• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Sabtu, 20 April 2024

Ubudiyyah

Belajar Ilmu Infak dari Seorang Anak

Belajar Ilmu Infak dari Seorang Anak
KH Nasuha Abu Bakar (Ustaz Dzul Birri)
KH Nasuha Abu Bakar (Ustaz Dzul Birri)

Oleh: KH Nasuha Abu Bakar (Ustaz Dzul Birri)

 

 

 

Siapa bilang belajar harus kepada seorang guru? Tidak selamanya kita belajar kepada seorang guru. Kadang-kadang kita bisa belajar dan memperoleh ilmu melalui lembaga formal seperti sekolah, kampus, Lembaga-lembaga kursus dan pelatihan.

 

Belajar model seperti ini biasanya dibatasi oleh tempat atau ruang. Waktunyapun ditentukan apakah pekan, triwulan atau semester. Belajar seperti ini mendapatkan ilmunya sedikit karena yang mengajarkannya pun kesempatannya sedikit juga.

 

Adakalanya kita bisa belajar kepada alam sekitarnya, bisa mendapatkan pelajaran dengan memperhatikan kebaikan matahari yang selalu hadir di waktu pagi untuk keperluan umat manusia tanpa pamrih sedikitpun. Matahari terbit dengan cahayanya tidak pernah mengharapkan kebaikan, dan manusia ataupun makhluk Allah SWT lainnya.

 

Belajar kepada alam sekitarnya tidak terbatas objeknya, tidak terbatas waktu dan masanya. Tidak terbatas juga gurunya, dan biasanya hasilnya lebih dapat diresapi oleh hati sanubari.

 

Kadang kita tidak menyadari ternyata bisa saja pada suatu peristiwa, yang menjadi guru kita adalah orang yang sangat dekat dengan kita, bahkan sering tidak diperhitungkan. Misalnya saja, anak-anak, istri, pembantu rumah tangga, tukang kebun, langganan tukang potong rambut, penarik sampah di lingkungan tempat kita tinggal, para santri, dan banyak lagi lainnya.

 

Kadang, guru yang sesungguhnya bukan seorang guru. Tetapi kata-katanya benar-benar menjadi petuah dan nasihat yang sangat berharga. Dalam pengajian rutin malam Jum'at Kliwon, saya ceritakan bahwa ketika saya sedang asyik memperhatikan tingkah laku burung kenari yang sedang berusaha menyenangkan tuannya, dengan suaranya yang merdu, melengking, suara nge-roll-nya sangat panjang seperti jalan tol, tiba-tiba saya dikejutkan dengan suara gitar seorang pengamen yang sudah berdiri di depan rumah.

 

Saya panggil anak perempuan nomor tiga untuk memberikan uang kepada pengamen yang sedang berusaha menghibur dengan tarikan suara yang diiringi petikan gitar. Maksud hati ingin mendidik putri saya supaya menjadi orang yang pemurah.

 

Pada saat itu, saya menyerahkan uang kertas pecahan dua ribuan. Alangkah terkejutnya, saya benar-benar tersentak sekaligus malu dengan putri saya juga kepada pengamen. Dia bilang, ”Jangan Rp2 ribu Yah...., masa cuman Rp2ribu? Kalau dikasihnya cuma Rp2 ribu, belum dapat beli nasi bungkus,” kata putri saya yang baru lima tahun.

 

”Cukup Rp2 ribu saja, nanti dia keliling ngamennya. Orang-orang juga nanti kasih uang juga deee,” saya mencoba memberikan penjelasan kepada putri saya.

 

”Orang lain belum tentu kasih uang Yaaah... Kasihan dia. Kasih saja Rp10 ribu, pasti dia bisa beli nasi bungkus,” dia merayu, sambil menjelaskan seolah-olah saya ini belum terbuka jiwa dan sifat pemurahnya.

 

Saat itulah, saya benar-benar terasa mendapatkan pelajaran tentang infak dan shodaqoh dari anak bontot saya. Padahal sesungguhnya saya juga memahami mengenai keuntungan dan keutamaan berinfak serta bershodaqah.

 

Para kiai, guru-guru ngaji saya dulu sudah mengajarkan teorinya, dan putri saya yang mengajarkan infak dan shodaqoh secara langsung. Saat itu, jujur saya katakan sangat malu kepada pengamen, tetapi rasa malu itu hilang seketika karena adanya perasaan bangga terhadap nasihat kemuliaan dan seorang putri usia lima tahunan.

 

Pernah juga putri saya mengajarkan sikap ikhlas. Dia minta uang untuk membeli air mineral dan roti, kemudian diberikan kepada orang gila. Tidak ada orang yang berbagi kepada orang gila. Pasti pahalanya banyak dan tidak mengharap dibalas kebaikan dari orang gila. Wallaahu 'alamu bish shawaab wa ilahil musta'aan.

 

*Penulis adalah Pengurus MUI Banten


Ubudiyyah Terbaru