• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Jumat, 3 Mei 2024

Opini

Mengurai Tema Harlah Ke-95 NU: Menyebarkan Aswaja Meneguhkan Komitmen Kebangsaan

Mengurai Tema Harlah Ke-95 NU: Menyebarkan Aswaja Meneguhkan Komitmen Kebangsaan
H Abdul Ghofur (Foto: Koleksi Pribadi)
H Abdul Ghofur (Foto: Koleksi Pribadi)

Menyebarkan Ahlussunah Waljamaah   

 

Menjelang harlah ke-95 Nahdlatul Ulama (NU), Indonesia dan seluruh dunia sedang dirundung duka dan keperihatianan yang sangat dalam menghadapi pandemi Covid-19. Semakin hari angka korban kematian yang makin meningkat. 

 

Awal Januari ini, kita juga dikejutkan jatuhnya korban pesawat Sriwijaya Air rute Jakarta-Pontianak. Berselang 1 hari puing-puing pesawat ditemukan di laut Kepulauan Seribu, Jakarta. Disusul gempa dan banjir di beberapa daerah Sulbar, Kalsel dan Jawa Barat. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memerintahkan seluruh Pengurus Wilayah, Pengurus Cabang Se-Indonesia dan warga NU untuk salat ghaib bagi korban dan melakukan ikhtiar batiniyah untuk keberkahan dan keselamatan bangsa.

 

Bilangan 95 tahun umur yang hampir menjelang 100 tahun, usia yang panjang bagi organisasi kemasyarakatan bukanlah umur yang tak muda lagi. Perjalanan NU sebagai organisasi sosial keagamaan memiliki peran yang sangat strategis terhadap agama, negara serta rakyat Indonesia. Proses panjang telah dilalui NU sebagai perekat dan penjaga bangsa ini. Tak ayal, NU saat ini selalu menjadi garda terdepan menghalau persoalan-persoalan kebangsaan, rongrongan NKRI dari kelompok-kelompok yang ingin mengubah landasan Negara Kesatuan Republik Indonesia.   

 

Lahirnya NU berawal dari riadhoh-nya para ulama khos di tanah Jawa akan kondisi keagamaan, sosial dan politik pada masa penjajahan. Menurut KH. Solahudin Wahid, NU didirikan pada 31 Januari 1926 Masehi atau 16 Rajab 1344 di Jombang. Didirikan oleh sejumlah ulama yang pada waktu itu ada kaitannya dengan Komite Hijaz.

 

Di Saudi Arabia, ada gerakan dari kaum Wahabi yang dikhawatirkan akan merusak beberapa peninggalan termasuk makam Rasulullah SAW. Kemudian ditindaklanjuti dengan suatu kegiatan yang akhirnya memunculkan NU ini untuk mempertahankan ahlussunah waljamaah.

 

NU menganut paham ahlussunah waljamaah, merupakan sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis). Karena itu, sumber hukum Islam bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik.

 

Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu al-Hasan al Asy'ari dan Abu Mansur Al Maturidi dalam bidang teologi, (Tauhid) ketuhanan. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti mazhab: Imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: Imam Hanafi, Imam Maliki, dan Imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Syeikh Juneid al-Bagdadi yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.

 

Harlah tahun ini mengambil tema menyebarkan Aswaja dan Meneguhkan Komitmen Kebangsaan. NU sebagai organisasi sosial keagamaan, memiliki komitmen yang tinggi terhadap gerakan kebangsaan dan kemanusiaan. NU menampilkan Islam ahlussunah waljamaah ke dalam tiga pilar ukhuwah yaitu; ukhuwah Islamiyah; ukhuwah wathoniyah; dan ukhuwah insaniah.

 

Ukhuwah Islamiyah merupakan landasan teologis atau landasan iman dalam menjalin persaudaraan  antar umat manusia dan ini sekaligus merupakan entry point dalam mengembangkan ukhuwah yang lain. Agar keimanan ini terefleksikan dalam kebudayaan dan peradaban, maka kepercayaan teologis ini perlu diterjemahkan ke dalam realitas sosiologis dan antropologis ini kemudian ukhuwah Islamiyah diterapkan menjadi ukhuwah wathoniyah (solidaritas kebangsaan).

 

Tantangan Bangsa Indonesia khususnya umat dan NU hari ini adalah globalisasi bahwa para penyebar Islam saat ini yang tak kuasa beradaptasi dengan keberadaan NU yang konsisten menjaga Indonesia. Bahwa dalam konteks masyarakat Aswaja, globalisasi bergerak melalui dua jalur, fundamentalisme dan Liberalisme Islam.

 

Kedua ideologi transnasional ini menjadi sama-sama mempengaruhi masyarakat Indonesia, khususnya muslim, dalam menjalankan praktik keagamaannya. Jika yang pertama mengkampanyekan Islam di Indonesia bernuansa Arab ditambah dengan adanya tindakan mengkafir-kafirkan muslim yang menjalankan praktek ibadah sesuai konteks lokal, maka yang kedua bekerja untuk membentuk pribadi muslim lebih liberal dan mengarah pada proses sekulerisasi.

 

Sesungguhnya, tidak ada yang salah dari penyebaran kedua ideologi tersebut, namun agenda globalisasi yang terdapat di dalamnya, dapat “merusak” tatanan peradaban Bangsa Indonesia sebagai kekuatan khas tersendiri. Lagi-lagi, kekhawatiran proses kolonialisasi sebagai- mana yang akan benar-benar terwujud. Atas dasar itulah NU ahlussunah waljamaah menjadi bamper dalam melayani proses globalisasi.

 

Prinsip ajaran Islam ahlussunah waljamaahh tidak kaku membaca realitas dengan menggunakan cara bayan ilahi, nabawi dan aqli maka NU memiliki sikap tawassuth, tawazun dan tasamuh. Dengan sikap ini pula, masyarakat semakin akan memperoleh penyegaran dalam memahami agama. Ini menunjukkan kematangan, sehingga tidak dangkal, tidak emosional, tetapi penuh keikhlasan karena semuanya dijalankan untuk mengabdi, yaitu pengabdian kepada Allah dan khidmat pada umat.

 

Pertama, Tawassuth (moderat) adalah sikap keberagaman yang tidak terjebak pada titik-titik ekstrem. Melalui sikap ini, setidaknya mampu menjemput setiap kebaikan dari berbagai kelompok. Kemampuan untuk mengapresiasikan kebaikan dan kebenaran dari berbagai kelompok memungkinkan jamiyah NU untuk tetap berada di tengah-tengah.

 

Kedua, Tawazun (seimbang) keseimbangan merupakan sikap keberagaman dan kemasyarakatan yang bersedia memperhitungkan berbagai sudut pandang dan kemudian mengambil posisi yang seimbang dan proporsional.

 

Ketiga, Tasamuh (toleran) Melalui toleransi, NU mengimplementasikan sikap keberagaman dan kemasyarakatan yang menghargai kebhinekaan. Keragaman hidup menuntut sebuah sikap yang sanggup untuk menerima perbedaan pendapat dan menghadapinya secara toleran. Toleran yang tetap diimbangi oleh keteguhan sikap dan pendirian.

 

Globalisasi merupakan tantangan berat yang dihadapi oleh NU. Ancaman ini mengarah kepada basis keagamaan rakyat, NU ahlussunah waljamaah dan pilar kebangsaan Indonesia, terutama dalam hal kedaulatan ekonomi. Memahami gempuran globalisasi yang dapat menggemboskan tradisi Islam ahlussunah waljamaah maka NU mendapatkan momentum untuk intens menyebarkan dengan prinsip-prinsip ahlussunah waljamaah.

 

Apalagi kehadiran globalisasi dibarengi dengan isu kedaulatan ekonomi yang kini sedang digerogoti oleh kelompok perongrong kedaulatan Negara. Harlah NU yang ke 95 tahun ini menyiapkan seluruh lapisan kader dan Lembaga menyongsong NU menjadi organisasi yang kuat dan berdikari dalam menyongsong satu abad NU.

 

Meneguhkan Komitmen Kebangsaan


Pandangan kebangsaan Nahdlatul Ulama sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan dan nasionalisme yang berdasarkan atas syari’at Islam ala ahlussunnah waljama’ah. Peranan NU pada ranah kesejarahan, dapat dilihat pada keputusan Muktamar NU ke-2 di Banjarmasin pada tahun 1936. Muktamar memutuskan bahwa kedudukan Hindia Belanda (Indonesia) sebagai Dar al Islam, yang menegaskan keterikatan NU dengan Nusa Bangsa.

 

Proses integrasi ini  terjadi melalui beberapa tahap: Pertama, pengakuan wilayah Nusantara sebagai wilayah Islam (Dar al Islam), yang para ulama NU menetapkan Nusantara sebagai Dar al Islam. Menariknya, Dar al-Islam ini tidak dimaknai sebagai “negara Islam”, melainkan “wilayah Islam”, sebab di dalamnya umat Islam bebas melaksanakan shari’at Islam.

 

Dengan cara ini, NU telah membentuk “Kebangsaan Islam” (Islamic nationalism) sebab Dar al Islam tersebut dipahami sebagai bangsa. Artinya, ketika Nusantara diakui sebagai Dar al Islam, wilayah ini telah dipahami sebagai bangsa muslim Indonesia.

 

Kedua, Penerimaan atas Negara-Bangsa (NKRI), bukan negara Islam pada pembentukan konstitusi 1945. Wakil dari NU di sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), yakni KH. Wahid Hasyim, KH. Masykur, dan KH. Zainul Arifin, telah menyepakati bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam kerangka perawatan kemajemukan Bangsa. Pada titik ini, NU telah menepis ego kelompok, demi terjaganya masyarakat bangsa yang majemuk.

 

Ketiga, Penetapan pemerintah RI (Republik Indonesia) sebagai pemimpin darurat yang memiliki wewenang menerapkan syari’at (waliy al-amri al-ḍarūri bi al-shaukah). Kesepakatan ulama pada Munas Alim Ulama tahun 1954 ini, ditetapkan agar syari’at Islam bisa ditegakkan, karena pemerintahan sah secara syar’i. Dari sini terlihat bahwa politik kebangsaan NU tidak bersifat sekuler, karena ia bermuara pada syari’at Islam, baik melalui penerapan partikel hukumnya di dalam hukum nasional, maupun pengamalan sebagai etika sosial.

 

Keempat, Penerimaan Pancasila sebagai dasar negara, hal ini ditetapkan pada Munas Alim Ulama NU di Situbondo tahun 1983, Pancasila diterima sebagai dasar negara sedangkan Islam tetap dijaga sebagai akidah. Antara akidah beragama dan dasar bernegara tidak dibenturkan, sebab Pancasila yang memuat sila ketuhanan, merupakan bentuk pengamalan syari’at Islam.

 

Melalui proses integrasi Islam ke dalam nasionalisme ini, NU telah melerai ketegangan antara Islam sebagai “ideologi universal” dan Pancasila sebagai “ideologi nasional”, serta antara Islam sebagai “paham theokratis” dan  NKRI sebagai “bangunan Negara Bangsa”. Sebuah pola hubungan yang hingga saat ini masih menyediakan ketegangan bagi sebagian besar negara Islam di Timur Tengah, karena mereka belum mencapai hubungan harmonis antara Islam dan modernisasi.

 

Dalam kaitan ini, penerimaan NU atas NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) digerakkan melalui demokratisasi dalam jangka panjang. Hal ini terjadi karena NU memahami nasionalisme tidak dalam kerangka identitas dan wilayah, melainkan kerakyatan. Hal ini terkait dengan pandangan terhadap kekuasaan yang terkait langsung dengan kemaslahatan rakyat (taṣarruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuṭun bi al-maṣlahah). Melalui pandangan ini, demokrasi yang diperjuangkan bukan demokrasi prosedural, melainkan demokratisasi, baik dalam rangka pemenuhan hak sipil-politik maupun hak sosial ekonomi.
 

Dalam pandangan kelompok besar Islam di Indonesia, NU, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah harga mati. Dua perangkat landasan terbentuknya Negara Kesatuan Re- publik Indonesia (NKRI) itu dipandang sebagai aktualisasi nilai-nilai ajaran Islam yang dirumuskan para pendiri bangsa dengan mempertimbangkan akidah, hukum, dan akhlak Islam.

 

Bagi NU, Indonesia adalah anugerah Tuhan YME yang harus dijaga sampai kiamat karena kemerdekaan yang didapat bangsa Indonesia bukan tanpa sebab cucuran darah dan keringat para ulama dan pendiri Bangsa ini menjadi rumusan NU mempertahankan kedaulatan NKRI dan Pancasila sebagai falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

Harlah NU ke 95 mengusung tema “menyebarkan ahlussunah waljmaah dan meneguhkan kebangsaan” sebagai wujud cinta-cita besar menjadi perekat kebangsaan sebagai Negara yang baldatun warobbun ghofur. Selamat harlah NU-ku.

 

H. Abdul Ghofur, Penulis adalah Dosen Tetap STISNU Nusantara dan Wakil Sekertaris DPW PKB Banten

 

 
 


Opini Terbaru