• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Rabu, 24 April 2024

Opini

Pengajian Umum dan Nahdlatul Ulama Sebagai Refleksi 1 Abad NU

Pengajian Umum dan Nahdlatul Ulama Sebagai Refleksi 1 Abad NU
Pengajian bulanan Abuya Muhtadi. (Ilustrasi)
Pengajian bulanan Abuya Muhtadi. (Ilustrasi)

Oleh: H Sugiyono

Ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar, penulis belum mengetahui apa itu Nahdlatul Ulama (NU). Karena setiap kali pengajian umum Barisan Ansor Serbaguna (Banser) selalu hadir. Dan setiap pengajian selalu ada sambutan Ketua Majelis Wakil Cabang (MWC) NU. Tidak pernah ada peserta pengajian atau mustami’ termasuk penulis yang mempertanyakan kenapa ada sambutan MWC NU dalam pengajian umum. 
 

Tidak peduli pengajian itu dilaksanakan oleh perorangan seperti tasyakuran walimatul arsy, khitanan atau bahkan mushala dan masjid yang menggelar Perayaan Hari Besar Islam (PHBI). Yang pasti, sudah menjadi tradisi MWCNU selalu sambutan dalam setiap acara tersebut.


MWCNU pun juga tidak pernah mempertanyakan sohibul hajat, tuan rumah itu terafiliasi oleh NU atau tidak. Tidak juga mempertanyakan mushala atau masjid itu memakai Qunut jika shalat subuh. Yang jelas, ketika ada pengajian umum, masyarakat datang kepada MWCNU untuk berkonsultasi terkait keemasan acara dan siapa saja tokoh Kiai yang perlu diundang.
 

Masih segar dalam ingatan penulis. Persiapan pengajian umum itu selalu disiarkan oleh pengeras suara yang ditempel mobil pick up. Keliling desa dan kampung-kampung menyiarkan kepada warga untuk ikut hadir. 


“Kepada bapak-bapak, ibu-ibu, adik-adik, mas dan mbak warga Dukuh Sedayu (nama dukuh di kampung penulis) jangan lupa nanti malam hadirilah Pengajian Akbar dalam rangka peringatan Isra’ Mi’raj yang bertempat di masjid A Desa B. Pengajian tersebut akan dihadiri oleh Kiai dan seterusnya,” bunyi suara himbauan.


Disamping itu, himbauan juga disiarkan melalui pengeras suara di masjid atau mushala desa. Juga, disebarkan pamflet kertas hitam putih memuat informasi pengajian yang dimaksud. Sampai penulis pergi mondok, tradisi tersebut masih berjalan dengan baik. Namun, saat ini, himbauan pengajian itu cukup disebar poster pengajiannya melalui pesan elektronik.


Menjelang maghrib, anak-anak sebaya sudah urun rembug di masing-masing masjid dan mushala untuk persiapan berangkat. Waktu itu masih sedikit yang punya motor, maksimal naik sepeda. Jika lokasi pengajian dekat desa sebelah, rombongan jamaah biasanya pawai jalan kaki dengan membawa obor, karena waktu itu minim penerangan tidak seperti sekarang.


Saking banyaknya yang ikut dan tidak di absen. Sebagian ada yang ketinggalan entah karena terpisah, atau karena ketiduran di mushala atau masjid di lokasi pengajian, bangun-bangun suasana sudah sepi, dan penulis pun pernah mengalami. Jika nasib lagi baik ya ada yang mengantar pulang jika lagi tidak mujur harus menunggu pagi pulang sendiri setelah subuh dengan berjalan kaki.


Waktu itu belum ada alat komunikasi tapi jika ada pengajian pasti kompak kumpul di masjid dan mushala masing-masing tepat waktu. Dan Sebagian besar anak-anak pada waktu itu kebanyakan tidurnya di masjid dan mushala. Setiap ada pengajian pasti banyak dan ramai yang menghadiri apalagi mubalighnya Kiai yang sudah terkenal pasti penuh. Dan pasti kebagian snack semua bahkan melimpah karena para tetangga dan dermawan ga usah diminta pasti akan memberikan bantuan tanpa komando.


Saat ini tradisi itu sudah hilang, masjid dan mushala sepi tidak ada yang meniduri, anak-anak zaman sekarang sudah nyaman tidur di rumah masing-masing atau di rumah temannya dibanding masjid dan mushala. Lebih baik nognkrong di café atau nonton konser daripada menghadiri pengajian. Kalaupun datang ke pengajian menjelang acara sudah selesai hanya untuk absen agar bisa menjawab kalau di tanya orang tua karena pulang larut malam.
 

Dari banyak cerita yang penulis dapat, dan seiring berjalannya waktu tradisi tersebut pun bnyak perubahan. Sekarang setiap akan ada pengajian atau kegiatan NU harus bikin proposal dulu untuk mencari bantuan itupun kadang lama menunggu jawaban bahkan ada yang lupa untuk menjawab alih-alih memberi bantuan. 


Panitia diajak rapat susah kalaupun datang juga sudah mau selesai kalau ditanya jawabnya ikut aja apa hasilnya. Begitu pas hari pelaksanaan yang paling banyak ngatur acara dan merasa paling tahu acara. Yang hadir pun sekarang berbeda, dulu orang berebut untuk hadir tanpa diundang khusus karena niatnya adalah thalabul ilmi. 

Tapi sekarang, banyak orang yang minta di undang untuk hadir karena agar dilihat banyak orang dan karena gengsi. Sampai tempat duduk pun harus pesan disampingnya si A atau si B. tapi banyak juga yang di undang NU tapi tidak hadir, entah karena kesibukan atau karena memang menganggap tidak penting menghadiri acara NU.
 

Dulu orang malu-malu diminta sambutan sekarang banyak orang yang berebut ingin sambutan biar dianggap orang penting beneran padahal karena ada tujuan. Zaman itu, menjadi Ketua MWC NU tidak sembarang orang karena harus bisa ngaji, bisa sambutan disetiap pengajian tapi sekarang banyak orang berebut untuk menjadi pengurus NU agar dianggap sebagai ustdaz dan kiai beneran padahal masih banyak yang lebih pantas tapi tidak diberi peluang. Bahkan agar bisa dipilih untuk menjadi pengurus NU banyak juga dengan memberikan uang.


Padahal pesan hadratussyekh Hasyim Asy’ari sudah sangat jelas bahwa siapa yang ngurusi NU akan diakui sebagai santri beliau. Jika di maknai mafhum mukhalafah nya barang siapa yang menjadi beban (memanfaatkan, pen) NU ya jangan berharap menjadi santrinya Mbah Hasyim.
 

Sudah saatnya di usia NU yang sudah memasuki abad ke 2 ini kita sebagai nahdliyin harus muhasabah (introspeksi) diri, apa yang sudah kita berikan kepada NU. Apakah kita sudah layak disebut sebagai warga Nahdliyin seperti yang didawuhkan Mbah Hasyim atau belum? Jangan-jangan kita di NU hanya numpang mencari hidup. Jangan-jangan kita di NU ini hanya numpang cari jabatan. Jangan-jangan kita jadi pengurus NU hanya menjadi batu loncatan untuk kepentingan yang lain.


Kisah masyhur almaghfurlah KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh (Rais Aam 1999-2014) yang menolak fasilitas kamar hotel saat menghadiri acara resepsi NU di hotel berbintang di Surabaya adalah contoh bahwa pengurus NU itu jangan menjadi beban organisasi tapi harus menghidupi NU, jangan malah minta difasilitasi NU.


Tema satu abad “Mendigdayakan NU” harus dipahami bahwa kita sebagai pengurus NU atau warga Nahdliyin harus membesarkan NU bukan ketuanya atau pengurusnya yang besar tapi NU nya kecil bahkan dikesampingkan.


Penulis mengajak kepada semua warga Nahdliyin baik yang jadi pengurus maupun muhibbin jangan pernah menjadikan NU sebagai alat untuk kepentingan pribadi kita. Jangan jadikan NU hanya untuk membesarkan nama kita. Karena NU itu akan malati (membawa sengsara) jika kita hanya memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi yang sifatnya duniawi.
 

Makna “Menuju Kebangkitan Baru” harus kita maknai bahwa dalam mengurus NU harus ada perubahan paradigma. Yang tadinya niatnya belum lurus harus kita luruskan. Yang niatnya sudah lurus harus kita buktikan dengan sebuah tindakan nyata dan konkrit untuk menjadikan NU digdaya tanpa ada embel-embel kepentingan dunia.


Penulis meyakini bahwa jika kita mengurus NU dengan ikhlas, insya Allah NU akan digdaya dengan sendirinya. Jika kita mengurus NU dengan tulus tanpa ada embel-embel apapun NU akan terus bangkit. Begitu juga sebaliknya. Jangan pernah berharap NU bisa digdaya dan bangkit jika paradigma kita dalam pengurus NU hanya untuk kepentingan kita semata.


Orang tidak perlu dipaksa untuk menyumbang kegiatan NU jika kita mengurusnya tidak karena keterpaksaan. Orang akan berebut hadir di acara NU tanpa di undang jika kita mengadakan acara tanpa ada pretensi apapun. Karena NU tidak butuh sumbangan tapi orang yang menyumbanglah yang membutuhkan berkahnya NU. NU tidak butuh kehadiran kalian tapi kalianlah yang harus hadir karena berharap mendapat karamahnya NU.


Pengajian umum yang penulis ceritakan di awal adalah sebuah bukti nyata bahwa NU ada dan besar adalah karena masyarakat meyakini bahwa NU itu membawa berkah dan karamah. Jadi setiap ada hajat apapun harus melibatkan NU. Jika tidak ada NU seakan tidak lengkap dan tidak sempurna. Mudah-mudahan di usianya yang ke 100 tahun ini (26 Rajab 1344 H.-26 Rajab 1444 H.), NU semakin digdaya dan bangkit. Wallahu a’lam.

 

H. Sugiyono, SH.I, MH, Pembina Laskar Santri Nusantara


Opini Terbaru