Presiden Sebut Aksi Massa dengan Makar, Ini Respons Ketua PBNU
Kamis, 4 September 2025 | 23:19 WIB
Jakarta, NU Online Banten
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) H Mohamad Syafi' Alielha menolak sebutan Presiden Prabowo Subianto terhadap aksi massa sejak Kamis (28/8/2025) sebagai bagian dari makar. Dia menegaskan pentingnya kejelasan dalam penggunaan istilah makar. Dia pun meragukan ada kekuatan politik saat ini yang berniat merebut kekuasaan secara inkonstitusional.
“Saya kira sekarang tidak ada pihak yang berkepentingan untuk merebut kekuasaan. Partai-partai sudah pragmatis, semua ikut pemerintah,” tegas Savic Ali—sapaan H Mohamad Syafi' Alielha—saat hadir pada Satu Meja The Forum Kompas TV dengan judul Marak Aksi Demonstrasi: Disikapi Bukan Direpresi, dikutip NU Online, Kamis (4/8/2025).
“Makar itu maksudnya apa? Menentang pemerintah? Melawan pemerintah? Atau merebut kekuasaan? Kalau memang ada pihak yang mau merebut kekuasaan, ya dibilang saja siapa,” imbuhnya dengan nada tanya.
Menurutnya, pelabelan semacam itu mencerminkan cara pandang yang tidak relevan lagi di era demokrasi saat ini. “Saya tidak tahu persis informasi apa yang dimiliki presiden. Beliau tentu punya akses terhadap laporan intelijen, kepolisian, dan seterusnya. Tapi menurut saya, itu berlebihan. Dan ini bukan pertama kali terjadi,” ucapnya.
Savic mengingatkan bahwa pada masa reformasi 1998, mahasiswa yang menduduki DPR saat Sidang Istimewa juga dituduh makar oleh Panglima TNI Jenderal Wiranto saat itu. “Jadi menurut saya, ini mencerminkan paradigma lama yang memandang gerakan sosial yang cenderung keras atau menyerang aset negara sebagai makar. Sementara saya tidak melihat itu,” jelasnya.
Savic mengungkap bahwa dalam sejarah sosial di berbagai negara, ketika eskalasi ketegangan sudah sangat tinggi, kekerasan menjadi sulit dihindari. Ia mengutip pejuang hak-hak sipil kulit hitam Amerika Serikat, Martin Luther King Junior yang pernah berkata riot is the language of the unheard yaitu kerusuhan adalah bahasa dari mereka yang tak didengar.
“Artinya, dalam dinamika lapangan, memang memungkinkan massa melakukan kerusuhan sebagai bentuk frustrasi. Tapi juga bisa terjadi bahwa kekerasan, pembakaran, atau perusakan dilakukan oleh kelompok yang memang sudah terorganisir dan mempersiapkan diri untuk itu,” jelasnya.
Bagi Savic, terkait rangkaian kerusuhan yang terjadi dalam aksi-aksi demonstrasi beberapa waktu terakhir, bisa terjadi secara spontan, namun juga bisa dilakukan secara terorganisir. “Ada dua hal kekerasan bisa terjadi. Pertama karena spontanitas dinamika lapangan. Kedua, memang dilakukan oleh kelompok yang terorganisir dan direncanakan,” terangnya.
Kekerasan yang muncul secara spontan, lanjutnya, biasanya disebabkan oleh interaksi emosional di lapangan yang tak terkendali. “Yang spontan ini karena dinamikanya: saling ejek, saling lempar, saling dorong dan segala macam. Bisa mengakibatkan kerusuhan karena itu instingtif,” katanya.
Savic menegaskan, tugas kepolisian adalah mengungkap kebenaran secara menyeluruh termasuk jika ada aparat yang terlibat. Oleh karena itu, penyelidikan tak boleh dilakukan secara internal semata. “Dalam kasus yang melibatkan polisi, harus ada tim independen. Saya kira memang kita butuh tim independen. Dulu kekerasan 1998 juga diusut oleh tim independen,” tegasnya.
Dalam kesempatan itu, Savic juga menyoroti rendahnya kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian setelah terjadinya peristiwa kekerasan yang diduga melibatkan aparat. "Penanganan kasus ini harus melibatkan tim independen karena kepercayaan publik terhadap kepolisian berada di level yang sangat rendah. Apalagi pelakunya adalah aparat kepolisian sendiri," katanya.
Menurutnya, peristiwa kekerasan oleh polisi ini sangat memprihatinkan, terutama mengingat berbagai program reformasi di tubuh kepolisian pasca-reformasi 1998, termasuk pelatihan hak asasi manusia dan penanganan massa, ternyata belum membuahkan hasil yang memadai.
"Kita menyaksikan bahwa puluhan tahun berlalu, kepolisian belum cukup belajar bagaimana mengendalikan massa. Padahal tugas kepolisian bukan hanya menciptakan keamanan dan ketertiban, tapi juga menjamin bahwa kemanusiaan tetap hidup dan aman," jelasnya.
Savic menambahkan, pelanggaran yang dilakukan aparat justru memperburuk situasi dan membuat publik semakin marah. Dan, lanjutnya, ini bukan kali pertama kepolisian terlibat dalam tindakan kekerasan terhadap warga. "Ketika bentrokan sudah terjadi di lapangan, manusia bisa bertindak berdasarkan insting dan kemarahan. Siapa pun bisa jadi korban, termasuk warga sipil yang tak bersalah," ungkapnya.
Dia mencontohkan beberapa kasus yang menunjukkan bahwa korban kekerasan tidak selalu merupakan pihak yang terlibat langsung, melainkan bisa juga warga biasa yang terjebak dalam situasi tersebut. "Yang kita pikirkan mestinya adalah bagaimana mencegah ini terjadi lagi. Negara harus hadir untuk melindungi, bukan justru melukai," pungkasnya. (NUO/Haekal Attar)
Terpopuler
1
Krisis Kepemimpinan, Manajemen Konflik, dan Budaya Malu
2
Koalisi Masyarakat Sipil Nilai Pidato Presiden Tak Peka Keresahan Rakyat
3
Akademisi Australia Ini Sebut Gus Dur Jadikan Islam Lebih Kontekstual
4
Gempa Bumi di Afganistan, Telan Korban Jiwa Ratusan Orang
5
Khutbah Jumat: Uswah Hasanah Nabi Muhammad
6
Ingin Damai, Pemuda Lintas Iman Kota Serang Berdoa untuk Bangsa
Terkini
Lihat Semua