Singgih Aji Purnomo
Kolomnis
Dewasa ini, terutama di era digital, anak-anak semakin terpapar rentetan informasi, hiburan, dan konten yang meskipun merangsang, juga dapat merugikan jika dikonsumsi secara berlebihan atau tidak disaring. Salah satu fenomena yang mengkhawatirkan adalah "brain rot" atau "busuk otak", istilah sehari-hari yang digunakan untuk mendeskripsikan kemerosotan kognitif dan emosional yang disebabkan oleh paparan media digital yang berkepanjangan dan tidak sehat. Bahaya brain rot bagi anak-anak bermacam-macam, mulai dari gangguan perkembangan kognitif hingga kesehatan mental yang berkurang.
Memahami Brain Rot
Brain rot mengacu pada stagnasi atau regresi kognitif yang terjadi ketika otak mengalami rangsangan pasif, berulang, atau berkualitas rendah. Kondisi ini sering dikaitkan dengan waktu layar yang berlebihan, terutama yang melibatkan media sosial, video game, dan menonton video. Tidak seperti pembelajaran aktif atau permainan konstruktif, aktivitas yang terkait dengan pembusukan otak jarang melibatkan pemikiran kritis atau keterampilan pemecahan masalah, membuat kapasitas kognitif anak-anak kurang dimanfaatkan.
Baca Juga
Kesalehan Anak dan Kekeramatan Ibu
Penelitian dari American Academy of Pediatrics menunjukkan bahwa anak-anak berusia 8-12 tahun menghabiskan rata-rata 4-6 jam per hari di layar, terlebih lagi remaja menghabiskan lebih dari 7 jam. Tatap layar yang berlebihan menggantikan aktivitas perkembangan penting seperti bermain fisik, membaca, dan interaksi sosial tatap muka.
Baca Juga
Khutbah Jumat: Pentingnya Mendidik Anak
Gejala Brain Rot pada Anak
Gejala bermula dari rentang perhatian yang berkurang. Anak-anak yang terpapar media serba cepat sering menunjukkan kesulitan berkonsentrasi pada tugas-tugas yang membutuhkan fokus berkelanjutan. Sebuah studi yang diterbitkan dalam Developmental Psychology menemukan korelasi antara waktu layar dan masalah perhatian pada anak kecil.
Selain itu, adanya penurunan prestasi akademik. Konsumsi konten yang pasif, terutama video dan game, dapat menyebabkan kurangnya minat pada mata pelajaran akademik. Center for Disease Control (CDC) melaporkan bahwa siswa yang menghabiskan lebih dari tiga jam setiap hari di layar berkinerja lebih buruk di bidang akademik inti.
Ketiga, ketidakstabilan emosional. Intensitas berlebihan terhadap konten digital, terutama materi kekerasan atau tidak pantas, dapat menyebabkan kecemasan, depresi, dan perubahan suasana hati. Terakhir, timbulnya masalah kesehatan fisik. Perilaku menetap yang terkait dengan tatap layar (waktu layar) yang berlebihan berkontribusi pada obesitas, postur tubuh yang buruk, dan bahkan gangguan tidur.
Dampak Psikologis dan Neurologis
Otak yang sedang berkembang sangat rentan terhadap stimulasi berlebihan. Studi oleh National Institute of Mental Health (NIMH) menunjukkan bahwa paparan konstan ke layar terang, transisi yang cepat, dan konten yang dangkal mengganggu perkembangan alami otak. Korteks prefrontal, yang bertanggung jawab untuk pengambilan keputusan dan kontrol impuls, mungkin tidak berkembang dengan baik dalam kondisi seperti itu.
Selain itu, sistem penghargaan yang digerakkan oleh dopamin dari video game dan platform media sosial dapat menciptakan ketergantungan seperti kecanduan. Anak-anak yang terbiasa dengan kepuasan instan dari platform ini mungkin berjuang dengan kepuasan yang tertunda atau ketekunan dalam tugas-tugas dunia nyata.
Akar Penyebab Brain Rot
Pertama, akses tidak diatur ke teknologi. Banyak anak memiliki akses tidak terbatas ke smartphone, tablet, dan konsol game tanpa pengawasan orang tua.
Kedua, manipulasi konten algoritmik. Algoritme media sosial dirancang untuk membuat pengguna tetap terlibat, seringkali dengan mempromosikan konten yang sensasional atau emosional. Anak-anak sangat rentan terhadap mekanisme ini.
Ketiga, kurangnya literasi digital. Tanpa bimbingan, anak-anak gagal membedakan antara konten pendidikan berkualitas tinggi dan hiburan berkualitas rendah.
Implikasi Sosial
Konsekuensi sosial dari pembusukan otak sangat mendalam. Generasi yang menderita defisit perhatian, ketidakstabilan emosional, dan kurangnya keterampilan berpikir kritis dapat menghambat kemajuan masyarakat. Selain itu, normalisasi konsumsi media pasif dapat memperburuk isolasi sosial dan menghambat pengembangan hubungan yang bermakna.
Pencegahan dan Solusi
Untuk memerangi pembusukan otak dan bahayanya, diperlukan upaya kolektif dari orang tua, pendidik, pembuat kebijakan, dan perusahaan teknologi.
Pertama, pentingnya bimbingan orang tua. Orang tua harus memantau dan membatasi waktu layar, memastikan anak-anak terlibat dalam beragam aktivitas, termasuk membaca, bermain di luar ruangan, dan hobi. Organisasi Kesehatan Dunia merekomendasikan tidak lebih dari satu jam waktu layar per hari untuk anak-anak di bawah lima tahun.
Kedua, edukasi literasi digital. Sekolah harus memasukkan literasi digital dalam kurikulum mereka, mengajarkan anak-anak cara menavigasi dan menganalisis konten online secara kritis.
Ketiga, regulasi konten. Pemerintah dan perusahaan teknologi harus bekerja sama untuk memastikan ketersediaan konten berkualitas tinggi dan sesuai dengan usia. Algoritme harus memprioritaskan materi pendidikan dan konstruktif daripada materi yang sensasional atau adiktif.
Keempat, mendorong penggunaan media aktif. Aplikasi dan game yang menumbuhkan kreativitas, pemecahan masalah, dan pembelajaran harus diprioritaskan daripada hiburan pasif. Kelima, dukungan kesehatan mental. Program intervensi dini harus tersedia untuk anak-anak yang menunjukkan tanda-tanda tekanan emosional atau kecanduan karena media digital.
Data Penelitian
Studi terbaru menyoroti urgensi mengatasi brain rot. Sebuah studi tahun 2023 oleh JAMA Pediatrics menemukan bahwa anak-anak yang melebihi dua jam waktu layar rekreasi setiap hari mendapat skor lebih rendah dalam tes memori dan bahasa.
Selanjutnya, data dari Common Sense Media menyebut adanya peningkatan 17% dalam waktu layar rata-rata anak-anak pasca-pandemi, dengan media sosial dan platform game menjadi kontributor utama.
Sementara itu, European Child Psychology Review (2024) melaporkan bahwa anak-anak yang terpapar pada tingkat waktu layar yang tinggi menunjukkan tingkat kecemasan dan depresi yang lebih tinggi.
Jadi, brain rot (busuk otak) menimbulkan ancaman signifikan bagi kesejahteraan kognitif, emosional, dan fisik anak-anak. Ketika teknologi menjadi semakin terintegrasi ke dalam kehidupan sehari-hari, risiko yang terkait dengan waktu layar yang berlebihan dan tidak diatur tidak dapat diabaikan.
Dengan menumbuhkan literasi digital, mengatur konten, dan mempromosikan gaya hidup seimbang, masyarakat dapat mengurangi bahaya brain rot dan memastikan bahwa anak-anak tumbuh menjadi individu yang sehat dan berpengetahuan luas. Waktunya untuk bertindak adalah sekarang, sebelum efek brain rot menjadi tidak dapat diubah. Wallahu a’lam bis shawab.
Singgih Aji Purnomo, Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Al Amanah Al-Gontory
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Tradisi Ziarah Kubur saat Sya’ban
2
Membayar Kafarat Utang Puasa Ramadhan yang Belum Dilunasi
3
LBM-RMI PCNU Tangsel Kembali Gelar Bahtsul Masail Antar-Pesantren se-Jabodetabek
4
Malam Nisfu Sya’ban, Baca Doa Berikut Ini
5
Diluncurkan, Tiga Mustika ala Muslimat NU
6
Mengenakan Peci Hitam, Kapolres Tangsel Silaturahim ke PCNU Tangsel
Terkini
Lihat Semua