• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Sabtu, 27 April 2024

Ubudiyyah

Kemuliaan I’tikaf saat Ramadhan

Kemuliaan I’tikaf saat Ramadhan
I'tikaf di masjid menjadi amalan yang sangat dianjurkan pada Bulan Ramadhan. (ilustrasi dok. NU Online)
I'tikaf di masjid menjadi amalan yang sangat dianjurkan pada Bulan Ramadhan. (ilustrasi dok. NU Online)

Saat Ramadhan, umat Islam dianjurkan melakukan banyak ibadah. Tujuannya supaya mendapatkan keutamaan yang terdapat pada bulan suci tersebut. Banyak sekali kegiatan ibadah yang dapat dilaksanakan. Baik perorangan maupun berjamaah. Baik di rumah maupun di luar rumah seperti masjid.

 

 

 

Bahkan penekanan anjuran tersebut semakin kuat disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Di antaranya ketika sudah memasuki hari ke-10 terakhir Ramadhan. Ini terpotret dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:

 

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ

 

Artinya: Dari Sayyidatina 'Aisyah Radliyallahu'anha berkata, "Nabi bila memasuki sepuluh akhir (Ramadan), mengencangkan sarungnya, menghidupkan malamnya dengan beribadah dan membangunkan keluarganya".

 

Berkenaan dengan redaksi hadits di atas yang berbunyi “mengencangkan sarungnya”, Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani dalam Syarah Shohih Bukhari menjelaskan, hal itu merupakan sebuah kinayah atau perandai-andaian dari kesiapan Nabi Muhammad untuk beribadah dan bersemangat dalam melakukannya lebih dari biasanya. (Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani, Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, Beirut: Dar Ma’rifah, 1959, juz IV, halaman 269).

 

Dan salah satu amalan yang Nabi Muhammad lakukan pada 10 hari terakhir Ramadhan adalah i’tikaf. I’tikaf mempunyai makna berdiamnya seseorang di masjid dengan niat tertentu. Berikut Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya:

 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ  عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانٍ عَشَرَةَ أَيَّامٍ، فَلَمَّا كَانَ العَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا

 

Artinya:

Dari Abu Hurairah RA, berkata, Nabi selalu beriktikaf pada Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Nabi beri’tikaf selama dua puluh hari".

 

Mengenai hadits tersebut Imam Ibnu Hajar menjelaskan bahwa Imam Bukhari meletakkan hadits tersebut dalam bab “I’tikaf di 10 hari pertengahan Ramadhan. Ini menggambarkan bentuk pembolehan Imam Bukhari bahwa I’tikaf tidak harus dilaksanakan pada sepuluh hari terakhir Ramadhan dan bisa dilaksanakan kapanpun. (Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani, Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, juz IV, halaman 285).

 

Senada dengan yang dijelaskan oleh Syaikh Zakariya Al-Anshori dalam Fathul Wahab. Dijelaskan bahwa I’tikaf merupakan kesunnahan yang dapat dilaksanakan kapanpun, meskipun waktu afdhol melakukannya tetap berada di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Ini dikarenakan mengharap mendapat keutamaan malam lailatul qadar. (Imam Zakariya Al-Ansori, Fathul Wahab Syarh Minhaj Thulab, Beirut: Dar al-Fikr, 1994, juz 1, halaman 147).

 

Yang perlu diketahui, syarat-syarat iktikaf adalah: Pertama, niat. Ini sebagaimana ibadah-ibadah yang lainnya. Apabila tidak ada niat, maka ibadah menjadi tidak sah. Apabila i’tikaf yang dilaksanakan adalah I’tikaf karena bernadzar maka niatnya harus ditambahkan wajib karena melaksanakan nadzar.

 

Kedua, berdiam di masjid. Berdiam di sini tidak cukup apabila hanya sebatas waktu seperti thoma’ninah dalam shalat.  Dihukumi berdiam ketika sudah lebih lama dari waktu tersebut.

Mengenai masjid, Mazhab Syafii berpendapat bahwa setiap masjid dapat digunakan untuk i’tikaf. Lebih utama jika masjid tersebut menggelar salat Jumat.

 

Selain itu, orang yang I’tikaf harus  beragama Islam, mempunyai akal ketika melakukan I’tikaf, dan suci dari hadats besar, seperti haid, nifas, atau jinabat (Syaikh Ibnu Qosim Al-Ghozi, Fathul Qorib Mujib fi Syarh Alfazh Taqrib, Beirut: Dar Al-Fikr, 2005, halaman 142).

 

Demikianlah hal-hal yang berkaitan dengan I’tikaf. Semoga kita dapat melanggengkannya di setiap waktu, lebih-lebih ketika Ramadhan. Amin. Wallahu A’lam


Ubudiyyah Terbaru