• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Minggu, 28 April 2024

Keislaman

Mengapa Lebaran Sebaiknya Ikut Pemerintah?

Mengapa Lebaran Sebaiknya Ikut Pemerintah?
ilustrasi (NU Online)
ilustrasi (NU Online)

FENOMENA perbedaan hari raya umat Islam beberapa kali terjadi di Indonesia. Organisasi tertentu terkadang memutuskan untuk melaksanakan Lebaran Haji lebih awal dari ketetapan pemerintah. Alasan yang digunakan karena hari tersebut bersesuaian dengan putusan Pemerintah Arab Saudi dalam menentukan waktu ibadah wukuf bagi para jamaah haji.

Tentu alasan ini tidak dapat menjadi patokan untuk menentukan pelaksanaan ibadah Idul Adha di wilayah yang berbeda dengan Kota Makkah. Penetapan rukyatul hilal tidak dapat mengacu pada suatu wilayah tertentu seperti Makkah. Sebab barometer penentuan rukyatul hilal itu berdasarkan pada terlihatnya anak bulan di wilayah masing-masing regional.

Boleh Jadi di Makkah hari ini anak bulan sudah terlihat sedangkan di Indonesia belum. Perbedaan itu juga tampak nyata dalam masalah perbedaan waktu shalat antarwilayah. Di Makkah, misalnya, saat ini telah masuk kumandang adzan maghrib sedangkan di Indonesia masih belum masuk waktu dhuhur.

Allah berfirman di dalam Surat Al-Baqarah Ayat  189:

يَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِىَ مَوَٰقِيتُ لِلنَّاسِ وَٱلْحَجِّ ۗ

’’Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.’’

Ayat ini menegaskan tentang penetapan waktu bagi manusia dan berhaji yaitu berpatokan pada kekuatan rukyatul hilal. Para mufassir meyakini bahwa anak bulan yang muncul di setiap wilayah tidaklah sama. Perbedaan ini pernah terjadi pada zaman Abdullah Bin Abbas di Madinah.

Pada saat itu salah seorang sahabat bernama Quraid baru pulang dari Negeri Syam, yang jaraknya sekitar seribu kilo dari Kota Madinah. Quraid memberikan informasi jika penduduk Syam berpuasa lebih awal ketimbang masyarakat Madinah. Perbedaan itu tidaklah ditentang oleh para sahabat.

Berkaitan dengan perbedaan hilal, Nabi juga tidak mempermasalahkan. Hal ini sebagaimana disampaikan dalam sebuah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi:

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

"Hari puasa adalah hari ketika orang-orang berpuasa, Idul Fitri adalah hari ketika orang-orang berbuka, dan Idul Adha adalah hari ketika orang-orang menyembelih.”

Konteks hadits ini juga mengisyaratkan bahwa pelaksanaan puasa dan idul Adha harus dilakukan secara bersama-sama dengan jamaah. Makna jamaah dipahami oleh sebagian mufassir, termasuk Imam At-Tirmidzi, dengan makna sultan atau pemerintah. Pandangan ini berkaitan dengan Firman Allah dalam Surat An Nisa Ayat 59:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ

Artinya: ’’Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.’’

Ayat ini menegaskan tentang kewajiban untuk tunduk kepada pemerintah selama tidak memerintahkan kepada tindakan yang keji dan bertentangan dengan regulasi agama. Pemerintah tidaklah mungkin gegabah dalam menentukan waktu yang sarat dengan ibadah.

Mereka akan berkonsultasi dengan tim ahli yang terdiri atas para ulama dan pakar yang kompeten dalam bidangnya. Termasuk di Indonesia, pemerintah akan bekerja sama dengan lembaga keagamaan atau organisasi keagamaan untuk menentukan permulaan bulan baru sebagaimana dilakukan dalam sidang itsbat.

 

Gus Muhammad Alvi Firdausi, Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) NU Tangsel, Pengasuh Pondok Pesantren Al Tsaniyyah Tangerang Selatan


Keislaman Terbaru