaimana sejatinya akhlak Baginda Nabi?
Banyak sekali akhlak Nabi Muhammad yang patut dianut dan diteladani. Akhlak Baginda Nabi adalah Al-Qur’an. Satu akhlak Nabi Muhammad adalah kasih sayang (cinta kasih) kepada manusia (umat Islam). Dalam sejarah disebutkan ketika dalam perjuangan menyebarkan agama Islam sepeninggalan pamannya, Abu Tholib dan istri Nabi, Khadijah, dan pemboikotan kaum Quraisy terhadap Bani Hasyim (Rasulullah) selama tiga tahun, tidak ada lagi orang yang dijadikan pelindung oleh Rasul dalam berdakwah, karena kaum kafir Quraisy dengan leluasa berbuat jahat kepada Rasul dan para pengikut-Nya dengan melempari kotoran di kepala Nabi ketika sedang salat di dekat Kabah sehingga Siti Fatimah sembari bercucur air mata, harus membersihkan kotoran yang mereka lempar. Perlakuan keji kaum Kafir Quraisy menjadi brutal hari demi hari. Sehingga, Nabi memutuskan untuk hijrah ke Tha’if dengan harapan para pemuka suku Tsaqif mau menolong dan memberikan perlindungan kepada Nabi dan kaum Muslimin.
Namun, ketika Nabi tiba di kota tersebut, bukannya penyambutan hangat yang didapat, melainkan perlakuan yang tak kalah brutalnya dengan yang dilakukan oleh kaum Kafir Quraisy. Mereka mengejar dan melempari Rasulullah dengan batu, sehingga kaki terluka dan berdarah. Setelah itu, Nabi menyingkir dan berlindung di sebuah kebun milik seorang tokoh Quraisy, Utbah bin Rabiah. Sembari mengusap keringat dan menyeka darah yang keluar dari kaki, Rasulullah berdoa dengan lirih memohon pertolongan dari Allah.
Tak lama kemudian, Malaikat Jibril datang membawa pesan. “Wahai Muhammad, Tuhan-Mu menyampaikan salam kepada-Mu dan Malaikat yang mengurus gunung-gunung telah diperintahkan oleh Allah untuk mematuhi seluruh perintahmu.” Dan, malaikat penjaga gunung pun berkata, “sesungguhnya Allah telah memerintahkanku untuk berkidmat kepadamu. Jika engkau mau akan kujatuhkan gunung itu kepada mereka. Jika engkau mau akan kulempari mereka dengan bebatuan. Dan, jika engkau mau akan kuguncangkan bumi di bawah kaki mereka.” Tetapi, apa jawaban Rasulullah dalam keadaan terjepit dan membutuhkan pertolongan, sedangkan malaikat sudah mengiyakan? “ Wahai malaikat gunung, aku datang kepada mereka karena berharap mudah-mudahan akan keluar dari keturunan mereka, orang-orang yang mengucapkan La Ilaha Illallah.” Malaikat gunung pun menjawab, “Engkau seperti disebutkan oleh Tuhanmu, sangat penyantun dan penyayang.”
Dari Sirah Nabawiyyah tersebut, sangat jelas cinta kasih yang Rasulullah ajarkan sungguh luar biasa. Apa jadinya jika Rasul menerima tawaran malaikat penjaga gunung? Tidak akan ada keturunan umat manusia yang akan mengenal Allah. Apa jadinya jika Rasulullah adalah seorang pendendam, pemarah, dan tidak menyayangi umatnya? Bahkah, rasa cinta dan kasih Rasulullah kepada umatnya, ditunjukkan ketika hendak menghadap Sang Khalik. Ummatii, Ummatii, Ummatii (umatku, umatku, umatku). Akankah kita sebagai umat Rasulullah tidak mencintai dan menyanyanginya? Berpikirlah, wahai manusia cerdas /ulul albaab?
Allahumma sholli ‘ala habiibina, wa qurroti a’ayunina, wa maulana sayyidina Muhammad.
Wallahu A’lamu Bisshawaab.
K Hadi Susiono Panduk, Kolumnis Muslim; Rais Syuriyah Majelis Wakil Cabang NU Bayah; Pengurus Pergunu Kabupaten Lebak; Pengurus MUI Kabupaten Lebak; Alumnus Pondok Pesantren Al-Khoirot & Sabilillah dan Madrasah Aliyah Nahdlatul Muslimin Kudus; serta Universitas Diponegoro Semarang