Keislaman

Mengasah Mata Hati agar Tak Tumpul dan Menjauhi Wahn

Rabu, 31 Juli 2024 | 16:29 WIB

Mengasah Mata Hati agar Tak Tumpul dan Menjauhi Wahn

Ngaji Kitab Syarhun Lathifun yang diasuh Kiai Muhammad Hanifuddin (tengah) di Graha Aswaja NU Tangsel, Ciputat, Tangsel, Selasa (30/7/2024) malam. (Foto: NUOB/Mutho)

Tangerang Selatan, NU Online Banten

Banyak orang era saat ini terkesan dengan urusan dunia yang fana, mengalahkan urusan akhirat yang kekal. Ini karena perkara dunia dapat tampak jelas dengan mata penglihatan. Berbeda dengan perkara akhirat dan pahalanya.’’Bersifat ruhiyah maknawiyah, tak terlihat, kecuali oleh mereka yang mempunyai mata hati,’’ ujar Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Tangerang Selatan (Tangsel) Kiai Muhammad Hanifuddin saat membahas hadits kedua Kitab Syarhun Lathifun ‘ala Arbain Haditsan Tata'allaq bi Mabadi' Jamiyyah Nahdatil Ulama di Graha Aswaja NU Tangsel, Ciputat, Tangerang Selatan, Selasa (30/7/2024) malam.


Oleh karena itu, lanjut pria berkacamata yang malam itu seperti biasa mengenakan baju putih lengan panjang dipadu peci hitam, hendaknya bashirah atau mata hati dirawat dan diketuk agar terjaga dan terasah dengan semestinya.’’Bisa merasakan hal yang tak tampak di depan mata kita. Jangan sampai mata hati tumpul, karena mengakibatkan seseorang lalai,’’ imbuh pria yang pernah menimba ilmu di Pondok Pesantren Ringinagung, Kediri, Jawa Timur, tersebut di hadapan puluhan jamaah.

 


Sebab, imbuh pria yang hobi wayang itu, Allah akan memberi ujian dengan penyakit jiwa yang disebut wahn.’’Al wahnu itu cinta dunia, khawatir atau takut mati. Di sinilah Islam mengajarkan agar memperbanyak hal-hal yang memutus enaknya dunia, supaya mengingat kematian. Bukankah keberadaan kita di dunia ini untuk menyambut kematian?,’’ terang pria asal Sragen, Jawa Tengah, yang saat ini juga sebagai dosen Pondok Pesantren Darus-Sunnah, Ciputat, Tangerang Selatan, itu dengan nada tanya.

 


Pada malam itu, pengajian sampai pada hadits kedua. Dikupas dalam kitab dari halaman 21 hingga 23. Hadits kedua yang dipilih oleh Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), dalam kitab yang disusunnya, Arbain Haditsan Tata'allaq bi Mabadi' Jamiyyah Nahdatil Ulama, yang artinya kurang lebih, agar tidak meratapi agama jika memiliki atau dipegang oleh ahlinya. Sebaliknya, meratapi jika dipegang oleh yang bukan ahli atau pakarnya.

 


’’Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam At Thabrani. Oleh karena itu, pentingnya generasi yang punya kepakaran untuk berdakwah, mempunyai sumber daya manusia yang punya kepakaran, keahlian sesuai bidangnya,’’ terang santri dari almaghfurlah KH Ali Mustafa Yakub, pendiri Pondok Pesantren Darus-Sunnah, Ciputat, Tangerang Selatan, itu.

 


Sekadar diketahui, Arbain Haditsan Tata'allaq bi Mabadi' Jamiyyah Nahdatil Ulama sendiri merupakan karya Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Kitab Mbah Hasyim—sapaan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari—yang berkenaan dengan berdirinya Jamiyyah Nahdatil Ulama itu, memiliki kekhasan tersendiri. Kitab tersebut dilampirkan bersamaan dengan Mukaddimah Qanun Asasi Nahdatul Ulama yang berkaitan erat (tata'allaq) dengan berdirinya NU.


Arbain Haditsan Mbah Hasyim ini dimulai dengan pesan kebaikan, bagaimana esensi agama, lalu bagaimana pula jika agama diserahkan kepada mereka yang bukan ahlinya. Redaksi yang ditulis oleh Mbah Hasyim dalam Arbain Haditsan tidak melulu dari Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim saja, akan tetapi juga dari Tabrani, Abi Dawud hingga kutipan dari Abu Nuaim Al-Asfahani, yang masih relevan hingga sekarang. Artinya, ada unsur continuity (keberlangsungan) di situ. Dari sinilah keistimewaan sosok Mbah  Hasyim mampu meletakkan 40 hadits pilihan sebagai pondasi Jam'iyyah Nahdatul Ulama.



Sedangkan Syarhun Lathifun merupakan syarah atau komentar atas Arbain Haditsan yang ditulis oleh Khoiruddin Habziz, salah seorang santri dan pengurus Ma’had Aly Situbondo, Jawa Timur. Kitab dengan tebal 124 halaman tersebut diberi pengantar oleh Wakil Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Afifuddin Muhajir, pengajar di Ma’had Aly Situbondo.


Pengajian ini rutin digelar setiap Selasa malam. Sebelum ngaji kitab, para jamaah memanjatkan doa, istighotsah, dan membaca shalawat nariyah. Hadir pada malam itu, Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Tangsel H Abdullah Mas’ud dan Sekretaris PCNU Kiai Himam Muzzahir beserta sejumlah pengurus tanfidziyah lainnya. Dari syuriyah PCNU Tangsel, beberapa juga tampak. Selain itu, hadir pengurus dari badan otonom dan sejumlah lembaga NU Tangsel serta dari beberapa pengurus Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama setempat beserta warga NU. (Mutho)