Nasional

Sudah 17 Tahun, Ada Apa dan Kenapa RUU Perampasan Aset Tak Kunjung Disahkan?

Kamis, 4 September 2025 | 23:46 WIB

Sudah 17 Tahun, Ada Apa dan Kenapa RUU Perampasan Aset Tak Kunjung Disahkan?

Ilustrasi gedung DPR. (Foto: Instagram DPR RI)

Jakarta, NU Online Banten

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyebut pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset akan dilakukan setelah RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) selesai dibahas. Padahal RUU ini sudah ada sejak 2008 silam.


Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menjelaskan, sejumlah aturan terkait perampasan aset sudah tercantum dalam berbagai undang-undang. Oleh karena itu, pembahasan RUU ini membutuhkan harmonisasi agar tidak tumpang tindih dengan aturan lain.



"Aspek-aspek perampasan aset itu ada di Undang-Undang Tipikor, TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang), KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), dan KUHAP. Maka setelah selesai semua, kami akan ambil dari sana. Bagaimana kemudian satu undang-undang yang punya persoalan yang sama soal aset itu bisa dikompilasi dan kemudian bisa berjalan dengan baik," ujarnya, dikutip NU Online dari Instagram DPR RI, Rabu (3/8/2025).


Sedangkan Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Sturman Panjaitan mengatakan, penyusunan RUU Perampasan Aset tidak bisa dilakukan secara terburu-buru. Menurutnya, setiap aturan harus searah dan sejalan agar tidak menimbulkan kontradiksi. "Undang-undang itu harus searah, sejalan. Supaya tidak berlawanan. Makanya kita harus hati-hati. Kami bekerja semaksimal mungkin. Bahkan kemarin kita juga bahas. Hari Senin kemarin kita masuk juga tahap penyusunan," ujar Sturman.


Adapun anggota Komisi III DPR Muhammad Kholid menekankan pentingnya keberadaan RUU Perampasan Aset dalam memperkuat pemberantasan korupsi. Dia menyebut bahwa korupsi bukan sekadar tindak pidana ekonomi, melainkan bentuk perampasan hak rakyat.


"Penegakan hukum tidak cukup hanya menghukum pelaku, tetapi juga harus menjamin bahwa hasil kejahatan tidak bisa dinikmati oleh siapapun. RUU Perampasan Aset adalah solusi rasional, adil, efektif, dan tegas untuk menutup ruang itu," tegasnya, dilansir NU Online.


Menurut Kholid, RUU ini diharapkan menjadi solusi konkret agar aset negara tidak lagi dikuasai pelaku kejahatan, melainkan benar-benar kembali untuk kesejahteraan rakyat. Salah satu poin penting dalam RUU Perampasan Aset adalah mekanisme penyitaan harta hasil tindak pidana tanpa menunggu adanya vonis pidana.


Dengan begitu, negara tetap bisa mengambil alih aset meski pelaku melarikan diri, meninggal dunia, atau lolos karena alasan teknis hukum. Selain itu, RUU ini juga mengatur mekanisme beban pembuktian terbalik terbatas, di mana pihak tertuduh maupun ahli warisnya wajib membuktikan bahwa harta yang dimiliki bukan berasal dari tindak pidana. Pengelolaan aset rampasan nantinya akan dilakukan secara profesional dan transparan oleh Pusat Pemulihan Aset (PPA), Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).


Dengan demikian, pemerintah berharap langkah ini dapat menutup ruang bagi pelaku korupsi, sekaligus memperkuat posisi Indonesia di mata dunia sebagai negara yang berkomitmen pada pemberantasan korupsi.  


Menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), naskah RUU Perampasan Aset pertama kali disusun pada 2008 lalu. Meski begitu, perlu waktu lebih dari satu dasawarsa sebelum RUU tersebut masuk Prolegnas Prioritas. Baru pada 2023, RUU Perampasan Aset masuk ke dalam daftar Prolegnas Prioritas di DPR. RUU tersebut menjadi Prolegnas Prioritas usulan pemerintah. Meski telah demikian, respons dari DPR terkait upaya penyelesaian RUU ini sejauh ini cenderung bertepuk sebelah tangan. (M Fathur Rohman)

Â