Rihlah ibadah haji merupakan keparipurnaan spiritualitas seorang Muslim karena dalam pelaksanaannya terjadi persenyawaan antara ibadah yang melibatkan fisik dan harta.
SUATU ketika Nabi Muhammad ditanya oleh para sahabat tentang perbuatan apa yang paling utama. Lantas Rasulullah menyebutkan levelitas secara berturut-turut: iman kepada Allah dan Rasulnya, jihad fi-sabilillah dan haji mabrur (Shahih Bukhari, 2020, Dar al-Kotob al-Ilmiyah -Bairut, hadits nomor 1519).
Dalam sebuah hadits yang berhasil dipotret oleh perawi utama, Imam Muslim, bernomor hadist 1349, Allah memberikan ganjaran surga kepada seseorang yang berhasil mendapatkan haji mabrur— sebuah predikat bergengsi dan dambaan umat Islam dalam melaksanakan ibadah haji, yang diwajibkan sekali seumur hidup (Shahih Muslim, 2019, Dar al-Kotob al-Ilmiyah -Bairut, hadits nomor 1337).
Tentang dahsyatnya kemabruran haji juga dikisahkan oleh Aisyah Binti Thalhah, ia berkata: Aisyah Ummul Mu’minin memberitahuku, dia berkata: “Wahai Rasulullah, kita mengetahui bahwa jihad adalah seutama-utama amalan. Maka dari itu, apakah kita (kaum wanita) tidak baik mengikuti jihad?” Beliau lalu menjawab, “Bagi engkau semua kaum wanita, maka sebaik-baik jihad adalah mengerjakan haji yang mabrur.” (Shahih Bukhari, 2020, Dar al-Kotob al-Ilmiyah -Bairut, hadits nomor 1520).
Baca Juga
Khutbah Jumat: Haji Mabrur
Dalam berbagai sabda Nabi Muhammad saw tentang kemabruran haji, terdapat satu kata kunci, keyword, yakni “mabrur.” “Mabrur,” menurut Ibnu Khalawayh berarti makbul (diterima). Pendapat ulama lainnya, termasuk Imam an-Nawawi, “mabrur,” memiliki makna suatu ibadah yang tidak tercampur dengan dosa.
Sedangkan Imam al-Qurthubi, berpandangan haji mabrur adalah haji yang telah terpenuhi ketentuan-ketentuannya dan telah menenuhi apa yang dituntut dari orang yang melakukan ibadah haji dengan cara yang paling sempurna (al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, 2021, Fathul Bari, Dar al-Kotob al-Ilmiyah -Bairut, jilid 4, hal:329).
Lebih lanjut, Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menekankan bahwa haji mabrur, menurut pendapat yang popular, adalah haji yang kalis dari dosa, disertai dengan kebaikan yakni ketaatan (Imam an-Nawawi, 2019, Syarah Shahih Muslim, Dar al-Kotob al-Ilmiyah -Bairut, jilid 9, hal:99).
Terdapat juga pendapat dari Syekh Wahbah az-Zuhaili bahwa kemabruran haji dapat dilihat ketika kepulangan seseorang pasca-menunaikan ibadah haji lebih baik daripada sebelum berhaji (al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 2020, Darul Fikri-Damaskus, juz 3, hal:31).
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Natijahnya, jelas bahwa adalah termasuk orang yang sangat merugi jika telah diberikan kesempatan berhaji, akan tetapi tidak all out memburu kemabruran haji dan melakukan berbagai pelanggaran, baik ketika masih di Tanah Air maupun pada saat berada di Tanah Suci. Mereka yang sudah berhaji, hendaknya dapat mengambil tanbih serta hikmah dari rangkaian ritus ibadah haji yang melelahkan fisik, namun sarat dengan getaran jiwa yang akan dibawa pulang ketika kembali ke rumah masing-masing.
Salah satu oleh-oleh spiritual yang fundamental adalah haji mabrur, yang ditandai bukan hanya dengan menjadi saleh secara personal, akan tetapi juga, menjadi saleh secara komunal dengan terus mengajegkan serta memasifkan pancaran transmisi laku kebaikan kepada kesemestaan alam.
Wallahu a’lamu bisshawab
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Kiai Hadi Susiono Panduk, Kolumnis Muslim Kelahiran Undaan Kidul, Kudus, Jawa Tengah; Alumnus Pondok Pesantren Sabilillah, al-Khoirot dan MA Nahdlatul Muslimin, Kudus dan Universitas Diponegoro Semarang; Wakil Rais Syuriyah PCNU Kabupaten Lebak; Pengurus MUI Kabupaten Lebak; Dewan Pakar ICMI Orwil Banten; dan Majelis Pakar P2i Provinsi Banten
ADVERTISEMENT BY OPTAD
ADVERTISEMENT BY ANYMIND