Setiap makhluk ciptaan Allah telah dianugerahi piranti bawaan yakni sifat kasih sayang. Ini bukan tanpa alasan, karena Allah sendiri adalah Dzat Yang Maha Kasih Sayang. Kasih sayang Allah misalnya diberikan kepada seekor burung yang ketika pagi terbang tinggi dengan kondisi lapar lalu pulang di waktu sore dalam keadaan kenyang, seekor ulat buta yang terjebak dalam lubang bebatuan besar di dasar laut, atau pun janin yang berada di dalam perut ibunya.
Sejurus dengan sifat kasih sayang inilah, bertebaran sabda Nabi Muhammad yang berhasil diabadikan oleh para perawi utama dalam kitab-kitab hadits. “Barang siapa yang tidak menyayangi, maka dia tidak akan disayangi.” (Sahih Bukhari, hadis: 6013). Dalam hadits lain, diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi, terdapat redaksi, “Orang-orang yang memiliki sifat kasih sayang, akan disayangi oleh Allah Yang Maha Penyayang. Sayangilah semua yang ada di bumi, maka semua yang di langit akan menyayangimu. Kasih sayang itu bagian dari rahmat Allah, barang siapa menyayangi, maka Allah akan menyayanginya. Barang siapa yang memutuskannya, maka Allah akan memutuskannya.” (Sunan at-Thirmidzi, hadis:1924).
Kedua hadits tersebut sangat eksplisit dalam memandu umat Islam bagaimana seharusnya berkasih sayang kepada sesama manusia. Menebarkan kasih sayang adalah karakter sejati umat Islam karena agama Islam sesungguhnya dipolakan sebagai pembawa perdamaian dan kasih sayang kepada semua makhluk. Praktik kasih sayang bagi seorang Muslim—misalnya dengan mudah memberikan senyuman, menebar salam dan roman bersahabat, bukan dengan muka penuh kebencian dan sakwa sangka—akan mengikis stigma yang melekat pada sebagian umat Islam yang terjebak pada praktik berislam yang saklek dan tidak lentur, sehingga menimbulkan semacam phobia terhadap ajaran Islam itu sendiri.
Dalam perspektif keindonesiaan, jika kasih sayang diejawantahkan dengan menerapkan sikap saling mengasihi dan menyayangi antar suku, ras, agama, dan antargolongan, maka kohesivitas antaranak bangsa akan menjadi modal dasar untuk mencapai tujuan berbangsa. Namun, keadaan yang terjadi dewasa ini, masih jauh dari ideal. Perbedaan furu’iyah bagi umat Islam, misalnya, haruslah disikapi dengan semangat ukhuwah wathaniyah (persaudaraan bangsa) sehingga kemasan yang tampak adalah keguyuban dalam berbangsa, bukan kesan friksi yang mengemuka.
Ramadhan membawa soliditas dalam kesamaan bertindak, yang ditandai dengan menjalankan ibadah puasa sebagai salah satu tolok ukur keislaman seseorang. Umat Islam sudah sepantasnya digadang-gadang sebagai pembawa nilai perdamaian, keselamatan, dan nilai kasih sayang dengan selalu mempraktikkan ajaran Islam yang moderat tidak ekstrem, karena Islam sejatinya adalah agama dengan ajaran penuh fleksibilitas bukan kompleksitas apalagi terpaku pada kekakuan yang akut.
Hasil akhir pelaksanaan ibadah dalam Ramadhan akan dapat dilihat dan dirasakan manakala tingkat berkasih sayang antarsesama umat Islam menunjukkan tren semakin membaik, ditandai dengan keharmonisan dan menghindari kegaduhan di ruang-ruang publik.
Wallahu ‘Alamu Bishawab
K Hadi Susiono Panduk, Kolumnis Muslim; Rais Syuriyah Majelis Wakil Cabang NU Bayah; Pengurus Pergunu Kabupaten Lebak; dan Pengurus MUI Kabupaten Lebak; Alumnus Pondok Pesantren Al-Khoirot & Sabilillah dan Madrasah Aliyah Nahdlatul Muslimin Kudus; serta Universitas Diponegoro Semarang
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Asyura
2
Katib Syuriyah PWNU Banten: PD-PKPNU Menguatkan Silaturahim dan Sinergitas
3
Kunci Bisnis Itu Fokus, Berani, dan Sinergi
4
Hukum, Keutamaan, dan Niat Puasa Muharram, Termasuk Tasu’a dan Asyura
5
Pengunjuk Rasa soal ODOL Sempat Ditangkap, Ini Kata Ketua PBNU
6
Sinergikan Ekonomi Alumni Krapyak, Sanad Geber Silaturahim dan Kopdar Nasional
Terkini
Lihat Semua