Opini

Tebarkan Kasih Sayang

Jumat, 31 Maret 2023 | 13:51 WIB

Tebarkan Kasih Sayang

Ilustrasi. (Foto: NU Online)

Setiap makhluk ciptaan Allah telah dianugerahi piranti bawaan yakni ‎sifat kasih sayang. Ini bukan tanpa alasan, karena Allah sendiri adalah ‎Dzat Yang Maha Kasih Sayang. Kasih sayang Allah misalnya diberikan ‎kepada seekor burung yang ketika pagi terbang tinggi dengan kondisi ‎lapar lalu pulang di waktu sore dalam keadaan kenyang, seekor ulat buta ‎yang terjebak dalam lubang bebatuan besar di dasar laut, atau pun janin ‎yang berada di dalam perut ibunya.‎

‎ 
Sejurus dengan sifat kasih sayang inilah, bertebaran sabda Nabi ‎Muhammad yang berhasil diabadikan oleh para perawi utama dalam ‎kitab-kitab hadits. “Barang siapa yang tidak menyayangi, maka dia tidak ‎akan disayangi.” (Sahih Bukhari, hadis: 6013). Dalam hadits lain, ‎diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi, terdapat redaksi, “Orang-orang yang ‎memiliki sifat kasih sayang, akan disayangi oleh Allah Yang Maha ‎Penyayang. Sayangilah semua yang ada di bumi, maka semua yang di ‎langit akan menyayangimu. Kasih sayang itu bagian dari rahmat Allah, ‎barang siapa menyayangi, maka Allah akan menyayanginya. Barang siapa ‎yang memutuskannya, maka Allah akan memutuskannya.” (Sunan at-‎Thirmidzi, hadis:1924).‎

‎ 
Kedua hadits tersebut sangat eksplisit dalam memandu umat Islam ‎bagaimana seharusnya berkasih sayang kepada sesama manusia. ‎Menebarkan kasih sayang adalah karakter sejati umat Islam karena agama ‎Islam sesungguhnya dipolakan sebagai pembawa perdamaian dan kasih ‎sayang kepada semua makhluk. Praktik kasih sayang bagi seorang ‎Muslim—misalnya dengan mudah memberikan senyuman, menebar ‎salam dan roman bersahabat, bukan dengan muka penuh kebencian dan ‎sakwa sangka—akan mengikis stigma yang melekat pada sebagian umat ‎Islam yang terjebak pada praktik berislam yang saklek dan tidak lentur, ‎sehingga menimbulkan semacam phobia terhadap ajaran Islam itu sendiri.‎

‎ 
Dalam perspektif keindonesiaan, jika kasih sayang diejawantahkan ‎dengan menerapkan sikap saling mengasihi dan menyayangi antar suku, ‎ras, agama, dan antargolongan, maka kohesivitas antaranak bangsa akan ‎menjadi modal dasar untuk mencapai tujuan berbangsa. Namun, keadaan  ‎yang terjadi dewasa ini, masih jauh dari ideal. Perbedaan furu’iyah bagi ‎umat Islam, misalnya, haruslah disikapi dengan semangat ukhuwah ‎wathaniyah (persaudaraan bangsa) sehingga kemasan yang tampak adalah ‎keguyuban dalam berbangsa, bukan kesan friksi yang mengemuka.‎

‎ 
Ramadhan membawa soliditas dalam kesamaan bertindak, yang ditandai ‎dengan menjalankan ibadah puasa sebagai salah satu tolok ukur ‎keislaman seseorang. Umat Islam sudah sepantasnya digadang-gadang ‎sebagai pembawa nilai perdamaian, keselamatan, dan nilai kasih sayang ‎dengan selalu mempraktikkan ajaran Islam yang moderat tidak ekstrem, ‎karena Islam sejatinya adalah agama dengan ajaran penuh fleksibilitas ‎bukan kompleksitas apalagi terpaku pada kekakuan yang akut.‎

‎ 
Hasil akhir pelaksanaan ibadah dalam Ramadhan akan dapat dilihat dan ‎dirasakan manakala tingkat berkasih sayang antarsesama umat Islam ‎menunjukkan tren semakin membaik, ditandai dengan keharmonisan dan ‎menghindari kegaduhan di ruang-ruang publik.‎

‎ 
Wallahu ‘Alamu Bishawab

‎ 
K Hadi Susiono Panduk, Kolumnis Muslim; Rais Syuriyah Majelis ‎Wakil Cabang NU Bayah; Pengurus Pergunu Kabupaten Lebak; dan ‎Pengurus MUI Kabupaten Lebak; Alumnus Pondok Pesantren Al-‎Khoirot & Sabilillah dan Madrasah Aliyah Nahdlatul Muslimin Kudus; ‎serta Universitas Diponegoro Semarang