SEBAGAIMANA diketahui, shalat berjamaah sangat dianjurkan dalam Islam. Ia memiliki keutamaan yang besar dan pahala yang berlipat ganda. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa jarak antara pahala dan keutamaan shalat sendirian dan shalat berjamaah sangat jauh. Dalam salah satu hadits, Rasulullah saw bersabda:
عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً. وَلِلْبُخَارِيِّ مِنْ حَدِيثِ أَبِي سَعْدٍ: بِخَمْسٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
Artinya: “Dari Nafi’, dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw bersabda: 'Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian dengan keutamaan 27 derajat.' (HR Muslim) Dalam riwayat Al-Bukhari dari hadits Abu Sa’id: 'Dengan keutamaan 25 derajat.'” (Abul Fadhl Al-'Iraqi, Taqribul Asanid wa Tartibul Masanid, [Beirut, Darul Fikr: t.t], halaman 30)
Termasuk dalam hadits di atas adalah melaksanakan shalat secara berjamaah, meskipun hanya bersama istri, anak, atau anggota keluarga lainnya di rumah. Sebab, shalat berjamaah tetap memiliki keutamaan meskipun dilakukan di rumah atau tempat lain dengan jumlah minimal dua orang. Bahkan shalat jamaah seperti ini lebih utama dibandingkan shalat sendiri di masjid, sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Zakaria Al-Anshari:
وَيَحُوزُ فَضِيلَتَهَا أَيْ الْجَمَاعَةِ بِصَلَاتِهِ في بَيْتِهِ أو نَحْوِهِ بِزَوْجَةٍ أو وَلَدٍ أو رَقِيقٍ أو غَيْرِهِمْ إذْ أَقَلُّهَا اثْنَانِ وَهِيَ في الْبَيْتِ وَنَحْوِهِ أَفْضَلُ من الِانْفِرَادِ بِمَسْجِدٍ
Artinya: “Dan orang mendapatkan keutamaan berjamaah dengan shalatnya di rumahnya atau tempat lain yang serupa bersama istri, anak, hamba sahaya, atau selainnya. Karena jumlah minimal jamaah adalah dua orang. Shalat berjamaah di rumah atau tempat semisalnya lebih utama dibandingkan shalat sendirian di masjid.” (Asnal Mathalib, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 2000], jilid I, halaman 210).
Dengan demikian, keutamaan tersebut seharusnya menjadi dorongan bagi kita untuk senantiasa melaksanakan shalat berjamaah, terkhusus shalat wajib lima waktu.
Shalat Jamaah dengan Anak Kecil
Lantas, bagaimana jika satu-satunya makmum yang ada berupa anak kecil? Anak sendiri misalnya. Apakah dalam shalat seperti ini dianggap berjamaah? Mari kita bahas.
Perlu diketahui terlebih dahulu hukum shalat anak kecil yang belum baligh, apakah status shalatnya sah atau tidak. Dalam hal ini, shalat yang dilakukan oleh anak kecil yang belum baligh selama sudah tamyiz hukumnya sah sepanjang semua syarat dan rukun shalat terpenuhi. Di antaranya ia suci badan, pakaian dan tempat, punya wudhu, menutup aurat, dan lainnya. Jika semuanya terpenuhi, maka shalatnya sah.
وَأَهْلِيَّةُ الصَّلَاةِ بِالْتَّمْيِيزِ، فَلَا أَهْلِيَّةَ لِلْمَجْنُونِ وَالصَّبِيِّ الَّذِي لَا يُمَيِّزُ، وَهَذَا أَظْهَرُ الْوُجُوهِ
Artinya: "Keahlian shalat itu standarnya adalah tamyiz. Karenanya tidak ada keahlian shalat bagi orang gila dan anak kecil yang belum tamyiz. Ini adalah pendapat yang paling kuat." (Al-Isnawi, Al-Muhimmat fi Syarhir Raudhah war Rafi'i, juz IV, halaman 949).
Tidak hanya sah, anak kecil yang sudah tamyiz, memahami tata cara shalat dengan benar, memiliki akal yang sehat, suci dari hadats besar dan kecil, maka ia boleh saja menjadi imam shalat dan hukumnya sah.
Hal pernah terjadi di masa Rasulullah, di mana Amr bin Salimah menjadi imam suatu kaum padahal ia masih berumur enam atau tujuh tahun. Riwayat ini berasal dari Imam Al-Bukhari dan dicatat dalam beberapa kitab-kitab fiqih, yaitu:
وَرَوَى الْبُخَارِيُّ: أَنَّ عَمْرَو بْنَ سَلِمَةَ بِكَسْرِ اللَّامِ كَانَ يَؤُمُّ قَوْمَهُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ ابْنُ سِتِّ أَوْ سَبْعِ سِنِينَ
Artinya: “Imam Al-Bukhari meriwayatkan, bahwa Amr bin Salimah, dengan dibaca kasrah huruf lamnya, pernah menjadi imam bagi kaumnya pada masa Rasulullah saw, padahal usianya masih enam atau tujuh tahun.” (Imam al-Qulyubi, Hasyiyata Qulyubi wa Umairah, [Beirut: Darul Fikr, 1995], jilid I, halaman 266).
Jika ditanya, “Jelaslah, Amr bin Salimah itu kan sahabat Nabi, ia mendapatkan bimbingan dari Nabi. Jika anak kecil zaman sekarang, apakah bisa?”, maka mari kita bahas.
Amr bin Salimah yang menjadi imam kaumnya saat itu memanglah sahabat Nabi. Ia melihat mendapat bimbingan dari Rasulullah saw serta melihat langsung bagaimana beliau beribadah. Namun perlu diingat, bahwa kaum yang menjadi makmum saat itu juga sahabat Nabi.
Artinya, beberapa anak kecil yang sudah memiliki kelayakan menjadi imam, maka sah-sah saja menjadi imam shalat. Tidak hanya di zaman Rasulullah saja, di zaman sekarang pun juga bisa.
Penjelasan di atas sebagaimana dicatat oleh Imam Abul Husain Al-'Imrani (wafat 558 H). Ia menjelaskan, apabila anak kecil sudah mencapai usia tujuh atau delapan tahun, dan ia telah mumayyiz serta termasuk ahlus shalat, maka sah baginya untuk menjadi imam bagi orang dewasa, baik dalam shalat fardhu maupun sunnah.
إِذَا كَانَ الصَّبِيُّ ابْنَ سَبْعِ سِنِيْن أَوْ ثَمَانِ سِنِيْنَ وَهُوَ مُمَيِّزٌ مِنْ أَهْلِ الصَّلاَةِ؛ صَحَّتْ إِمَامَتُهُ لِلْبَالِغِيْنَ فِي الْفَرْضِ وَالنَّفْلِ. وَهَلْ يَصِحُّ أَنْ يَكُوْنَ إِمَامًا فِي الْجُمعَةِ؟ فِيْهِ قَوْلاَنِ، أَحَدُهُمَا: لاَ يَصِحُّ؛ لِأَنَّ الْإِمَامَ شَرْطٌ فِي الْجُمُعَةِ، وَصَلاَةُ الصَّبِيِّ نَافِلَةٌ. وَالثَّانِي: يَصِحُّ لِأَنَّ مَنْ صَحَّ أَنْ يَكُوْنَ إِمَامًا فِي غَيْرِ الْجُمُعَةِ؛ صَحَّ أَنْ يَكُوْنَ إِمَامًا فِي الْجُمُعَةِ كَالْبَالِغِ، هَذَا مَذْهَبُنَا
Artinya: “Jika seorang anak telah mencapai usia tujuh atau delapan tahun, dan ia telah tamyiz dan layak ahlus shalat, maka sah perannya sebagai imam bagi orang-orang baligh dalam shalat fardhu dan sunnah. Apakah sah baginya menjadi imam dalam Shalat Jumat? Terdapat dua pendapat: (1) tidak sah, karena imam merupakan syarat dalam Shalat Jumat, sedangkan shalat anak kecil dianggap shalat sunnah; dan (2) sah, karena siapa saja yang sah menjadi imam dalam selain Shalat Jumat, maka ia juga sah menjadi imam dalam Shalat Jumat, sebagaimana orang baligh. Ini adalah mazhab kami.” (Al-Bayan, [Jedah, Darul Minhaj; 2000], jilid II, halaman 391).
Dengan demikian, anak kecil yang mengerjakan shalat maka hukum shalatnya adalah sah selama sudah tamyiz. Demikian pula ia sah menjadi imam shalat.
Lantas, bagaimana jika berjamaah dengan anak kecil dan ia menjadi makmum? Maka jawabannya adalah sah, apabila anak kecil yang dimaksud dalam pertanyaan adalah anak kecil yang sudah tamyiz, yaitu anak yang telah mencapai keadaan di mana ia bisa makan sendiri, minum sendiri, beristinja sendiri, dan memenuhi syarat dan rukun shalat.
Jika demikian, maka disunnahkan bagi imam untuk niat menjadi imam, karena untuk mendapatkan keutamaan shalat berjamaah harus niat imam. Jika tidak, maka ia tidak akan mendapatkan keutamaan shalat berjamaah. Sedangkan jika anak belum tamyiz, maka tidak perlu niat menjadi imam, karena ia belum dikategorikan anak ahlus shalat atau orang yang shalatnya dihukumi sah menurut agama. Wallahu a’lam bisshawab. (NUO)
Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur, dan Alumnus Program Kepenulisan Turots Ilmiah, Maroko