• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Jumat, 26 April 2024

Ubudiyyah

Bagaimana adab orang yang mempunyai ilmu?

Bagaimana adab orang yang mempunyai ilmu?
Ilustrasi (Foto: Ist)
Ilustrasi (Foto: Ist)

Apabila kita melihat platform digital zaman sekarang seperti instagram, facebook, youtube dll. Tanpa disadari, kita akan melihat banyak orang yang membuat konten yang berisi permasalahan agama. Pada sesaat mungkin hal itu merupakan kemajuan bagi agama itu sendiri karena dapat mempermudah pemeluknya dalam belajar agama. Namun tanpa disadari bahwa pembuat konten tersebut bukanlah orang yang memang mendalami akan ilmu agama, yang pada akhirnya akan membuat kekeliruan dalam memahaminya dan yang terparah dapat menyesatkan orang lain.

 

Berkenaan dengan peristiwa tersebut, Rasulullah saw. telah memperingatkan kita pada 15 abad yang lalu akan hal ini. Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dalam kitab sunannya, Nabi Muhammad saw bersabda:

 

مَنْ أُفْتِيَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ إِثْمُهُ عَلَى مَنْ أَفْتَاهُ. رواه ابو داود

 

Artinya: “Barang siapa yang diberi fatwa tanpa dengan ilmu maka dosanya ditanggung orang yang memberi fatwa.” (HR. Abu Dawud).

 

di atas terdapat pernyataan yang jelas dari Rasulullah saw. mengenai peringatan bagi seseorang yang menyebarkan ilmu kepada orang lain, namun dia belum mengetahui ilmu tersebut. Berkenaan dengan Hadis di atas Syekh Muhammad Syamsul Haq Az-Zimabadi memberikan penjelasan dalam kitabnya 'Aunul Ma’bud 'ala Sunani Abi Dawud, beliau menyebutkan bahwa barang siapa yang terjatuh dalam kesalahan karena mengikuti fatwa seseorang, maka dosa bagi orang yang memberikan fatwa dan hal ini terjadi apabila kesalahan terdapat pada tempat yang tidak diperbolehkan untuk berijtihad, seperti sesuatu yang sudah jelas dalilnya terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis.

 

Dan hal ini juga terjadi apabila orang yang memberi fatwa namun belum sampai pada derajat tersebut, misalnya seperti seseorang yang ditanyakan sesuatu mengenai permasalahan agama, kemudian dia langsung menjawab tanpa didasari oleh ilmu pengetahuan. Maka yang ditakutkan orang tersebut akan menjadi sesat dan menyesatkan. (Syekh Muhammad Syamsul Haq Az-Zimabadi, 'Aunul Ma’bud 'ala Sunani Abi Dawud, Beirut: Dar al-Kutub, 1994, juz X, halaman 65).

 

Syekh Muhammad Nawawi Al-Jawi Al-Bantani yang merupakan salah satu ulama kebanggaan Indonesia juga menulis akan hal ini dalam kitabnya Qomi ath-Tughyan ala Manzumati Syuabil Iman, beliau dalam kitabnya menyebutkan tiga tanda dari orang yang mempunyai ilmu untuk akhirat:

 

Pertama, Dirinya tidak mencari dunia dengan ilmu yang dia punya. Maksudnya dalam mengamalkan ilmunya dia tidak mengharapkan dunia dan hanya mencari keridaan dari Allah swt semata.

 

Kedua, Dirinya lebih suka menyibukkan dengan ilmu-ilmu yang membawa kebaikan pada akhirat, seperti yang berkaitan dengan ilmu batin untuk menyiasati hatinya.

 

Ketiga, Dirinya berpegang teguh dengan ilmu yang dia punya dan mengikuti Rasulullah saw dalam perkataan dan perbuatannya.

 

Jika di atas beliau menyebutkan beberapa ciri orang yang mempunyai ilmu dan hanya digunakan untuk akhirat, maka kemudian beliau juga menyebutkan beberapa ciri akhlak bagi orang yang mempunyai ilmu dan tidak digunakan untuk mencari dunia, adapun ciri-cirinya adalah sebagai berikut:

 

Pertama, apa yang dia ucapkan selalu sesuai dengan apa yang dia lakukan, dan dia juga menjadi orang pertama yang melakukan perkara yang diperintah dan menjadi orang pertama yang meninggalkan perkara yang dilarang.

 

Kedua, dia senantiasa menjaga ilmu sesuai dengan kemampuannya dan senang dalam melaksanakan ketaatan, juga menjaga dirinya dari ilmu yang dapat membuat banyak kontroversi.

 

Ketiga, dia senantiasa menjaga dirinya dari kemewahan dalam makanan, tempat tinggal, kendaraan, dan pakaian.

 

Keempat, dia menahan dari bergaul secara dekat dengan pemimpin, kecuali untuk menasehatinya, atau untuk menghindarkan dari kezaliman, atau untuk menjadi perantara demi tergapainya rida Allah swt

 

Kelima,  tidak tergesa-gesa dalam memberi fatwa dan harus berhati-hati terhadapnya, bahkan beliau menganjurkan apabila ada orang yang bertanya, maka katakanlah “Pergilah ke Fulan, dia lebih mengetahui dari saya”. Hendaknya dia  juga tidak memberi fatwa apabila tidak dimintakan fatwanya. Dan dia harus berkata “saya tidak tau” apabila dia benar-benar tidak mengetahuinya. (Syaikh Muhammad Nawawi Al-Jawi, Qomi ath-Tughyan ala Manzumati Syuabil Iman, Jakarta: Dar al-Kutub, 2008)

 

Cukuplah penjelasan dari beliau untuk menguatkan dalam menjelaskan Hadis di atas yang telah disebutkan, begitu juga ini merupakan peringatan bagi kita agar ilmu-ilmu yang kita miliki tidak terindikasi sebagai ilmu yang hanya digunakan untuk mencari dunia belaka.

 

Tentu saja mulut dan lidah sangat mudah untuk bergerak, namun sebagai manusia yang berinteraksi dengan orang lain, kita haruslah bijak dalam memilah dan memilih kata apa yang akan keluar dari mulut kita.

 

Kita juga harus berjuang untuk lebih giat menggali ilmu lebih dalam, agar ilmu yang kita ucapkan dan sebarkan kepada orang lain mempunyai pijakan yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan kelak.
Wallahu a’lam bish-shawwab.

 

Faidhur Rahman, Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Aktifis PMII Ciputat. 
 


Editor:

Ubudiyyah Terbaru