• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Kamis, 28 Maret 2024

Syariah

Rasulullah Haramkan Bisnis dengan Cara Menimbun

Rasulullah Haramkan Bisnis dengan Cara Menimbun
Sumber Gambar: NU Online
Sumber Gambar: NU Online

Islam adalah agama syumul (sempurna-ed), memberikan seperangkat nilai dan moral yang dapat dijadikan sebagai pegangan umat manusia dalam laku kehidupannya. Memadukan antara nilai material dan spiritual ke dalam satu keseimbangan yang menyeluruh. Salah satunya di bidang ekonomi dan bisnis.


Dalam Islam, bisnis dipandang bukan sekedar aktivitas duniawi saja, lebih dari itu bisnis juga aktivitas spiritual. Sebab, aspek-aspek dalam dunia bisnis bertalian erat dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh Islam. Seperti, kejujuran, tanggung jawab, tolong menolong dan lain sebagainya. Karenanya, Islam telah menggariskan sistem nilai dan etika untuk dijadikan mode dalam berbisnis.


Dirangkum dari buku Terjemahan Subulussalam III bab Al-Buyu’ karya Abubakar Muhammad (Al-Ikhlas, 1995), berikut adalah mode berbisnis yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW.


Menjunjung tinggi kejujuran


Jujur berarti suatu keputusan untuk mengungkapkan perasaan melalui perkataan atau perbuatannya. Tidak memanipulasi realitas demi memperoleh keuntungan. Dalam Islam kejujuran adalah identitas. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
 

عَنْ  أَبِي  هُرَيْرَةَ  رضي  الله  عنه  أَنَّ  رَسُولَ  اللَّهِ  صلى  الله  عليه  وسلم  مَرَّ عَلَى  صُبْرَةِ  طَعَامٍ، فَأَدْخَلَ  يَدَهُ  فِيهَا

، فَنَا لَتْ أَصَا بِعُهُ  بَلَلًا  فَقَالَ: "مَا  هَذَا  يَا  صَا حِبَ  الطَّعَا مِ "، قَالَ : أَصَا بَتْهُ  السَّمَاءُ  يَا رَسُولَ  اللَّهِ، قَالَ : " أَفَلَا  جَعَلْتَهُ

فَوْقَ  الطَّعَامِ ؛ كَيْ  يَرَ اهُ  النَّاسُ ، مَنْ  غَشَّ  فَلَيْسَ  مِنِّي  (رواه مسلم) 


“Dari Abi Huraira r.a sesungguhnya Rasulullah Saw melewati setumpuk makanan; lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, lalu jari-jari tangannya mengenai yang basah, lalu beliau bersabda: apakah ini wahai pemilik bahan makanan? Dia menjawab: ditimpa hujan ya Rasulullah,  beliau bertanya kepadanya: mengapa kamu tidak meletakkan yang basah itu di atas bahan makanan itu agar dilihat orang? Barang siapa yang menipu orang, maka dia bukan termasuk ummatku”  (HR Muslim).


Kejujuran merupakan prasyarat utama dalam berbisnis. Jika bisnis didasarkan pada kebohongan, berarti ia sedang menutup pintu rezeki rapat-rapat. Rasulullah dengan tegas melarang pedagang meletakkan barang busuk di bawah barang bagus. Dari hadis di atas dapat dipahami, sebagai pelaku bisnis selain mencari keuntungan juga harus bermanfaat untuk sesama.


Menghindari sumpah palsu
 

Mencari kesepakatan dalam bisnis adalah hal yang wajar. Sebab bisnis memang arena tawar menawar. Namun, tawar menawar yang baik adalah dengan tidak melakukan sumpah palsu. Dalam salah satu firman Allah Swt ada satu firman yang secara terang-terangan memberikan keterangan mengenai akibat jika bersumpah palsu:  


إِنَّ الَّذِينَ يَشْتَرُوْنَ بِعَهْدِ اللهِ وَأَيْمَانِهِمْ ثَمَنًا قَلِيْلاً أُولَئِكَ لاَ خلاَقَ لَهُمْ فِي االْآخِرَةِ وَلاَيُكَلّمُهُمُاللهُ وَلاَيَنْظُرُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ

الْقِياَمَةِ وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ (١لعمر١ن – ٧٧)


“Sesunguhnya orang-orang yang menjual (menukar) janji Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit (murah) makan mereka itu tidak mempunyai bagian pahala di akhirat, dan Allah tidak mau berkata-kata dengan mereka dan tidak mau memandang mereka pada hari kiamat kelak dan Allah tidak akan menyucikan mereka. Bagi mereka siksaan yang pedih. (QS. Al-Imran: 77)


Ibnu Abi Aufa menjelaskan sebab turunnya ayat di atas ialah terdapat seorang laki-laki yang menjual barang dagangannya disertai sumpah dengan nama Allah bahwa barang tersebut sudah ditawar dengan harga tinggi padahal tidak. Dan ayat tersebut turun untuk menegur praktik jual beli seperti itu.


Ukuran keberkahan dalam berbisnis dapat diraih jika antara pedagang dan pembeli sama-sama ridho. Keridhoan dapat diraih jika asas keadilan dijadikan dasar dalam kegiatan ini. Adil dalam arti keseimbangan antara harga dan barang, sehingga antara pembeli dan penjual bisa saling ridho.

 

Tidak melakukan penimbunan barang (Ihtikar)


Dalam salah satu hadis riwayat Imam Muslim, Rasulullas Saw. menegaskan bahwa menimbun barang adalah berdosa:
 

عَنْ مُعَمَّرِ بْنِ عَبْدِاللهِ رَضِى اللهُ عَنْهُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ لا يَحْتَكِرُ اِلاَّخَا طِئٌ

(رواه مسلم)


“Dari Ma’mar bin Abdullah r.a dari Rasulullah SAW bersabda: Tidak akan menimbun barang kecuali orang yang berdosa” (HR. Muslim).


Menimbun barang yang dibutuhkan banyak orang dengan tujuan menjualnya kembali ketika harga naik merupakan perilaku zalim. Dalam berbisnis, Islam menjunjung nilai-nilai keadilan. Asas keadilan dalam bisnis Islam ada tiga yaitu, asas tidak berlebihan, asas persamaan, dan asas pemerataan distribusi.


Asas tidak berlebihan berarti tidak melakukan konsumsi yang berlebih. Asas persamaan berarti setiap individu harus mendapatkan haknya dan tidak mengganggu hak orang lain. Asas pemerataan distribusi berarti anti monopoli, feodalistik, jaminan atas hak dan kesempatan pada kegiatan ekonomi (produksi, distribusi, konsumsi) dan jaminan atas pemenuhan kebutuhan dasar hidup.


Islam memang menempatkan bisnis sebagai jalan terbaik untuk mengais rezeki. Bahkan ada ungkapan, sembilan dari sepuluh pintu rezeki adalah berniaga. Karenanya, pemahaman atas moral bisnis sangat diperlukan. Terutama bagi pelaku bisnis. Segala kegiatan bisnis harus dilakukan dengan cara terbaik sesuai dengan mode yang dilakukan oleh Rasulullah Muhammad saw. Sehingga bisnis yang dijalankan tidak merugikan orang lain dan mendapat keberkahan dari Allah SWT.



Nurhidayat, Pegiat Lembaga Pendidikan, Keagamaan dan Kebudayaan Desantara Foundation


Syariah Terbaru