Jakarta

Akademisi Unusia: Identitas Kultural Tak Sekadar Simbol Sejarah

Selasa, 10 Juni 2025 | 16:53 WIB

Akademisi Unusia: Identitas Kultural Tak Sekadar Simbol Sejarah

Akademisi Unusia Muhammad Aras Prabowo (dua dari kanan). (Foto: Dok Pribadi)

Tangerang Selatan, NU Online Banten

Akademisi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Muhammad Aras Prabowo mengatakan, upaya pelestarian budaya lokal di tengah arus modernisasi global menjadi semakin mendesak. Identitas kultural seperti bahasa dan tulisan daerah bukan hanya simbol sejarah, tetapi juga fondasi nilai-nilai kolektif masyarakat.



’’Aksara Lontara sebagai warisan intelektual Bugis-Makassar memiliki kekayaan filosofis dan literasi yang sangat tinggi, dan sudah seharusnya ditransmisikan secara sistematis ke generasi muda,’’ ujarnya pada peluncuran program budaya bertajuk Sekolah Lontara, sebuah inisiatif pendidikan nonformal yang berfokus pada pelestarian bahasa, aksara, dan kearifan lokal Bugis-Makassar yang digelar hybrid di Menteng, Jakarta, Ahad (8/6/2025).


Aras yang dikenal sebagai peneliti dan pemerhati budaya Sulawesi Selatan (Sulsel) melanjutkan, budaya Bugis tidak hanya kaya dalam tradisi dan bahasa, tetapi juga memiliki sistem ekonomi asli yang relevan dengan perkembangan zaman. "Suku Bugis memiliki sebuah sistem ekonomi yang mapan dan masih sustainable sampai saat ini. Sistem tersebut adalah konsep teseng atau bagi hasil, atau dalam bahasa kontemporer dikenal sebagai profit sharing dalam sistem kapitalisme," terang ekonom itu dalam rilis yang diterima NUOB.


Dijelaskan, teseng adalah konsep asli dari masyarakat Bugis yang lahir dari semangat gotong royong, kepercayaan, dan keadilan dalam hubungan ekonomi. Menariknya, menurut Aras, sistem ini memiliki kemiripan dengan sistem bagi hasil yang dikenal di berbagai wilayah Indonesia, dari Aceh hingga Papua.


"Saya meyakini, bahwa konsep bagi hasil adalah original sistem ekonomi Nusantara. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat kita sejak lama telah memiliki sistem ekonomi yang adil dan berorientasi pada kesejahteraan bersama," tambahnya.

 


Oleh karena itu, Aras mendorong agar diskursus seputar ekonomi budaya lokal seperti teseng dapat diangkat dalam kurikulum Sekolah Lontara. Apalagi pembahasan kebudayaan seharusnya tidak berhenti pada aspek simbolik dan estetika, tetapi juga menyentuh dimensi sosial ekonomi dan kebijakan.



Sedangkan Ketua Panitia Muhammad Hajrin Nur menyampaikan bahwa Sekolah Lontara yang diluncurkan Ikatan Mahasiswa Sulawesi Selatan Cabang DKI Jakarta merupakan bentuk konkret kepedulian generasi muda terhadap pelestarian identitas budaya Bugis-Makassar.



Editor: M Izzul Mutho Masyhadi