Keislaman

Waktu sebagai Modal Utama Kehidupan Manusia

Jumat, 21 Maret 2025 | 14:12 WIB

Waktu sebagai Modal Utama Kehidupan Manusia

Ilustrasi. Melihat betapa besarnya nikmat waktu, sudah seharusnya lebih peka dalam menggunakannya. (Foto: Freepik)

KENIKMATAN yang Allah swt berikan kepada hamba-Nya sungguh banyak, sehingga tidak memungkinkan bagi makhluknya untuk menghitung seluruh kenikmatan yang diberikan-Nya. Ini sebagaimana firman Allah:
 
وَاٰتٰىكُمْ مِّنْ كُلِّ مَا سَاَلْتُمُوْهُ وَاِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ لَا تُحْصُوْهَا اِنَّ الْاِنْسَانَ لَظَلُوْمٌ كَفَّارٌ
 
Artinya: ’’Dia telah menganugerahkan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu benar-benar sangat zalim lagi sangat kufur.” (QS Ibrahim: 34)
 
Kendati demikian, Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah (w 1417 H) dalam kitabnya, Qimatuzzaman ‘Indal Ulama membagi nikmat menjadi dua bagian. Nikmat ushul (pokok) dan nikmat furu’ (cabang). Dalam tulisan inikita tidak akan membahas secara mendetail terkait perbedaan antara keduanya. Melainkan ada satu hal yang perlu disadari bersama bahwa di antara sekian banyaknya nikmat yang Allah berikan kepada hamba-Nya, nikmat waktu adalah sepaling berharga dan utamanya nikmat pokok.
 
وَمِنْ أُصُولِ النِّعَمِ أَيْضًا بَلْ مِنْ أَجَلِّ أُصُولِهَا وَأَغْلَاهَا نِعْمَةُ الزَّمَانِ
 
Artinya: ’’Di antara nikmat pokok juga, bahkan termasuk yang paling mulia dan berharga adalah nikmat waktu.” (Abdul Fattah Abu Ghuddah, Qimatuzzaman ‘Indal Ulama, Hal: 29)
 
Syekh Hasanain Muhammad Makhluf dalam muqaddimah tafsirnya, Shafwatul Bayan li Ma’anil Qur’an menjelaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa yang fasih dan sesuai dengan kebiasaan percakapan masyarakat bangsa Arab. Dalam kebiasaan mereka, jika ingin menegaskan suatu perkara, mereka sering bersumpah dengan sesuatu yang sangat agung dan memiliki nilai tinggi.
 
أَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى الْقُرْآنَ بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ ... فَقَدْ كَانُوا إِذَا أَرَادُوا تَوْكِيدَ الْأَمْرِ وَتَحْقِيقَهُ أَقْسَمُوا عَلَيْهِ بِالْعَظِيمِ الْخَطِيرِ الشَّأْنِ أَوِ الْكَثِيرِ النَّفْعِ أَوِ الظَّاهِرِ الْفَضْلِ
 
Artinya: “Allah Ta’ala menurunkan Al-Qur’an dengan lisan orang Arab (bahasa Arab) yang jelas ... Karena itu, ketika orang Arab ingin menegaskan dan memastikan suatu perkara, mereka biasa bersumpah atasnya dengan sesuatu yang agung yang memiliki kedudukan tinggi atau sesuatu yang banyak manfaatnya atau dengan sesuatu yang nyata keutamaannya.” (Hasanain Muhammad Makhluf, Shafwatul Bayan li Ma’anil Qur’an)
 
Maka ketika Allah bersumpah dengan waktu, hal tersebut menjadi isyarat bahwa waktu adalah sesuatu yang sangat berharga. Waktu adalah modal utama kehidupan manusia. Hanya mereka yang bisa menghargai waktu dengan baiklah yang akan memeroleh keberuntungan di dunia dan akhirat.
 
 
Imam al-Ghazali (w 505 H)  menyatakan dalam kitabnya, Bidayatul Hidayah bahwa waktu adalah modal utama bagi manusia yang dapat menghantarkannya kepada kebahagiaan yang abadi.
 
 
وَأَوْقَاتُكَ عُمْرُكَ، وَعُمْرُكَ رَأْسُ مَالِكَ، وَعَلَيْهِ تِجَارَتُكَ، وَبِهِ وُصُولُكَ إِلَى نَعِيمِ دَارِ الْأَبَدِ فِي جِوَارِ اللَّهِ تَعَالَى. فَكُلُّ نَفَسٍ مِنْ أَنْفَاسِكَ جَوْهَرَةٌ لَا قِيمَةَ لَهَا، إِذْ لَا بَدَلَ لَهُ، فَإِذَا فَاتَ فَلَا عَوْدَ لَهُ
 
Artinya: “Waktumu adalah umurmu, dan umurmu adalah modalmu, serta padanya terletak perniagaanmu, dan dengannya engkau akan sampai kepada kenikmatan abadi di sisi Allah ta’ala. Maka setiap napas dari dirimu adalah permata yang tak ternilai karena ia tak tergantikan. Jika telah berlalu maka tidak ada lagi kesempatan untuk kembali.” (Al-Ghazali, Bidayatul Hidayah, Hal: 41, Maktabah Syamilah)
 
Imam Fakhruddin al-Razi (w. 606 H) dalam tafsirnya, Mafatih al-Ghaib menegaskan juga bahwa waktu (meskipun sedikit), ia memiliki manfaat yang luar biasa. Seorang manusia mungkin bisa menghabiskan ribuan tahun dalam kesia-siaan, tetapi jika di akhir hayatnya ia mendapatkan kesempatan untuk bertobat dengan sungguh-sungguh, maka ia bisa menjadi penghuni surga yang abadi.
 
فَلَوْ ضَيَّعْتَ أَلْفَ سَنَةٍ، ثُمَّ تُبْتَ فِي اللَّمْحَةِ الْأَخِيرَةِ مِنَ الْعُمُرِ، بَقِيتَ فِي الْجَنَّةِ أَبَدَ الْآبَادِ


Artinya: “Seandainya engkau menyia-nyiakan seribu tahun, lalu kamu bertobat pada detik terakhir dari usia, maka engkau berada di surga selama-lamanya.” (Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Juz 32, Hal: 277, Maktabah Syamilah)
 
Lebih lanjut lagi, Imam al-Razi menjelaskan, waktu itu sendiri adalah kenikmatan yang paling orisinil tanpa adanya cacat, yang menyebabkan kerugian atau merusak justru adalah si penerima nikmat itu sendiri yaitu manusia.
 
فَكَأَنَّهُ تَعَالَى أَقْسَمَ عَلَى أَنَّ الدَّهْرَ وَالْعَصْرَ نِعْمَةٌ حَاصِلَةٌ لَا عَيْبَ فِيهَا، إِنَّمَا الْخَاسِرُ الْمُعِيبُ هُوَ الْإِنْسَانُ
 

Artinya: “Seolah-olah Allah ta’ala telah bersumpah bahwa waktu adalah nikmat yang nyata tanpa cacat, justru yang merugi dan penuh kekurangan (cacat) adalah manusia itu sendiri.” (Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Juz 32, Hal. 277, Maktabah Syamilah)
 

Melihat betapa besarnya nikmat waktu, sudah seharusnya kita lebih peka dalam menggunakannya. Sebagaimana kata-kata motivasi yang sering terdengar bahwa tidak akan kembali hari-hari (waktu) yang telah berlalu. Maka sudah sepatutnya jangan sampai kita menjadi manusia yang merugi karena menyia-nyiakan waktu dalam hal yang tidak bermanfaat. Mari kita jadikan waktu sebagai ladang amal terlebih dalam momen Ramadhan ini, agar kita tidak termasuk dalam golongan yang merugi.
 
Zainudin Nur, Anggota Lakpesdam PCNU Kota Depok, Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mahasantri Darus-Sunnah International Institute for Hadits Sciences